Harjono: Peradilan yang Bebas Merupakan HAM

Harjono: Peradilan yang Bebas Merupakan HAM  

NERACA

Yogyakarta - Mantan Hakim Konstitusi Harjono mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk diadili oleh lembaga peradilan yang independen dan tidak terikat pada pihak manapun.

"Pernyataan ini tertuang dalam deklarasi hak asasi manusia dan diakui internasional, jadi kalau berangkat dari artikel itu maka peradilan yang bebas adalah hak asasi manusia," ujar Harjono dalam diskusi hukum di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta pada Sabtu (1/9).

Lebih lanjut Harjono menjelaskan bila manusia dihadapkan pada peradilan yang tidak bebas maka hal itu disebut dengan perampasan hak asasi manusia, karena aparat peradilan menerapkan pemikiran sebagai aparat peradilan yang bebas bukan kewajiban untuk bebas. Kendati demikian aparat peradilan atau hakim yang bebas adalah hal yang berbeda dengan kewajiban untuk bebas. Kewajiban untuk bebas dikatakan Harjono berarti ada larangan-larangan dan hukum yang harus dipatuhi.

"Kewajiban untuk bebas artinya hakim tidak boleh berpihak, apalagi putusannya dipengaruhi oleh pihak-pihak tertentu. Hakim harus bebas dari intervensi pihak manapun dalam menangani dan memutus perkara," ujar Harjono.

Selain itu Harjono juga menjelaskan kebebasan hakim dalam memutus perkara tidak boleh dilakukan tanpa dasar, melainkan harus memiliki rumusan alasan dan rumusan hukum yang jelas. Bila dua komponen tersebut tidak dipenuhi dalam putusan, maka itu akan menjadi syarat bagi pihak yang berperkara untuk mengajukan kasasi.

"Oleh sebab itu harus ada perubahan paradigma mengenai kebebasan ini, jangan sampai tafsir yang berbeda menjadikan hakim bisa berbuat seenaknya," pungkas Harjono.

KY Itu Salah Produk

Kemudian Harjono mengatakan bahwa Komisi Yudisial (KY) merupakan lembaga peradilan yang didirikan namun tidak sesuai dengan konsep awal."KY di Indonesia itu salah produk, tugas pokok dan kewenangan KY yang saat ini dijalankan tidak sama dengan konsep awal ketika kami ingin mendirikan KY," ujar Harjono.

Harjono bercerita bahwa pada awalnya KY akan didirikan dengan mencontoh lembaga peradilan serupa di Italia. Lembaga serupa KY di Italia itu dikatakan Harjono memiliki tugas pokok dan wewenang tidak hanya rekrutmen hakim, namun juga manajemen hakim mulai dari promosi, mutasi, sanksi, hingga keuangan.

"Gagal produk ini terjadi ketika kami ingin mengadaptasi KY di Italia namun prosesnya tidak mulus karena banyak penawaran, sehingga tugas pokok dan kewenangan KY di Indonesia tidak sesuai seperti yang diharapkan," ujar Harjono.

Lebih lanjut Harjono mengatakan bahwa pada saat ini sebagian tugas dan wewenang terkait manajemen hakim masih menjadi tanggung jawab Mahkamah Agung (MA). Padahal menurut Harjono seharusnya MA cukup fokus pada penanganan perkara saja.

"Jangan memusingkan hakim-hakim ini dengan persoalan manajemen, mereka seharusnya fokus saja dengan perkara yang sedang ditangani," kata Harjono.

“Dengan adanya kewajiban untuk melaksanakan manajemen hakim, maka akan menimbulkan potensi berkurangnya independensi hakim terutama dalam menangani dan memutus perkara,” jelas Harjono.

Pada kesempatan yang sama, Komisi Yudisial (KY) menilai pengadilan satu atap sebagai kebijakan buruk dan terbukti gagal dalam pelaksanaannya."Selain di Indonesia, sistem ini juga ditemukan di Cekoslovakia dan dinyatakan sebagai kebijakan buruk," kata juru bicara KY Farid Wajdi.

Farid menjelaskan bahwa para ahli hukum tata negara menyebut sistem pengadilan satu atap sebagai kebijakan buruk. Hal ini karena menimbulkan penyalahgunaan wewenang karena berbentuk kekuasaan yang terpusat. Indonesia sendiri masih menggunakan sistem pengadilan satu atap dengan mempertahankan pengelolaan perkara dan manajemen hakim di bawah naungan Mahkamah Agung.

Farid berpendapat bahwa Indonesia seharusnya belajar dari kegagalan sistem pengadilan satu atap Cekoslovakia."Sistem ini sangat rentan karena bergantung pada figur atau setidaknya menimbulkan kelompok figur yang tidak sehat atau oligarki," jelas Farid.

Dalam data yang dipaparkan oleh Farid, sebagian besar sistem peradilan dunia menyadari bahwa pengelolaan "mengurus" pengadilan tidak bisa diserahkan hanya kepada satu entitas, apalagi membenahi para hakim sebagai pemutus perkara sekaligus manajer.

Menurut Farid reorientasi konsep "atap' bukan merupakan pelanggaran independensi karena hal ini merupakan realita sekaligus tuntutan yang terjadi di banyak tempat."Praktik pengelolaan peradilan modern adalah fakta yang paling jelas bahwa peradilan tidak mungkin diberikan beban lebih selain hanya fokus pada perkara dan kesatuan hukum untuk keadilan," pungkas Farid. Ant

 

BERITA TERKAIT

Dua Pengendali Pungli Rutan KPK Sampaikan Permintaan Maaf Terbuka

NERACA Jakarta - Dua orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berstatus tersangka atas perannya sebagai pengendali dalam perkara pungutan…

Ahli Sebut Penuntasan Kasus Timah Jadi Pioner Perbaikan Sektor Tambang

NERACA Jakarta - Tenaga Ahli Jaksa Agung Barita Simanjuntak mengatakan penuntasan kasus megakorupsi timah dapat menjadi pioner dalam upaya perbaikan…

Akademisi UI: Korupsi Suatu Kecacatan dari Segi Moral dan Etika

NERACA Depok - Dosen Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Dr. Meutia Irina Mukhlis mengatakan dalam…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Dua Pengendali Pungli Rutan KPK Sampaikan Permintaan Maaf Terbuka

NERACA Jakarta - Dua orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berstatus tersangka atas perannya sebagai pengendali dalam perkara pungutan…

Ahli Sebut Penuntasan Kasus Timah Jadi Pioner Perbaikan Sektor Tambang

NERACA Jakarta - Tenaga Ahli Jaksa Agung Barita Simanjuntak mengatakan penuntasan kasus megakorupsi timah dapat menjadi pioner dalam upaya perbaikan…

Akademisi UI: Korupsi Suatu Kecacatan dari Segi Moral dan Etika

NERACA Depok - Dosen Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Dr. Meutia Irina Mukhlis mengatakan dalam…