IDAI Sebut Indonesia Darurat Campak Rubella

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan Fatwa Nomor 33 tahun 2018 yang memperbolehkan penggunaan vaksin Measles Rubella (MR) produksi Serum Institute of India (SII) yang dalam proses produksinya menggunakan bahan mengandung babi.

Sementara pada poin ketiga fatwa tersebut disebutkan bahwa penggunaan Vaksin MR produk dari Serum Institute of India (SII), pada saat ini, dibolehkan (mubah) karena ada kondisi keterpaksaan (dlarurat syar'iyyah).

Aman Bhakti Pulungan, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengatakan bahwa kondisi penyebaran campak dan rubella di Indonesia terbilang darurat.

"Kalau darurat ya sangat darurat kalau kita lihat secara umum. (Secara global), kita ini terburuk kedua di dunia setelah India (untuk campak)," kata dia saat konferensi pers di gedung Kemenkes, Kuningan, Jakarta Selatan, dikutip dari CNN Indonesia.

Lebih lanjut ia menjelaskan, campak termasuk dalam golongan penyakit yang sulit diatasi. Dia menambahkan, satu-satunya cara untuk mencegah penyebaran campak adalah dengan melakukan vaksinasi.

Hanya saja, untuk menjamin vaksinasi campak benar-benar sukses dan terhindar dari penyakit ini, lingkungan sekitar juga harus aman dari campak alias cakupan vaksinasi daerah tersebut harus berada di batas aman.

Cakupan vaksinasi aman di angka 90-95 persen. Namun, lanjut Aman, provinsi dengan cakupan vaksinasi mencapai 90 persen kemungkinan hanya 15 provinsi, dari total 34 provinsi di Indonesia. Cakupan vaksinasi ini untuk menciptakan 'herd immunity' yakni, lingkungan atau komunitas yang resisten terhadap suatu jenis penyakit umumnya karena vaksin.

Dalam lima tahun terakhir, kasus campak dan rubella banyak bermunculan di Indonesia. Hingga Juli 2018, Kemenkes mencatat sebanyak 57.056 kasus terduga campak dan rubella yang dilaporkan. Dari jumlah ini, sebanyak 8.964 positif campak dan 5.737 positif rubella. "Kita harus belajar dari kejadian di Asmat. 750 anak meninggal karena campak," imbuhnya.

Campak merupakan penyakit yang sangat mematikan. Aman menjelaskan, campak dapat menimbulkan beragam komplikasi seperti pneumonia, diare, meningitis hingga kematian. Sedangkan rubella tak menimbulkan gejala khas, tetapi sangat berbahaya saat anak yang terinfeksi rubella berada di dekat ibu hamil.

Aman berkata, anak infeksi rubella akan menularkan pada ibu hamil. Akibatnya, ibu mengalami keguguran atau lahir dalam kondisi cacat permanen atau Congenital Rubella Syndrome (CRS). CRS bisa berupa ketulian, gangguan penglihatan atau kebutaan hingga kelainan jantung.  "Perawatan anak yang terdampak rubella bisa Rp300-400 juta, enggak tahu kalau seumur hidup berapa. Indonesia kira-kira ada 2.700-2.800 orang yang terkena, coba itu dikalikan. Ini sangat darurat artinya," jelas Aman.  Oleh karena itu, ia mengharapkan kesadaran semua pihak terkait pentingnya vaksinasi. Pada Agustus hingga September, Kemenkes menyelenggarakan imunisasi serentak di luar Pulau Jawa.  "Ini sangat darurat, kita harus selamatkan bangsa ini. Ini investasi masa depan kita," ujarnya.

Di sisi lain, Indonesia diperkirakan mengalami kerugian ekonomi akibat penyakit Measle-Rubella (MR) mencapai Rp5,7 triliun. Kerugian itu dinilai tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan untuk kampanye dan imunisasi MR hanya lebih kurang Rp29 ribu.

Indonesia merupakan satu dari 10 negara dengan jumlah kasus campak terbesar di dunia pada 2015 menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO). Kemenkes mencatat jumlah kasus campak dan rubela dalam 2014 sampai dengan Juli 2018 mencapai 57.056 kasus (8.964 positif campak dan 5.737 positif rubela).

Pada 2014, terdapat 12.943 kasus suspek campak rubela (2.241 positif campak dan 906 positif rubela. Pada tahun berikutnya, tercatat 13.890 kasus suspek campak rubella dengan 1.194 jiwa positif campak dan 1.474 positif rubella.

