Saksi Ahli: Pemerintah Sudah Siap Rugi Dalam Penyelesaian BLBI - Sidang Lanjutan SKL BLBI

Saksi Ahli: Pemerintah Sudah Siap Rugi Dalam Penyelesaian BLBI

Sidang Lanjutan SKL BLBI

NERACA

Jakarta - Dalam penyelesaian kewajiban Bantuan Likuiditas Bank Indonesia oleh perbankan, sesungguhnya pemerintah telah menyatakan siap rugi. Itu terlihat dalam PP 27 Tahun 1998 yang memberikan kewenangan kepada BPPN untuk menjual asset yang berasal dari obligor BLBI di bawah nilai buku.“Dengan memberikan kewenangan itu artinya pemerintah sudah menyatakan siap rugi,” kata ahli hukum perdata dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Nindyo Pramono dalam sidang lanjutan kasus kerugian negara dalam penerbitan SKL BLBI untuk Bank BDNI dengan tersangka mantan Ketua BPPN Syafrudin Arsyad Temenggung, Kamis (16/8). 

Menurut Nindyo, saat ini wewenang yang sama juga diberikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dimana pada dalam keadaan krisis dan sistemik lembaga ini diberi wewenang menjual aset bank yang dikuasai di bawah nilai buku.

Saksi menjelaskan, wewenang itu diberikan pada saat krisis, dimana pemerintah sangat membutuhkan dana atau dalam keadaan sangat mendesak. Jika ingin untung, penjualan aset itu harus menunggu kondisi perekonomian pulih kembali.“Kalau dalam keadaan krisis siapa yang mau beli aset di atas nilai buku, atau sama dengan nilai buku,” katanya.

Sebelumnya dalam sidang yang sama, saksi a de charge lainnya  mantan Sekretaris Kabinet  Bambang Kesowo menggambarkan, situasi pada saat krisis ekonomi berlangsung kondisi  keuangan negara sangat berat sehingga pada satu saat pemerintah terpaksa meminjam uang ke Bank Indonesia untuk membayar gaji.“Kondisi saat itu sangat berat sehingga pernah pemerintah terpaksa meminjam dana untuk bayar gaji ke BI,” kata Bambang Kesowo.

Menurut Bambang, penyaluran BLBI dan pendirian BPPN adalah bagian dari kebijakan pemerintah yang harus dilakukan karena berbagai instrumen yang ada tidak berdaya menanggulang krisis.“Ini merupakan instrumen pamungkas agar perekonomian Indonesia tidak terpuruk lebih dalam lagi,” katanya.

Untuk menyelesaikan kewajiban BLBI yang diterima bank miliknya, pemegang saham pengendali diminta untuk menandatangani perjanjian yang dikenal sebagai Master Settlement Acquistion Agreement (MSAA). Dalam perjanjian ini, pemerintah meminta pemegang saham untuk menyerahkan aset senilai dengan fasilitas BLBI yang sudah disalurkan kepada bank mereka. Dan pemerintah dan pemegang saham bank sepakat untuk menyelesaikan masalah di luar pengadilan atau dikenal out of court settlement.

Dalam hal ini, pemerintah berjanji tidak akan menuntut pemegang saham secara pidana atas segala pelanggaran yang terjadi pada bank-bank mereka. Kemudian, bagi yang sudah menyelesaikan penyerahan asset, akan diberikan surat release and discharge  (R&D) yaitu dokumen yang menyatakan bahwa pemilik bank sudah menunaikan kewajibannya sesuai dengan isi MSAA.

Diantara mereka yang mendapat R&D itu adalah pemilik Bank BDNI yaitu Syamsul Nursalim setelah dia menyerahkan 12 perusahaan dengan nilai aset sekitar Rp 28 triliun, atau senilai dengan kewajiban yang dihitung oleh pemerintah. Semua aset itu kemudian diaudit oleh finansial auditor yang ditunjuk oleh BPPN sendiri, hasilnya penyerahan aset Syamsul Nursalim dinyatakan dapat diterima dan nilai sudah seusia dengan kewajiban.

Menjawab pertanyaan penasehat hukum terdakwa yang dipimpin oleh Prof. Yusril Ihza Mahendra, apakah MSAA dan R&D ittu mengikat, Nidyo mengatakan memang mengikat sehingga tidak bisa dibatalkan. Pertanyaan ini muncul karena di dalam dakwaan jaksa disebutkan bahwa seharusnya SAT tidak memberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Syamsul Nursalim karena obligor ini dinilai belum memenuhi semua kewajibannya. Menurut tuntutan jaksa, berdasarkan penyelidikan KPK, Syamsul telah melakukan misrepresentasi (misrep) senilai Rp 4,5 triliun dalam laporan penyerahan asetnya karena salah satu dari aset tersebut yaitu kredit BDNI kepada petani petambak udang ternyata macet.

Berdasarkan hukum perdata, penilaian adanya misrep tersebut seharusnya ditetapkan oleh pengadilan, tidak bisa secara sepihak.“Yang berwenang memutuskan adanya misrep itu adalah pengadilan,” katanya.

Pengacara SAT mengatakan, dugaan adanya misrep itu sebetulnya sudah disampaikan BPPN pada 1999, dan Syamsul telah membantahnya. Setelah itu, tidak ada satupun tindakan BPPN untuk mem-follow-up, sehingga masalah ini tidak pernah dituntaskan sampai kemudian BPPN ditutup pada 2004.

Dalam pandangan Nindyo, dalam hukum perdata bila tidak adanya follow-up dari BPPN sampai lembaga ini tutup berarti kreditor dalam hal ini BPPN berarti sudah melepas hak tagihnya.“Dalam hukum perdata memang ada pasal yang mengatur bahwa kreditor bisa melepaskan hak tagihnya,” katanya. Mohar

BERITA TERKAIT

Dua Pengendali Pungli Rutan KPK Sampaikan Permintaan Maaf Terbuka

NERACA Jakarta - Dua orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berstatus tersangka atas perannya sebagai pengendali dalam perkara pungutan…

Ahli Sebut Penuntasan Kasus Timah Jadi Pioner Perbaikan Sektor Tambang

NERACA Jakarta - Tenaga Ahli Jaksa Agung Barita Simanjuntak mengatakan penuntasan kasus megakorupsi timah dapat menjadi pioner dalam upaya perbaikan…

Akademisi UI: Korupsi Suatu Kecacatan dari Segi Moral dan Etika

NERACA Depok - Dosen Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Dr. Meutia Irina Mukhlis mengatakan dalam…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Dua Pengendali Pungli Rutan KPK Sampaikan Permintaan Maaf Terbuka

NERACA Jakarta - Dua orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berstatus tersangka atas perannya sebagai pengendali dalam perkara pungutan…

Ahli Sebut Penuntasan Kasus Timah Jadi Pioner Perbaikan Sektor Tambang

NERACA Jakarta - Tenaga Ahli Jaksa Agung Barita Simanjuntak mengatakan penuntasan kasus megakorupsi timah dapat menjadi pioner dalam upaya perbaikan…

Akademisi UI: Korupsi Suatu Kecacatan dari Segi Moral dan Etika

NERACA Depok - Dosen Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Dr. Meutia Irina Mukhlis mengatakan dalam…