Mengoptimalkan Layanan Navigasi Untuk Indonesia Timur

Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas, tentunya membutuhkan moda transportasi yang bisa menghubungkan satu daerah dengan daerah lainnya. Maka transportasi udara menjadi alat yang dibutuhkan. Tidak heran, seiring dengan dibukanya beberapa bandara baru di beberapa kota, mendorong maskapai penerbangan membuka rute baru, sehingga lonjakan frekuensi penerbangan cukup ramai. Namun sayangnya, peningkatan jumlah frekuensi penerbangan tidak diiringi dengan peningkatan layanan navigasi penerbangan yang optimal dan termasuk infrastruktur yang ada.

Tengok saja, insiden kecelakaan jatuhnya pesawat Caravan jenis Pilatus Dimonim Air PK-HVQ di Pegunugan Bintang, Papua, Sabtu, 11 Agustus 2018 menjadi deretan panjang catatan kelam kecelakaan penerbangan di langit Papua. Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mencatat, selama 2010-2016,  kecelakaan pesawat di Papua menyumbang 25 peristiwa. Angka ini lebih dari seperempat total kecelakaan nasional yakni 83 kejadian.  Asal tahu saja, sebelum jatuh dan menghantam hutan belantara Gunung Menuk, pesawat jenis twin otter itu terbang dari bandara Tanah Merah, Kabupaten Boven Digul, menuju bandara Oksibil Kabupaten Pegunungan Bintang. Pihak Tower bandara Oksibil mengaku sempat menerima kontak terakhir dari pilot pada pukul 14.17 WIT. Pada pukul 14.30 WIT, lanjut pihak bandara Oksibil, pesawat Dimonim Air seharusnya sudah mendarat. Namun, saat tengah dilacak posisinya, pesawat berpenumpang tujuh orang itu hilang kontak.

Dari tragedi tersebut, dari sembilan penumpang, satu orang dinyatakan selamat dan sisanya meninggal di tempat. Terlepas dari berbagai faktor kecelakaan pesawat, baik itu karena cuaca ataupun human error, sejatinya hal tersebut bisa ditekan bila layanan navigasi penerbangan di langit Papua bisa di optimalkan. Sebagaimana diketahui, navigasi penerbangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem keselamatan operasional penerbangan. Tanpa navigasi yang baik, penerbangan sebuah pesawat sangat berbahaya, apalagi dalam kondisi banyak pesawat yang terbang bersamaan. Padahal penerbangan harus diselenggarakan secara berkesinambungan dengan selamat, aman dan nyaman.

Terlebih jumlah penerbangan di Papua tidak sedikit. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Papua, ada 84.531 kedatangan pesawat pada 2017.  Sementara itu, volume keberangkatan tercatat sebanyak 84.861 pesawat. Jumlah penumpang datang dan berangkat ada sebanyak 4.117.794 jiwa. Artinya, rata-rata ada 343.149,5 jiwa penumpang yang hilir mudik ke Papua setiap bulan. Data tersebut diambil hanya dari tujuh bandara dengan tiga yang terpadat yakni Sentani (Jayapura), Wamena (Jayawijaya) dan Mozes Kilangin (Mimika). 

Berangkat dari hal tersebut, Perusahaan Umum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (Perum LPPNPI) atau AirNav Indonesia mendapatkan tugas untuk meningkatkan layanan navigasi penerbangan di Papua. Direktur Utama AirNav Indonesia, Novie Riyanto mengatakan, peningkatan pelayanan ini akan dilakukan melalui berbagai program investasi. Saat ini, AirNav Indonesia tengah gencar dalam membentuk modernisasi dan pengadaan peralatan navigasi penerbangan seperti communication, navigation, surveillance and automation (CNS-A).”Untuk meningkatkan konektivitas, harus dipastikan peningkatan pelayanan lalu lintas udara dapat dilakukan dengan baik, untuk itu infrastruktur transportasi udara akan lebih dikembangkan di Papua," ujarnya.

AirNav mencatat ada 109 bandara di Papua yang mesti terkoneksi dengan modernisasi. Sementara wilayah Papua yang terdiri dari banyak pegunungan membuat penerbangan di provinsi paling timur di Indonesia itu kerap menuai tantangan.  Tak jarang, pilot harus berhadapan dengan cuaca yang berubah-ubah ketika berada di udara. Namun demikian, hal tersebut menjadi hambatan bagi AirNav untuk menciptakan peningkatan layanan navigasi penerbangan yang berkualitas. Apalagi, keselamatan penerbangan Indonesia saat ini berada dalam level yang sangat tinggi di tingkat internasional.