Pada 2016, angkanya sedikit menurun dengan hanya tercatat 12.730 kasus suspek campak rubela yang tercatat dengan 2.949 positif campak dan 1341 positif rubella. Namun di tahun berikutnya, kasus ini tercatat kembali naik menjadi 15.104 kasus. 383 kasus positif campak dan 732 positif rubela.

"Lebih dari tiga per empat dari total kasus yang dilaporkan baik campak (89 persen) maupun rubela (77 persen) diderita oleh anak usia di bawah 15 tahun," tutur Dirjen P2P Kemenkes RI, Anung Sugihantoni, di kantornya.

Aman Pulungan dari IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) mengatakan Indonesia masih menjadi negara dengan jumlah penderita campak terburuk kedua di dunia setelah India. Setiap tahun, kata Aman, rata-rata 2.700-2.800 anak terjangkit penyakit tersebut.

Penderita campak bisa berujung menderita komplikasi berupa diare, meningitis, bahkan kematian. Sekitar 1 dari 20 penderita campak mengalami radang paru, sementara 1 banding 1.000 penderita terkena kompilasi radang otak. Selain itu, komplikasi lain adalah infeksi telinga yang berujung tuli dan diare yang masing-masing probabilitasnya 1 banding 10.

Dampak dari penyakit campak secara ekonomi sangat besar. Tanpa komplikasi saja, penderita menghabiskan Rp2,7 juta per kasus. Jika terkena komplikasi maka pengobatan yang diperlukan sebesar Rp13 juta per kasus di luar biaya hidup saat perawatan.

Sementara, penderita rubella sangat mudah menginfeksi janin yang dikandung ibu hamil. Janin tersebut bisa gugur atau lahir dengan kecacatan yang fatal berupa kebutaan, jantung bocor, atau otak kecil yang bersifat permanen kepada bayi atau disebut Congenital Rubella Syndrome (CRS).

Selama 4 tahun terakhir hingga Juli 2018, data rumah sakit di seluruh Indonesia mencatat 1.660 kasus CRS telah terjadi. Biaya minimal yang dibutuhkan untuk anak penderita CRS mencapai Rp395 juta per orang.

Dana itu termasuk untuk penanaman koklea pada telinga, operasi jantung dan mata. Biaya itu belum termasuk biaya perawatan kecacatan seumur hidup. "Kalau biayanya sedemikian besar untuk satu anak, siapa yang akan menanggungnya? Penyakit ini merusak generasi ke depan," lanjut Aman.

Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah resmi memperbolehkan vaksin Measles Rubella (MR) yang merupakan produk dari Serum Institute of India (SII). Penggunaan vaksin tersebut menjadi polemik karena mengandung babi.

Namun MUI menghalalkan penggunaan vaksin tersebut karena tiga alasan utama yaitu karena darurat, ahli menyatakan dampak bahaya tanpa vaksin ini dan karena belum adanya vaksin halal dan suci lain yang bisa digunakan.

BERITA TERKAIT

Mengenal LINAC dan Brachytherapy Opsi Pengobatan Kanker

Terapi radiasi atau radioterapi, termasuk yang menggunakan Linear Accelerator (LINAC) dan metode brachytherapy telah menjadi terobosan dalam dunia medis untuk…

Masyarakat Diminta Responsif Gejala Kelainan Darah

Praktisi kesehatan masyarakat, dr. Ngabila Salama meminta masyarakat untuk lebih responsif terhadap gejala kelainan darah dengan melakukan pemeriksaan atau skrining.…

Mengatur Pola Makan Pasca Lebaran, Simak Tipsnya

  Makan makanan ini di Hari Lebaran sebenarnya enak, tapi ingat jangan berlebihan, ya! Pasalnya, mengonsumsi santan dan makanan berlemak…

BERITA LAINNYA DI Kesehatan

Mengenal LINAC dan Brachytherapy Opsi Pengobatan Kanker

Terapi radiasi atau radioterapi, termasuk yang menggunakan Linear Accelerator (LINAC) dan metode brachytherapy telah menjadi terobosan dalam dunia medis untuk…

Masyarakat Diminta Responsif Gejala Kelainan Darah

Praktisi kesehatan masyarakat, dr. Ngabila Salama meminta masyarakat untuk lebih responsif terhadap gejala kelainan darah dengan melakukan pemeriksaan atau skrining.…

Mengatur Pola Makan Pasca Lebaran, Simak Tipsnya

  Makan makanan ini di Hari Lebaran sebenarnya enak, tapi ingat jangan berlebihan, ya! Pasalnya, mengonsumsi santan dan makanan berlemak…