OJK dan BI Awasi Spekulan Yang Bikin Rupiah Melemah

 

 

 

NERACA

 

Jakarta – Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengintensifkan pengawasan transaksi valas di perbankan untuk mencegah aksi spekulasi yang menjadi salah satu penyebab jatuhnya nilai tukar rupiah dalam beberapa hari terakhir. "Pengawasan yang ketat dan intensif umemastikan transaksi valas dilakukan berdasarkan kebutuhan sesuai dengan underlying (dokumen bukti)," kata Juru Bicara OJK, Sekar Putih Djarot di Jakarta, Rabu (5/9). Langkah OJK ini diambil menyusul pergerakan nilai tukar rupiah yang sudah jatuh terlalu dalam. Posisi kurs rupiah di pasar spot pada Rabu pukul 14.00 WIB di level Rp14.933 per dolar AS. 

Bank Indonesia (BI) mengaku akan menggandeng Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memelototi pembelian valas yang berdasarkan spekulasi dan tidak disertai dokumen jaminan (underlying) karena menjadi salah satu penyebab pelemahan rupiah yang pada Selasa ini mencapai batas psikologis baru di Rp14.900 per dolar AS.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan pembelian valas dalam jumlah besar memang bisa saja karena kebutuhan. Namun Bank Sentral mensyaratkan agar pembeli valas menyertakan dokumen bukti (underlying) kepada bank untuk memenuhi kebutuhan valas itu. Transaksi valas yang akan dipantau ketat BI dan diduga menjadi penyebab pelemahan rupiah adalah pembelian dalam jumlah besar, namun tanpa dokumen bukti sebagai "underlying".

"BI punya ketentuan pembelian dollar AS itu harus ada underlying-nya. Kita harus membedakan antara pembelian yang sesuai kebutuhan dan memiliki 'underlying' (dokumen bukti) dengan pembelian yang lain," tambah Perry, seperti dikutip Antara, kemarin. Ketentuan adanya dokumen bukti kebutuhan valas itu tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.18/18/PBI/2016 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik.

Perry menyebutkan BI dan OJK sudah mengawasi aksi pembelian valas dalam jumlah besar ke perbankan sebelum timbul sentimen negatif akibat gejolak perekonomian di Turki dan Argentina. Hasil pengawasan saat itu, semua pembelian valas disertakan "underlying". Saat ini, pelemahan rupiah, diakui Perry, sudah tidak wajar karena sangat tidak mencerminkan nilai fundamentalnya. "Waktu itu tidak ada (yang membeli valas tanpa underlying), tetapi sekarang kami lakukan lagi," ujar Perry.

Perry belum mengungkapkan apakah Bank Sentral akan mengenakan sanksi terhadap pelaku aksi spekulasi tersebut atau terhadap bank yang tidak taat untuk meminta jaminan "underlying". "Sekarang kami fokus menstabilkan nilai tukar, itu yang terus kami lakukan," ujar dia. Perry menegaskan nilai tukar rupiah yang anjlok hingga ke Rp14.900 per dolar tidak wajar dan tidak seharusnya terjadi. "Kalau hitung-hitungan fundamentalnya seharusnya tidak seperti kurs saat ini. Tidak selemah seperti ini," ujar Perry.

Disamping itu, Perry memperkirakan nilai tukar rupiah akan bergerak pada rentang Rp14.300-Rp14.700 per dolar AS pada 2019, dengan keyakinan bahwa tekanan ekonomi global pada tahun politik itu tidak akan seberat pada 2018. “Nilai tukar pada 2019 sebesar Rp14.300-Rp14.700 per dolar AS, memiliki rentang yang lebih lebar seperti yang disampaikan,” katanya.

Rentang itu sempat dinilai terlalu optimistis oleh anggota Badan Anggaran DPR RI karena ketidakpastian ekonomi global pada tahun 2018 ini saja sudah membuat rupiah loyo hingga menyentuh Rp14.900 per dolar AS. Secara tahun berjalan, rupiah sudah melemah 7,8 persen, menurut data Bank Sentral. Namun, menurut Perry, ada dua penyebab kurs rupiah akan lebih baik pada tahun 2019.

Pertama, tekanan ekonomi eksternal pada tahun 2019 tidak akan sekencang pada tahun 2018. Paramater utamanya adalah ekspatasi bahwa Bank Sentral AS, The Federal Reserve hanya akan menaikkan suku bunga acuannya sebanyak dua hingga tiga kali pada 2019, dibanding 2018 yang sebanyak empat kali. Alhasil, kata Perry, ketikpastian pasar keuangan global tahun 2019 tidak akan sebesar tahun 2018 ini.

"Memang masih naik, tapi kenaikannya lebih kecil, sehingga tekanan dari global, kenaikan suku bunga juga tidak setinggi yang terjadi tahun ini," ujar dia. Kedua, perbaikan defisit transaksi berjalan yang menjadi bagian neraca pembayaran. Defisit transaksi berjalan yang terdiri dari perdagangan barang dan jasa menggambarkan arus masuk dan keluar devisa.

Sederhananya jika transaksi berjalan defisit maka devisa yang keluar lebih banyak. Jika surplus maka devisa yang masuk ke dalam negeri lebih banyak. Sayangnya, transaksi berjalan hingga kuartal II 2018 masih defisit di tiga persen terhadap PDB. Tahun 2019, Perry menyebutkan, neraca transaksi berjalan memang masih akan defisit, namun besaran defisitnya akan menurun.

BERITA TERKAIT

Pembiayaan Tumbuh Positif, Aset Bank Muamalat Meningkat

Pembiayaan Tumbuh Positif, Aset Bank Muamalat Meningkat NERACA Jakarta – PT Bank Muamalat Indonesia Tbk mencatatkan total aset bank only…

TASPEN Bagikan Ribuan Paket Sembako Melalui Kegiatan Pasar Murah dan Bazar UMKM

TASPEN Bagikan 1.000 Paket Sembako NERACA Jakarta - Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Persero) atau TASPEN berkomitmen untuk terus…

LinkAja Raih Pendanaan Strategis dari Mitsui

  NERACA Jakarta – LinkAja meraih pendanaan investasi strategis dari Mitsui & Co., Ltd. (Mitsui) dalam rangka untuk saling memperkuat…

BERITA LAINNYA DI Jasa Keuangan

Pembiayaan Tumbuh Positif, Aset Bank Muamalat Meningkat

Pembiayaan Tumbuh Positif, Aset Bank Muamalat Meningkat NERACA Jakarta – PT Bank Muamalat Indonesia Tbk mencatatkan total aset bank only…

TASPEN Bagikan Ribuan Paket Sembako Melalui Kegiatan Pasar Murah dan Bazar UMKM

TASPEN Bagikan 1.000 Paket Sembako NERACA Jakarta - Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Persero) atau TASPEN berkomitmen untuk terus…

LinkAja Raih Pendanaan Strategis dari Mitsui

  NERACA Jakarta – LinkAja meraih pendanaan investasi strategis dari Mitsui & Co., Ltd. (Mitsui) dalam rangka untuk saling memperkuat…