BI KEMBALI NAIKKAN SUKU BUNGA ACUAN JADI 5,5% - Stop Impor Barang Modal dan Tunda Proyek BUMN

Jakarta-Di tengah ancaman defisit neraca perdagangan Indonesia yang makin melebar belakangan ini, dan tekanan ekonomi AS yang mempengaruhi global, Bank Indonesia menaikkan lagi suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate (7DRRR) sebesar 25 basis poin menjadi 5,5%. Pemerintah juga meminta Pertamina dan PLN untuk menyetop impor barang modal dan menunda pembangunan proyek untuk jangka waktu 6 bulan ke depan.

NERACA

Hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan untuk menaikan tingkat bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate (7DRRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,5% pada bulan ini. Suku bunga deposit facility dan suku bunga lending facility juga dinaikkan masing-masing j25 bps menjadi 4,75% dan 6 %.  

"RDG BI pada 14-15 Agustus 2018 memutuskan untuk menaikan BI 7DRRR sebesar 25 bps menjadi 5,5%. Keputusan ini untuk mempertahankan daya saing pasar keuangan dan menjaga defisit transaksi berjalan," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo di Jakarta, Rabu (15/8).

Perry mengatakan keputusan ini diambil setelah memperhitungkan dampak kondisi ekonomi global dan domestik saat ini. Dari sisi global, ketidakpastian masih terus menyelimuti di tengah terjadinya dinamika pertumbuhan ekonomi di berbagai negara. Ekonomi Amerika Serikat diperkirakan akan tetap kuat didorong oleh konsumsi dan investasi. Sementara ekonomi Eropa, Jepang, dan China diperkirakan cenderung menurun.

Selain dari sisi pertumbuhan ekonomi, BI juga melihat dampak dari kebijakan moneter setiap bank sentral di berbagai dunia. Bank sentral AS, The Fed diperkirakan tetap akan melanjutkan rencana kenaikan bunga acuan (Fed Fund Rate-FFR) pada September mendatang. Sedangkan bank sentral Eropa (ECB) dan bank sentral Jepang (Bank of Japan) diperkirakan masih akan menahan tingkat bunga acuan mereka.

"Kami juga melihat perkembangan hubungan perdagangan ekonomi dunia yang dipicu ketegangan perdagangan AS dengan sejumlah negara, dengan adanya balasan kebijakan dan dampaknya pada pelemahan mata uang di tengah penguatan dolar AS," ujarnya.  

Kemudian, menurut Perry, BI juga telah menimbang dampak dari ketidakpastian ekonomi yang berasal dari Turki. Negara di kawasan Eurasia itu tengah menghadapi kerentanan ekonomi domestik akibat persepsi negatif terhadap otoritas pemerintahan Turki dan meningkatkan ketegangan antara Turki dengan AS.

Adapun gejolak ekonomi global ini memang memberi tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Rupiah terdepresiasi sekitar 6,26% pada Juli 2018 dan 3,94% pada kuartal II-2018. Sedangkan sejak awal tahun, rupiah telah melemah hingga 7,04%. "Tapi ini lebih rendah dari pada India, Brazil, Afrika Selatan, dan Rusia," ujarnya.  

Meski demikian, Perry mengklaim bahwa aliran modal asing telah kembali masuk (capital inflow) ke Indonesia melalui berbagai instrumen investasi. Sementara dari sisi ekonomi domestik, bank sentral nasional menilai kondisinya masih cukup baik. Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2018 sebesar 5,27% secara tahunan (yoy). Sedangkan per semester I-2018, ekonomi tumbuh di kisaran 5,17% (yoy).

Tingkat inflasi juga masih cukup rendah dan di bawah target BI sebesar 3,5% plus minus 1,0 persen. Tercatat, inflasi berada di angka 3,18 persen (yoy) pada Juli 2018. di angka 3,12 persen (yoy) pada Juni 2018.

Meski begitu, memang indikator neraca perdagangan dan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) masih cukup menantang. Pasalnya, neraca perdagangan mencatatkan defisit sebesar US$1,02 miliar pada Januari-Juni 2018. Hal ini karena nilai kumulatif impor mencapai US$89,04 miliar, sementara ekspor hanya US$88,02 miliar.

Begitu pula dengan NPI yang mengalami defisit hingga US$4,3 miliar pada kuartal II-2018 karena defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit-CAD) menembus US$8 miliar atau sekitar 3,0% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Meski, transaksi modal dan finansial surplus US$4 miliar pada periode yang sama.

Meski begitu, BI meyakini bahwa kondisi neraca pembayaran akan segera membaik karena bank sentral nasional dan pemerintah telah merumuskan kebijakan yang akan diambil untuk memulihkan defisit transaksi berjalan. "Penurunan defisit transaksi berjalan ke depan didukung oleh langkah pemerintah untuk meningkatkan ekspor dan mengenjot pariwisata, serta mengurangi impor," ujarnya.  

Ke depan, Perry menekankan bahwa BI tetap akan berada di pasar uang dan surat berharga untuk menjaga kestabilan sistem keuangan, terutama nilai tukar rupiah.

