REFLEKSI HUT KEMERDEKAAN INDONESIA KE-73 - Masih Banyak Tantangan yang Perlu Dijawab

 

 

Oleh : Toni Ervianto, Alumnus FISIP Universitas Jember dan Pascasarjana UI

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia memiliki lebih dari 17.100 pulau, memiliki lebih dari 1.128 etnis, 746 bahasa yang beragam, 1.000 macam makanan tradisional dan keanekaragaman hayati, memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada dengan total panjang 99.093 Km, memiliki 8 situs budaya warisan dunia. Negara yang cantik dan memesona ini akan berulang tahun yang ke-73 pada 17 Agustus 2018. Pertanyaannya adalah apa saja prestasi Indonesia? Apa saja tantangan yang harus dijawab? dan juga apa saja ancaman yang masih menganga dan membahayakan negara dengan sebutan “jamrud katulistiwa” ini?

Indonesia diprediksi Bank Dunia, IMF ataupun lembaga penelitian berklasifikasi internasional berpotensi menjadi negara besar di dunia. Penilaian ini cukup beralasan setidaknya Indonesia memiliki sejumlah advantage seperti bonus demografi, dimana usia 15 tahun dan kurang dari 64 tahun (34%), usia 15 tahun sampai 64 tahun (66%). Penduduk usia produktif Indonesia mencapai 170 juta jiwa lebih besar dibandingkan gabungan penduduk usia produktif di Malaysia, Singapura, Australia dan Thailand. Oleh karena itu, benar jika strategi pembangunan yang akan diterapkan pemerintahan Joko Widodo ke depan adalah mengembangkan “human capital” di Indonesia.

Menurut Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, dalam pidato kenegaraan Presiden Jokowi pada 16 Agustus 2018 menekankan masalah “human capital” akan menjadi sentral tema pidato tersebut, dimana pada APBN 2019, pemerintah akan meningkatkan pelayanan publik di sektor-sektor yang esensial seperti pendidikan dengan memperbanyak pendidikan vokasional khususnya di bidang pariwisata dan manufaktur dengan jumlah anggaran sebesar Rp 14 triliun, kesehatan dan pembangunan infrastruktur dasar. (The Jakarta Post, 8 Agustus 2018). Strategi ini jelas menunjukkan pemerintahan Jokowi memiliki visi yang jelas dalam “mengelola” bonus demografi di Indonesia agar bermanfaat dan bukan mudharat.

Prestasi dan Tantangan Indonesia

Di usianya yang ke-73, Indonesia ternyata memiliki banyak prestasi mengagumkan. Beberapa prestasi mengagumkan yang tercatat dalam pemberitaan akhir-akhir ini beberapa diantaranya adalah : pertama, salah satu BUMN Indonesia, PT Telekomunikasi Indonesia berhasil mengorbitkan satelit “Merah Putih”, dimana prestasi ini mengulangi prestasi 42 tahun yang lalu ketika satelit Palapa A1. Satelit Merah Putih ini membawa 60 transponder, dimana 24 transponder didedikasikan untuk melayani telekomunikasi untuk negara-negara ASEAN dan Asia Selatan, sedangkan 36 transponder untuk melayani permintaan domestik.

Keberhasilan ini jelas akan mengurangi ketergantungan pemenuhan kebutuhan telekomunikasi di Indonesia yang sejauh ini masih dipasok dari provider luar negeri. Menurut data Kemenkominfo, operator satelit domestik seperti Telkom, Pasific Satellite Nusantara, Media Citra Indostar, Bank Rakyat Indonesia dan Indonesia Ooredoo hanya mampu memenuhi setengah kebutuhan domestik. Keberhasilan ini juga akan mengembangkan konektivitas nasional dan menunjukkan kemampuan BUMN Indonesia untuk berkompetisi di era global saat ini.

Kedua, dalam diplomasi internasional dan menciptakan perdamaian internasional, Indonesia juga mencatat sejumlah prestasi antara lain terpilih sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Disamping itu, Indonesia juga berhasil meredakan ketegangan akibat konflik etnis di Rohingya, Myanmar dan “memaksa” pemerintah Myanmar untuk menyelesaikan masalah ini tanpa adanya pelanggaran HAM, dimana usulan-usulan Indonesia juga diapresiasi utusan khusus PBB. Tidak hanya itu saja, Indonesia bersama Australia juga berhasil mengurangi dan mengantisipasi praktik people smuggling, memerangi praktik human trafficking, pemberian pekerjaan yang melanggar HAM atau forced labor, termasuk perbudakan (slavery), illegal immigration, dimana upaya ini dilakukan dengan bersinergi bersama dunia swasta. Hal ini adalah pencapaian penting sebab mengacu kepada data Walk Free Foundation Global Slavery Index yang menyebutkan, kegiatan ekspor negara-negara Asia Pasifik yang menghasilkan keuntungan US $ 555,9 milyar ternyata diiringi dengan meluasnya praktik perbudakan di beberapa negara.