 

Jangkau Wilayah Terpencil

 

 

Novie Riyanto menjelakan, jika pelayanan transportasi udara ditingkatkan secara otomatis, hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di wilayah Papua. Dirinya menjelaskan, dari tahun ke tahun nilai investasi di Papua terus mengalami peningkatan. Di tahun 2015, nilai investasi di Papua hanya sebesar Rp 3,7 miliar. Kemudian tahun 2016 mengalami peningkatan menjadi Rp 54,9 miliar.”Tahun ini bahkan kembali kami tingkatkan hampir tiga kali lipatnya. Program di dalamnya sudah mengakomodir pula sejumlah bandara-bandara kecil yang potensial dan menjadi tulang punggung bagi roda perekonomian di wilayah Papua,” lanjutnya.

Dalam memenuhi kebutuhan peralatan navigasi penerbangan untuk teknologi surveillance dengan satelit, lanjut Novie, AirNav Indonesia akan menggunakan produk dalam negeri. Tak hanya itu, Novie menjelaskan, sumber daya manusia juga merupakan salah satu kunci dalam peningkatan layanan navigasi penerbangan di wilayah Papua.”Ini juga sekaligus sinergi BUMN yang berdampak positif pada pertumbuhan industri dan ekonomi dalam negeri,” ujarnya.

Selain itu, Novie mengatakan, untuk meningkatkan layanan perseroan juga akan bersinergi dengan beberapa stakeholder penerbangan. Sehingga nantinya, AirNav Indonesia bisa menjangkau wilayah-wilayah terpencil. “Kami juga akan berkolaborasi dengan seluruh stakeholder penerbangan antara lain regulator, pengelola bandara dan maskapai untuk meningkatkan konektivitas udara hingga ke wilayah-wilayah terpencil di Papua yang cukup sulit ditempuh melalui jalur darat, sehingga kesejahteraan masyrakat di wilayah ini juga dapat meningkat,” tuturnya.

Asal tahu saja, saat ini teknologi sistem navigasi udara yang digunakan di Indonesia sama dengan yang digunakan Singapura dan negara-negara tetangga lain. Tentunya diharapkan bisa tercipta pelayanan navigasi penerbangan yang efisien, efektif, selamat sesuai standar keselamatan internasional dan tentunya transparan. Selain modernisasi pelayanan navigasi, AirNav juga berbenah dalam peningkatan sumber daya manusianya dengan mengirim tenaganya belajar ke berbagai negara maju tentang navigasi penerbangan. Pasalnya, keselamatan penerbangan perlu dijaga secara berkesinambungan.

Saat ini berdasarkan penilaian Organisasi Penerbangan Sipil Internasional atau International Civil Aviation Organization atau ICAO menyebutkan skor layanan navigasi Indonesia sebesar 84,09% pada 2017 atau lebih tinggi dari rata-rata dunia yang hanya 62,43%. Organisasi tersebut menilai delapan bidang audit secara individual untuk memastikan negara anggota secara efektif dan konsisten menerapkan elemen penting sistem pengawasan keselamatan. (bani)

BERITA TERKAIT

Dampak Konflik Timur Tengah - Laju IHSG Bakal Bergerak Berfluktuasi

NERACA Jakarta – Konflik timur tengah kembali memanas pasca serangan Iran ke Israel. Dimana kondisi ini tentu saja memberikan dampak…

Rencanakan Buka 20 Gerai Baru - Ace Hardware Bidik Penjualan Tumbuh 10%

NERACA Jakarta – Berhasil membukukan kinerja keuangan yang tumbuh positif di tahun 2023, PT Ace Hardware Tbk (ACES) terus pacu…

BRMS Serap Dana Eksplorasi US$1,45 Miliar

NERACA Jakarta – Di kuartal pertama 2024, emiten pertambangan emas PT Bumi Resources Minerals Tbk. (BRMS) melalui lima anak usahanya…

BERITA LAINNYA DI Bursa Saham

Dampak Konflik Timur Tengah - Laju IHSG Bakal Bergerak Berfluktuasi

NERACA Jakarta – Konflik timur tengah kembali memanas pasca serangan Iran ke Israel. Dimana kondisi ini tentu saja memberikan dampak…

Rencanakan Buka 20 Gerai Baru - Ace Hardware Bidik Penjualan Tumbuh 10%

NERACA Jakarta – Berhasil membukukan kinerja keuangan yang tumbuh positif di tahun 2023, PT Ace Hardware Tbk (ACES) terus pacu…

BRMS Serap Dana Eksplorasi US$1,45 Miliar

NERACA Jakarta – Di kuartal pertama 2024, emiten pertambangan emas PT Bumi Resources Minerals Tbk. (BRMS) melalui lima anak usahanya…