Revisi Program UPSUS Diharapkan Tingkatkan Produksi Jagung

NERACA

Jakarta = Revisi terhadap program Upaya Khusus (UPSUS) diharapkan mampu meningkatkan produksi jagung nasional. Sejak program UPSUS diterapkan pada 2015 yang lalu, produksi jagung cenderung stagnan dan tidak mengalami peningkatan jumlah produksi yang signifikan. Program UPSUS adalah pemberian benih jagung hibrida secara gratis kepada petani.

Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian (Kementan), jumlah produksi jagung nasional pada 2015 mencapai 19,6 juta ton. Pada 2016 dan 2017 jumlahnya meningkat tipis menjadi 19,7 juta ton dan 20 juta ton. Jumlah ini belum bisa mengimbangi jumlah konsumsi nasional jagung yang juga terus meningkat. Jumlah konsumsi jagung nasional pada 2015 adalah 23,3 juta ton. Ada sedikit penurunan pada 2016 yaitu menjadi 22,1 juta ton. Jumlah ini kembali naik menjadi 23,3 juta ton pada 2017.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Imelda Freddy mengatakan, program UPSUS memiliki beberapa kelemahan. Salah satunya adalah tidak adanya klasifikasi pasar jagung penerima bantuan benih. Pasar dibentuk oleh jaringan pembeli, penjual dan pelaku pasar lainnya yang bertemu untuk melakukan transaksi produk dan jasa.

“Kekuatan pasar jagung diklasifikasikan berdasarkan tiga komponen utama, yaitu inti pasar yang terdiri dari penjual dan pembeli, penerapan praktik budidaya pertanian yang baik saat proses tanam dan pasca panen serta faktor pendukung lain seperti irigasi, modal dan infrastruktur,” ungkap Imelda.

Berdasarkan komponen di atas, pasar jagung seharusnya diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu pasar jagung kuat, pasar jagung semi kuat dan pasar jagung lemah. Beberapa ciri dari pasar jagung kuat adalah 100% dari total petani jagung menanam jagung hibrida, sekurang-kurangnya 80% petani menggunakan benih jagung hibrida dengan potensi hasil minimum sebesar 9 ton per hektar dan mereka memiliki tujuan komersial dengan cara menjual hasil panen jagungnya.

Sementara itu ciri-ciri pasar jagung semi kuat di antaranya adalah terdapat sekurang-kurangnya 20% dari total petani jagung yang menanam jagung hibrida. Lalu 80% lainnya masih menanam jagung secara tradisional. Kemudian sebanyak 90% petani jagung hibrida menggunakan benih dengan potensi hasil hingga 5 ton per hektar dengan tujuan menanam jagung untuk konsumsi pribadi dan dijual.

Pasar jagung terakhir adalah pasar jagung lemah yang memiliki ciri-ciri di antaranya adalah hanya memiliki sekitar atau kurang dari 10% petani yang menanam jagung, tidak ada petani yang menanam jagung hibrida dan tujuan menanam jagung hanya untuk konsumsi pribadi saja.

“Pemerintah seharusnya mengklasifikasikan pasar jagung dengan merevisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 3 tahun 2015. Dengan adanya klasifikasi ini, pemerintah bisa menilai kekuatan pasar jagung yang ada di daerah-daerah dan mengidentifikasi daerah mana yang paling membutuhkan program UPSUS,” terang Imelda.

Imelda memaparkan, pasar yang paling efektif untuk menerima bantuan benih jagung UPSUS adalah pasar jagung semi kuat. Walaupun begitu, penerapannya harus disertai dengan adanya evaluasi dan diikuti dengan adanya peningkatan kapasitas untuk petani. Daerah-daerah yang termasuk dalam kategori pasar semi kuat antara lain adalah Sumenep dan Sampang di Jawa Timur.

Sementara itu bagi pasar lemah, penerapan UPSUS sebaiknya tidak diberlakukan. Pemerintah daerah sebaiknya menganalisis potensi pasar dulu untuk mengetahui apakah komoditas jagung bisa berkembang atau tidak di daerah tersebut. Aceh Selatan di Aceh, Garut di Jawa Barat dan Jayapura di Papua adalah daerah-daerah yang termasuk dalam pasar lemah.

Sementara itu pada pasar kuat, UPSUS sebaiknya dihentikan. Petani jagung di pasar kuat sudah tergolong mandiri karena adanya keterlibatan sektor swasta. Mereka sudah mampu membeli benih yang kualitasnya jauh lebih baik. Daerah yang termasuk pasar jagung kuat antara lain adalah Dompu di Nusa Tenggara Barat, Gorontalo Utara di Gorontalo dan Jember di Jawa Timur.

Pemerintah juga perlu merevisi panduan teknis budidaya jagung agar alokasi distribusi tidak didasarkan pada kuota produsen. Kementan menetapkan alokasi distribusi benih adalah 65% untuk benih produksi pemerintah (Balitbangtan dan produsen lain yang sudah mendapatkan lisensi Balitbangtan) dan 35% untuk benih produksi perusahaan swasta.

Selain itu, pemerintah juga harus membuat mekanisme permintaan varietas benih agar benih yang dibagikan sesuai dengan kebutuhan petani. Dengan adanya mekanisme ini, lanjut Imelda, diharapkan ada kerjasama dengan pihak swasta sebagai penyedia benih.

BERITA TERKAIT

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Industri

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…