Pergerakan Rupiah: Pelemahan yang Tertunda

Oleh: Anthony Budiawan,  Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Kurs tengah rupiah Bank Indonesia pada 24 Agustus 2018 melemah menjadi Rp14.655 per dolar AS, turun 8,2 persen dibandingkan kurs akhir 2017 sebesar Rp13.548 per dolar AS. Jika dihitung sejak akhir 2014 di mana kurs rupiah tercatat Rp12.440 per dolar AS, rupiah sudah terdepresiasi Rp2.215, atau sekitar 17,8 persen selama periode 2015 hingga 24 Agustus 2018.

Meskipun demikian, kita harus bersyukur bahwa rupiah hanya turun 17,8 persen. Pasalnya, kurs rupiah sempat anjlok dari Rp12.440 per dolar AS pada akhir tahun 2014 menjadi Rp14.709 per dolar AS pada 2 Oktober 2015. Dengan kata lain, kurs rupiah sudah turun lebih dari 18 persen selama 9 bulan pertama 2015.

Luar biasa. Anjloknya kurs rupiah ini seiring dengan penurunan drastis cadangan devisa, dari 111,9 miliar dolar AS pada akhir tahun 2014 menjadi 101,7 miliar dolar AS pada akhir September 2015, atau turun 10,2 miliar dolar AS, atau 9,07 persen. Bahkan untuk periode Maret 2015 sampai akhir November 2015, cadangan devisa turun 15,3 miliar dolar AS.

Naik turun cadangan devisa dan pergerakan rupiah mempunyai hubungan yang erat dengan kebijakan yang diambil pemerintah. Seperti diketahui, pemerintah memberlakukan tax amnesty pada periode 1 Juli 2016 sampai 31 Maret 2017. Pemerintah ketika itu sangat membutuhkannya. Meskipun dinilai kontroversial, harus diakui kebijakan tersebut menyelamatkan ekonomi Indonesia dalam hal berikut:

Pertama, dana tebusan tax amnesty menyelamatkan APBN 2016 yang sudah sangat kritis. Kalau tidak ditambal defisitnya akan melebihi 3 persen dari PDB, yaitu batas maksimum yang dibolehkan oleh undang-undang.

Konsekuensi dari defisit anggaran belanja harus dipangkas yang mana akan membuat pertumbuhan ekonomi turun. Untuk tahun 2016, tax amnesty sudah menyumbang Rp103,3 triliun sehingga total penerimaan pajak 2016 menjadi Rp1.249.5 triliun, atau sekitar 82 persen dari anggaran.

Tanpa tax amnesty, realisasi penerimaan pajak hanya Rp1.146,2 triliun, lebih rendah dari realisasi penerimaan pajak 2015. Dan hanya sekitar 76 persen saja dibandingkan anggaran.

Pertumbuhan ekonomi 2016 tanpa tax amnesty akan lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi 2016 yang tercatat sebesar 5,02 persen, mungkin lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi 2015 sebesar 4,78 persen.

Kedua, aliran dana repatriasi dari tax amnesty juga menyelamatkan neraca pembayaran dan menambah cadangan devisa sehingga tidak mengalami defisit seperti tahun 2015 sebesar 6 miliar dolar AS. Tahun 2016 dan 2017 neraca pembayaran mengalami surplus yang sangat signifikan, masing-masing sebesar 10,5 miliar dolar AS dan 13,8 miliar dolar AS.

Dengan surplus yang sedemikian besar, seharusnya kurs rupiah menguat signifikan juga. Anehnya, hal tersebut tidak terjadi. Malah, kurs rupiah melemah selama periode tax amnesty: pada 1 Juli 2016 sampai 31 Desember 2016, sebesar 2 persen, sementara untuk periode 1 Juli 2016 sampai 31 Maret 2017, rupiah melemah 1,13 persen. Bayangkan, bagaimana jadinya kurs rupiah kalau tidak ada dana repatriasi?

Tahun 2018 sudah tidak ada tax amnesty lagi. Cadangan devisa selama 7 bulan pertama 2018 sudah anjlok 11,9 miliar dolar AS. Penurunan cadangan devisa ini menekan kurs rupiah, dan terdepresiasi 8,2 persen sejak awal tahun hingga 24 Agustus 2018.

Jadi, pelemahan rupiah saat ini merupakan masalah yang tertunda sejak 2016 karena diberlakukannya tax amnesty. Rupiah sepertinya akan terdepresiasi terus sepanjang 2018, bahkan 2019, kecuali harga minyak mentah turun atau harga komoditas ekspor seperti batubara, karet dan minyak sawit, naik.

Untuk mengatasi pelemahan rupiah, pemerintah berupaya membatasi impor, yang tentu saja penuh risiko tindakan balasan dari negara yang merasa dirugikan, di samping berpotensi melanggar aturan WTO. Bank Indonesia juga akan menaikkan suku bunga acuan lagi, mungkin bisa sampai 7,0 persen, bahkan 7,5 persen, sebelum pemilihan presiden pada April 2019. Semua ini tentu akan menekan pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu, cadangan devisa sampai akhir 2018 sepertinya masih akan turun lagi, mungkin bisa lebih rendah dari posisi akhir 2014 ketika ditinggal oleh pemerintahan SBY dengan cadangan devisa 111,9 miliar dolar AS. Untung saja, cadangan devisa semasa pemerintahan SBY meningkat tajam dari 36,3 miliar dolar AS pada akhir 2004 menjadi 111,9 miliar dolar AS pada akhir 2014, naik 3,1 kali lipat, sehingga turut berkontribusi menahan krisis mata uang.

Semoga terjadi keajaiban dana asing masuk lagi ke pasar saham atau obligasi dalam jumlah yang signifikan. Tetapi, jangan sampai investasi portofolio ini meningkatkan jumlah utang luar negeri pemerintah yang dipegang asing yang saat ini sudah sangat tinggi, yaitu 61 persen dari total utang pemerintah. (www.watyutink.com)

BERITA TERKAIT

Jaga Persatuan dan Kesatuan, Masyarakat Harus Terima Putusan MK

    Oleh : Ridwan Putra Khalan, Pemerhati Sosial dan Budaya   Seluruh masyarakat harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK)…

Cendekiawan Sepakat dan Dukung Putusan MK Pemilu 2024 Sah

    Oleh: David Kiva Prambudi, Sosiolog di PTS   Cendekiawan mendukung penuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa…

Dampak Kebijakan konomi Politik di Saat Perang Iran"Israel

  Pengantar Sebuah diskusi webinar membahas kebijakan ekonomi politik di tengah konflik Irang-Israel, yang merupakan kerjasama Indef dan Universitas Paramadina…

BERITA LAINNYA DI Opini

Jaga Persatuan dan Kesatuan, Masyarakat Harus Terima Putusan MK

    Oleh : Ridwan Putra Khalan, Pemerhati Sosial dan Budaya   Seluruh masyarakat harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK)…

Cendekiawan Sepakat dan Dukung Putusan MK Pemilu 2024 Sah

    Oleh: David Kiva Prambudi, Sosiolog di PTS   Cendekiawan mendukung penuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa…

Dampak Kebijakan konomi Politik di Saat Perang Iran"Israel

  Pengantar Sebuah diskusi webinar membahas kebijakan ekonomi politik di tengah konflik Irang-Israel, yang merupakan kerjasama Indef dan Universitas Paramadina…