Bea Masuk di 158 Pos Tarif akan Direvisi

NERACA

Jakarta – Pemerintah melalui Badan Kebijakan fiskal (BKF) hanya akan membebaskan 158 pos tarif, dari 293 pos tarif yang diajukan pemerintah untuk direvisi. Hal itu berdasarkan rapat pleno antara kementerian teknis terkait revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 241 Tahun 2010 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor.

Sebelumnya, pemerintah berencana merevisi PMK no 241 tahun 2010 menyusul desakan pelaku usaha. Pasalnya PMK tersebut dinilai memberatkan dunia usaha karena mengenakan BM atas impor barang modal dan bahan baku.

Kementrian Perindustrian mengajukan revisi terhadap 293 pos tarif yang mengatur Bea Masuk. Namun setelah verifikasi ulang, karena adanya double list, hanya ada sekitar 285 pos tarif yang dikaji untuk revisi. Sekitar 267 pos tarif diantaranya merupakan usulan dari Kementerian Perindustrian.

Kepala Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Kemenperin Aryanto Sagala mengatakan, berdasarkan putusan rapat pleno, sebanyak 158 pos tarif kategori hijau, Bmnya akan dikembali menjadi nol persen. Dan sebanyak 127 pos tarif sedang dalam pembahasan. “Kemenperin sedang mengupayakan, agar dari 127 pos tarif itu ada yang dihijaukan lagi. Setidaknya, 70% dari 285 pos tarif dinolkan BMnya,” katanya.

Aryanto mengaku, akan memperjuangkan agar 127 pos tarif yang belum selesai dapat dirampungkan. “Agar BM untuk mesin-mesin, termasuk mesin industri tekstil dinolkan. Seharusnya bisa hijau. Tapi, masih kuning. Alasannya, mesin untuk industri banyak dari Tiongkok, sehingga bisa menggunakan mekanisme FTA. Itu tidak ada relevansi,” terangnya.

Aryanto meminta kepala BKF untuk segera menerbitkan revisi yang telah ditetapkan.

Sementara itu dihubungi secara terpisah, Ade Drajat Usman, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengatakan, langkah alasan BKF untuk tidak meloloskan BM untuk permesinan sangat tidak logis.

Menurutnya, selama ini mesin tekstil yang masuk ke Indonesia sebagian besar berasal dari Belgia dan Jerman. “Kalau mau bertahan mesin tekstil kita menggunakan produk dari Jerman dan Belgia. Karena kita ekspor ke Eropa dan Amerika Serikat. Kalau menggunakan mesin China, kita jual di China karena hasilnya kualitas disana. Sedangkan di China kita tidak punya pasar, pasar kita Eropa dan Amerika. Memang ada sebagian yang mengunakan mesin dari China. Sekitar 70% mesin mengunakan produkEropa dan 30% mengunakan mesin Jepang, Tiongkok dan Korea. Kalau BKF berpikir seperti itu sama saja ingin bilang ke industri siap-siap masti saja,” tukas Ade.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik (INAPlas) Fajar AD Budiyono Fajar mengatakan, pemerintah seharusnya segera menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) atas revisi PMK, terutama untuk pos tarif yang sudah disetujui.

“Yang sudah oke dan hijau, segera terbitkan Permennya. Menurut informasi yang saya dapat, untuk bahan baku sudah disetujui BM nol persen. Yang masih a lot adalah permesinan. Fokus kami adalah, pos-pos tarif, khususnya bahan baku yang disetujui nol persen BMnya segera terbit peraturannya. Kalau permesinan paling setahun 3 kali, beda dengan bahan baku yang pengirimannya bisa tiap hari,” jelas Fajar.

Pos Bahan Baku Ditolak

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat Sintetis dan Fiber Indonesia (Apsyfi) Redma Gita Wirawasta mengatakan, sebanyak 11 pos tarif bahan baku baku utama dan penolong serat sintetis telah ditolak oleh BKF. Dan untuk bahan baku utama yakni purified therepthalic acid (PTA) belum disetujui untuk dihapuskan.

Menurutnya, jika BM PTA tetap 5%, maka akan berdampak secara paralel terhadap harga bahan baku lainnya. Saat ini, ujar dia, produsen PTA di dalam negeri ada 3 perusahaan dengan total produksi sebesar 1,4 juta ton.

“Tidak semua bahan baku utama dan penolong sintesis bisa diproduksi di dalam negeri, sehingga harus diimpor. Tapi saya bingung, kenapa tidak dinolkan. Alasan BKF adalah untuk melindungi pasar dalam negeri. Padahal, industri dalam negeri tidak dapat untung dan penerimaan yang didapat negara juga sedikit. Itu tidak masuk akal,” tandas Redma.

BERITA TERKAIT

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Industri

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…