Korupsi Berjamaah DPRD

Memalukan. Bayangkan, 41 dari 45 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang, Jawa Timur, terjerat praktik korupsi massal. Satu per satu mereka antre menggunakan rompi oranye tahanan. Rombongan terakhir Senin (3/9), sebanyak 22 tersangka digiring ke mobil tahanan. Mereka menyusul 19 anggota DPRD Malang lainnya yang sudah lebih awal mendekam di rumah tahanan. Meski saat ini status mereka berbeda-beda, dari tersangka hingga terpidana, namun tuduhannya sama, yaitu menerima uang suap dari pemerintah daerah.

Kasus tersebut berawal setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menciduk Ketua DRPD Kota Malang Arief Wicaksono lewat operasi tangkap tangan (OTT) tahun lalu. Arief diduga menerima suap dari Wali Kota Malang non-aktif Mochamad Anton terkait pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) Kota Malang tahun 2015.

Arief disangka menerima jatah Rp 100 juta dari total suap Rp 700 juta. Kemudian sisa uang suap itu dibagikan ke anggota dewan lainnya. KPK juga sedang menyelidiki kasus gratifikasi Rp 5,8 miliar untuk anggota DPRD Kota Malang berkaitan dengan dana pengelolaan sampah.

Akibat tindakan melanggar hukum sejumlah anggota dewan tersebut, aktivitas parlemen di Kota Malang pun terancam lumpuh. Pasalnya, tuduhan korupsi yang ditujukan ke rombongan anggota DPRD itu, tentu sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan rapat paripurna hingga pengambilan keputusan. Apalagi, jumlah kuorum (jumlah minimum anggota) dalam sidang, setidaknya harus dihadiri paling sedikit 30 anggota. Padahal, sebentar lagi akan digelar acara pelantikan Wali Kota Malang, Sutiaji, serta pembahasan APBD-Perubahan 2018.

Persoalan korupsi berjamaah di DPRD Kota Malang sebenarnya bukan yang pertama kali. Sebelumnya 38 anggota DPRD Sumatera Utara (Sumut) terjerat praktik korupsi yang serupa, yaitu diduga menerima suap sekitar Rp300 juta – Rp500 juta dari mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho, terkait proses persetujuan laporan pertanggungjawaban Pemprov Sumut periode 2012-2014, persetujuan perubahan APBD 2013 dan 2014.

Tidak hanya itu. Anggota DPRD lain yang pernah terlibat suap-menyuap pernah juga di DPRD Musi Banyuasin (Muba) dimana 6 anggota dewan terlibat kasus Perubahan Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) Muba Tahun Anggaran 2015 dan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati 2014.

Kemudian kasus suap pembahasan revisi Perda No 6 Tahun 2010 tentang Dana Pengikatan Tahun Jamak untuk pembangunan venue pada kegiatan Pekan Olahraga Nasional (PON) Riau 2012. Dari kasus itu, sebanyak 9 anggota DPRD terseret, bahkan Gubernur Riau saat itu Rusli Zainal, terbukti menyuap anggota DPRD tersebut melalui para penggarap proyek venue.

Sebelumnya lebih mengejutkan lagi kasus korupsi massal di DPRD Sumatera Barat (Sumbar). Saat itu Kejaksaan Tinggi Sumbar di bawah pimpinan Kajati Antasari Azhar (sebelum menjadi Ketua KPK), menetapkan seluruh anggota DPRD Sumber 1999-2004 yag berjumlah 65 orang sebagai tersangka dalam kasus penggunaan APBD.

Namun hanya 43 anggota dewan yang sudah diputus bersalah oleh pengadilan. Pada 17 Mei 2005 silam, Pengadilan Negeri Padang menjatuhkan vonis dua tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider dua bulan kurungan kepada 43 orang anggota DPRD Sumbar. Mereka dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi APBD 2002 yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 4,9 miliar.

Fakta perbuatan korupsi massal tersebut jelas sangat mengerikan. Korupsi yang telah merajalela di tingkat nasional yang pada akhirnya merembes juga ke level yang lebih rendah, dalam hal ini pemerintahan daerah. Otonomi Daerah (desentralisasi) yang diberikan pada daerah guna membangun kemandirian pembangunan dan pemantapan pelayanan publik, ternyata berbanding lurus dengan desentralisasi perilaku koruptif.

Praktik kotor seperti itu memang terjadi di banyak daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota. Modus pun sama dilakukan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Belum lama ini bekas Ketua DPR Setya Novanto dijebloskan ke penjara karena terbukti korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Menurut fakta yang terungkap di pengadilan, puluhan anggota DPR lainnya dari berbagai fraksi juga diduga turut menerima uang sogok dari konsorsium pemenang proyek e-KTP.

Ini membuktikan bahwa budaya transaksional di tengah biaya politik yang mahal dari sejak perekrutan hingga pencalonan kader, akhirnya menjadi pemicu politisi dan pemangku kuasa memburu rente. Syangnya, praktik kotor itu sepertinya menjadi hal yang lumrah di hampir semua partai di negeri ini.

 

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…