Ahli Hukum Pidana: Perlu Bukti Ada Kick Back untuk Menentukan Terjadinya Kerugian Negara

Ahli Hukum Pidana: Perlu Bukti Ada Kick Back untuk Menentukan Terjadinya Kerugian Negara

NERACA

Jakarta - Ahli hukum pidana Prof. Dr. Andi Hamzah menegaskan bahwa adanya kerugian negara bukan serta merta bisa dituduhkan sebagai tindakan korupsi. Untuk bisa dikatakan sebagai tindakan korupsi harus dipenuhi dulu syarat lain, yakni tindakan yang menyebabkan kerugian negara adalah perbuatan melawan hukum dan untuk memperkaya diri atau orang lain atau korporasi.

Menurut Andi, dalam konvensi hukum internasional, tindakan merugikan negara atau perekonomian negara itu bukan termasuk korupsi. Dalam kasus ini, harus dibuktikan dulu terdakwa menerima kick back sehingga bisa dikatakan dia sudah memperkaya diri sendiri dan orang lain.“Dibuktikan dulu ada kick back atau enggak,” kata Andi Hamzah sebagai saksi ahli dalam sidang lanjutan dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI mantan Ketua BPPN Syafrudin Arsyad Temenggung, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (16/8).

Menurut Andi, unsur yang paling utama harus dibuktikan dalam kasus seperti SAT ini adalah adanya perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri, baru setelah itu dibuktikan memang ada kerugian negara atau perekonomian negara.

Dalam pandangan Andi Hamzah, dalam kasus ini tidak masuk akal SAT disangkakan memperkaya pemilik bank BBO BDNI, yaitu Syamsul Nursalim. Memperkaya orang lain itu biasa harus ada hubungan kekerabatan, seperti anak, isteri, paman atau keponakan. 

Dalam kasus SAT sama sekali tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan Syamsul Nursalim. Kecuali kalau bisa dibuktikan ada kick back ke terdakwa, baru bisa dikatakan ada perbuatan memperkaya diri.

“Kecuali kalau ada kick back kepada terdakwa dari pemilik bank, baru bisa dikatakan ada perbuatan memperkaya diri atau orang lain. Ini yang perlu dibuktikan agar dakwaan memperkaya diri atau orang lain bisa terbukti,” kata Andi.

Menjawab pertanyaan penasehat hukum terdakwa Yusril Irza Mahendra tentang audit BPK yang saling bertentangan dalam penyelesaian kasus BLBI yang melibatkan pemilik Bank BDNI ini, Andri menjawab, secara logika yang harus dijadikan pijakan adalah hasil audit yang pertama.“Sebaiknya hasil audit yang lebih duluan itu yang jadi pegangan, mengingat waktu kejadiannya lebih dekat,” kata Andi.

Pertanyaan penasehat itu muncul terkait dengan hasil audit BPK pada 2006 mengenai kinerja BPPN, menyebutkan bahwa pelaksanaan tugas BPPN dapat diterima dan karena sudah sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan, termasuk pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada sejumlah obligor termasuk Syamsul Nursalim sebagai pemilik Bank BDNI.

Namun kemudian, pada 2017 atas permintaan KPK, BPK kembali melakukan audit khususnya terhadap pemberian SKL terhadap Syamsul Nursalim. Dalam hasil audit tersebut, dinyatakan Syamsul Nursalim masih kurang bayar sehingga belum berhak untuk mendapatkan SKL. Atas dasar ini, kemudian KPK memperkarakan SAT dengan dakwaan telah merugikan negara, memperkayakan diri sendiri serta orang lain. 

Yang sebenarnya terjadi, adalah karena krisis maka rupiah terdevaluasi, sehingga hutang petambak dalam US Dollar membengkak beberapa kali lipat ditambah lagi bunga yang sangat tinggi. Tidak ada pihak yang diuntungkan, sebaliknya semua pihak dirugikan karena krisis dan devaluasi rupiah ini. Disamping itu, yang melakukan penghapus-bukuan dan penjualan hutang petambak adalah pemerintah sendiri.

Menurut Andi, untuk membuktikan dakwaan seharusnya yang lebih dahulu dibuktikan adalah apakah perbuatan terdakwa itu melanggar hukum atau tidak, kemudian apakah ada unsur memperkaya diri atau orang lain atau tidak.“Jadi pertimbangan kerugian negara itu seharusnya yang terakhir,” katanya.

Dalam kesempatan itu, sebagai ahli hukum pindana, Andi juga mengingatkan bahwa trend penegakan hukum saat ini, masalah pidana merupakan tindakan terakhir. Seperti di Belanda, hampir 60% kasus diselesaikan oleh jaksa sendiri, tidak dibawa ke pengadilan. Penyelesaian kasusnya dengan memberi ganti rugi atau yang lain, tidak harus memenjarakan orang. 

“Beda dengan di Indonesia, setiap kasus harus dibawa ke pengadilan, sampai orang mencuri bebek saja di bawa pengadilan. Ini karena di Indonesia, penyelesaian kasus hukum lebih bernuansa balas dendam. Lihat kasus Malaysia, Najib yang disangkakan melakukan korupsi sampai 1 triliun ringgit saja tidak ditahan. Kalau dilakukan di sini pasti KPK sudah diamuk orang, ini karena adanya sifat dendam,” kata Andi. Mohar

BERITA TERKAIT

Kanwil Kemenkumham Sumsel Sosialisasikan Pendaftaran Merek Kolektif

NERACA Palembang - Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Sumatera Selatan menyosialisasikan pendaftaran merek kolektif yang merupakan…

Jokowi Apresiasi PPATK Atas Pengakuan Efektivitas APU PPT

NERACA Jakarta - Presiden Joko Widodo mengapresiasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak…

KPK Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi di Pemprov Lampung

NERACA Bandarlampung - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung. "Kehadiran…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Kanwil Kemenkumham Sumsel Sosialisasikan Pendaftaran Merek Kolektif

NERACA Palembang - Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Sumatera Selatan menyosialisasikan pendaftaran merek kolektif yang merupakan…

Jokowi Apresiasi PPATK Atas Pengakuan Efektivitas APU PPT

NERACA Jakarta - Presiden Joko Widodo mengapresiasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak…

KPK Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi di Pemprov Lampung

NERACA Bandarlampung - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung. "Kehadiran…