Impor Barang Modal

Sebelumnya, pemerintah meminta PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk menyetop impor barang modal dan menunda pembangunan proyek dalam enam bulan ke depan.

Menkeu Sri Mulyani Indrawati menuturkan, dua perusahaan BUMN tersebut selama ini dianggap mengimpor barang modal dalam jumlah cukup banyak. Ke depan, Pertamina dan PLN diminta untuk meningkatkan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) di dalam proyek-proyeknya.

Rencananya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan akan menyusun daftar barang-barang impor bagi Pertamina dan PLN yang bisa ditahan dalam enam bulan ke depan. "Semua request impor (PLN dan Pertamina) stop dulu dalam enam bulan ke depan dan dilihat kondisi neraca pembayaran yang harus membaik," ujar Sri Mulyani, Selasa (14/8).

Tak hanya soal impor barang modal, pemerintah juga menahan PLN dan Pertamina menunda kelanjutan proyek yang belum memasuki fase kewajiban pembiayaan (financial closing). Ini demi menghindari potensi penggunaan barang modal impor yang digunakan usai financial closing diteken. "Kami akan lakukan enam bulan ke depan dengan sangat firm (jelas), sehingga kontribusi terhadap impor barang modal dari BUMN bisa dikendalikan," ujarnya seperti dikutip CNNIndonesia.com.

Menurut Sri Mulyani, penghentian aliran barang modal impor bagi PLN dan Pertamina merupakan satu dari dua kebijakan pembatasan impor yang akan dilakukan pemerintah. Adapun, kebijakan satu lagi terkait dengan pembatasan impor barang konsumsi.

Rencananya, pengendalian impor barang konsumsi akan dimulai dengan mengidentifikasi 500 komoditas yang sekiranya bisa diproduksi dalam negeri dan menjadi substitusi barang-barang tersebut.

Tak hanya itu, langkah pengendalian juga akan dilakukan termasuk menyisir barang-barang impor yang diduga berasal dari kegiatan belanja daring (online). "Kami akan melakukan langkah drastis dan tegas untuk mengendalikan impor. Kami akan lihat, kalau permintaan melonjak tinggi dan dia tidak strategis dan dibutuhkan dalam perekonomian maka akan dikendalikan," ujarnya.

Defisit NPI Memburuk

Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat neraca perdagangan Indonesia pada bulan Juli kembali mengalami defisit US$2,03 miliar. Posisi ini memburuk dibanding bulan Juni yang sempat mencatat surplus US$1,74 miliar.

Menurut Kepala BPS Kecuk Suhariyanto, defisit neraca perdagangan disebabkan karena jumlah ekspor yang lebih kecil dibanding impor. Tercatat, ekspor Juli di angka US$16,24 miliar dan impornya di angka US$18,27 miliar.

Sebetulnya, nilai ekspor sebesar US$16,24 miliar tumbuh cukup baik, sebesar 25,19 persen dibanding bulan sebelumnya yakni US$12,97 miliar. Menurut dia, ini mengikuti tren dari tahun sebelumnya, di mana ekspor selalu terdongkrak selepas masa-masa lebaran.

Dia merinci, hampir seluruh jenis ekspor mengalami peningkatan. Namun, secara bulanan, peningkatan terbesar disumbang oleh ekspor pertanian yang tumbuh 49,86% ditopang oleh ekspor kopi dan rumput laut. Kendati demikian, ekspor pertanian secara tahunan turun 6,52% karena penurunan harga di lada hitam, lada putih, dan buah-buahan.

Sementara itu, ekspor industri pengolahan juga mengalami peningkatan bulanan 37,84% karena perbaikan harga minyak kelapa sawit (CPO), pakaian jadi dan tekstil, dan besi baja. Sedangkan ekspor pertambangan, meningkat 7,27% karena perbaikan harga batu bara.

"Ekspor Indonesia makin menggeliat dan tumbuh ke depan, semoga makin bagus. Setelah lebaran memang meningkat dan semoga ada peningkatan di lima bulan terakhir nanti," ujar Suhariyanto di Gedung BPS, Rabu (15/8). Hanya saja, pertumbuhan impor ternyata lebih besar ketimbang ekspor. Ekspor Juli tercatat sebesar US$18,27 miliar bertumbuh 31,56% dibanding sebulan sebelumnya US$9,13 miliar.

Seluruh golongan impor mengalami kenaikan di atas 50% secara bulanan. Impor barang konsumsi naik 70,5% secara bulanan karena ada impor beras dan apel dari China. Sementara itu, bahan baku mengalami kenaikan 59,28% secara bulanan gara-gara impor kacang kedelai, bahan organik, dan kapas.

Barang modal pun mengalami kenaikan 71,95% karena Indonesia masih mengimpor barang modal dalam bentuk engine generator dan portable receiver dari China. "Tapi karena ini barang modal, semoga bisa meningkatkan investasi ke depan," ujarnya. Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia antara Januari ke Juli naik sebesar US$104,24 miliar atau naik US$93,61 miliar. Sementara itu, dari sisi impor secara akumulatif tercatat US$107,32 miliar. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…