Ketiga, keberhasilan Indonesia melalui PT Pertamina untuk mengamankan ketahanan energi dan kedaulatan energi di masa mendatang dengan Pertamina mengambil alih pengelolaan blok-blok Migas yang habis masa kontraknya atau blok-blok terminasi seperti Blok Rokan, Blok Sanga-Sanga dan akan berupaya menguasai Blok Corridor. Disamping itu, Indonesia secara step by step juga akan berhasil “menguasai” PT Freeport Indonesia dengan divestasi sebesar 51%, walaupun tahap yang dicapai saat ini masih dalam Head of Agreement (HoA).

Keempat, pemerintah juga concern dengan mengurangi gap kemiskinan di Indonesia, salah satunya dengan pemberlakuan BPJS, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, termasuk pemberian sertifikat tanah kepada pemiliknya terutama warga yang kurang mampu secara gratis. Langkah ini sesuai dengan tesis Hernando de Soto. Dalam bukunya yang terkenal, The Mystery of Capital : Why Capitalism Thriumphs in the West and Fails Everywhere Else (2000), Hernando de Soto menyatakan, salah satu prasyarat yang dibutuhkan untuk memberikan kesempatan masyarakat miskin mengembangkan usahanya adalah reformasi hak kepemilikan, yaitu jaminan kepemilikan aset yang terdokumentasi atau sah yang bisa dijadikan modal untuk bersaing di sektor perekonomian.

Ancaman ke Depan

Seperti negara-negara lainnya, Indonesia juga tidak dapat mengelak dari penetrasi globalisasi yang merupakan keniscayaan. Menurut Anthony Giddens, ada tiga dampak penetrasi globalisasi, yaitu pertama mengendurnya ikatan negara bangsa (makin banyak wilayah yang ingin merdeka); kedua, penguatan nilai-nilai lokal (etnonasionalisme); ketiga, liberalisasi ekonomi.

Disamping itu, ancaman pelemahan nilai tukar rupiah atau krisis moneter, krisis air bersih dan pangan serta maraknya kekerasan juga menjadi conditio sine quanon atau point of no return dari adanya globalisasi tersebut, seperti yang pernah diingatkan sejumlah akademisi seperti Kominsky dan Reinhart (1995) pada tahap awal menjelang krisis moneter biasanya otoritas moneter mengatasi gejolak finansial dengan kebijakan suku bunga. Bila kebijakan suku bunga itu tidak berhasil berarti sudah terjadi krisis finansial dan Lincoln P. Bloomfield dan Allen (Managing International Conflict) dalam mencermati fenomena konflik etnik di era pasca perang dingin, bahwa kekerasan muncul dan disebabkan oleh sesama masyarakatnya sendiri untuk memperebutkan wilayah otoritas yang lambat laun menjadi sebuah kekuatan yang lebih besar melebihi persaingan politik.

Sejak tahun 2015, kabar Indonesia akan mengalami krisis air pada 2040 sudah santer. Penyebabnya cuaca ekstrem. Peneliti dari Indonesia Water Institute mengatakan kita membutuhkan 4.000 waduk bila tak ingin bernasib seperti Afrika. Ia memberi contoh Jepang yang memiliki 3.000 waduk, Amerika 6.666 buah, dan Indonesia hanya 284 waduk. Selain air, di masa depan Indonesia juga akan mengalami krisis energi. Yang paling cepat adalah minyak bumi, diprediksi hanya sampai maksimal 16 tahun mendatang. Gas bumi akan habis 30 tahun ke depan, sedangkan batu bara 100 tahun mendatang. Habisnya beberapa energi fosil yang tak terbarukan itu adalah sebuah keniscayaan. Tidak luput juga beberapa peneliti mengatakan Indonesia rawan krisis pangan pada 2025 mendatang.

Ancaman lainnya bagi Indonesia ke depan adalah penyebaran radikalisme, intoleransi dan terorisme melalui dunia maya yang dapat merusak rajutan kebhinekaan, seperti dikemukakan beberapa pakar antara lain Oliver Roy dalam tulisan “Who are the New Jihadis?”, banyak kelompok revivalis yang menggunakan modus Islamisasi radikalisme sebagai cara meraih kekuasaan dan merebut pengaruh sosial di kalangan masyarakat “terrorism does not arise from radicalization of Islam, but from the Islamization of radicalism”; Michele Getland, Deborah Small dan Heidi Stayn (terkait perempuan sebagai pelaku teror) dan Graham Jones, psikolog internet dan Jhon Suller Martin (terkait agresivitas dan kekasaran di  dunia maya).

Radikalisasi di dunia maya yang dilakukan sekitar 200 anggota Islamic State yang kembali ke Indonesia semakin menjadi ancaman nyata. Kelompok atau individu cukup mengakses medsos untuk berbagai kebutuhan, mulai dari pendidikan paham radikal, cara dan tips menyiapkan aksi teror, hingga layanan jual beli perlengkapan serangan teror. Dunia maya menjadi media yang digemari kelompok IS karena murah, cepat memberikan pengaruh dan atraktif untuk membungkus argumentasi sederhana mengenal surga, neraka dan kafir atau mengedepankan pemahaman “oposisi binner”.

Selamat ulang tahun Indonesiaku. Semoga kita mampu menjawab tantangan dan menghilangkan ancaman ke depan, agar dunia tahu siapa kita sebenarnya. Kita Indonesia.

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…