KLHK: Pemelihara dan Penangkar Burung Tidak Dipidana

KLHK: Pemelihara dan Penangkar Burung Tidak Dipidana

NERACA

Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Wiratno menegaskan warga yang sedang memelihara atau menangkar beberapa jenis burung tertentu tidak akan dipidana.

“Masyarakat tidak perlu khawatir dengan keluarnya Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 20 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi karena aturan ini tidak berlaku surut,” kata Wiratno di Jakarta, dikutip dari Antara, kemarin.

Permen LHK 20/2018 menetapkan 919 jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi, yakni 562 atau 61 persen di antaranya merupakan jenis burung. Namun ia mengatakan tidak benar jika ada yang sedang melihara atau menangkar burung seperti murai batu, pleci, cucak rawa maka akan langsung dipidana.

Kemudian dia juga menilai kekhawatiran masyarakat akhir-akhir ini diakibatkan karena banyaknya penyebaran berita yang tidak benar atau hoaks di masyarakat. Pihaknya berjanji secara terus menerus akan melakukan sosialisasi, edukasi, bahkan hingga pendampingan, sehingga masyarakat akan sama-sama terlibat dalam menjaga kekayaan alam Indonesia.”Justru melalui Permen LHK 20/2018 pemerintah dalam hal ini KLHK, ingin agar satwa tersebut terjaga kelestariannya,” kata Wiratno.

Karena berdasarkan kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), jenis-jenis burung tersebut sudah langka habitatnya di alam, meski saat ini banyak ditemukan di penangkaran.

Penetapan hewan dilindungi sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999, kriterianya yaitu mempunyai populasi yang kecil, adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam, dan daerah penyebaran yang terbatas (endemik).

Kajian LIPI ini sudah sejak 2015, jadi sudah lama. Data dari LIPI, dalam kurun waktu tahun 2000 sampai saat ini, terjadi penurunan populasi burung yang sangat besar sekali di habitat alamnya mencapai lebih dari 50 persen.

Untuk meningkatkan jumlah populasi di habitat aslinya, telah dilakukan berbagai upaya konservasi di habitat atau insitu. Namun apabila tindakan konservasi insitu tidak berhasil, maka dilakukan tindakan konservasi eksitu, yaitu dengan melakukan kegiatan penangkaran yang hasilnya 10 persen harus dikembalikan ke alam (restocking).

Jadi, Wiratno menegaskan tidak benar kalau penangkaran burung dilarang. Justru pihaknya ingin mengatur dan menertibkan, agar terdata dengan lebih baik jumlah populasi habitat aslinya di alam. Ant

 

BERITA TERKAIT

Dua Pengendali Pungli Rutan KPK Sampaikan Permintaan Maaf Terbuka

NERACA Jakarta - Dua orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berstatus tersangka atas perannya sebagai pengendali dalam perkara pungutan…

Ahli Sebut Penuntasan Kasus Timah Jadi Pioner Perbaikan Sektor Tambang

NERACA Jakarta - Tenaga Ahli Jaksa Agung Barita Simanjuntak mengatakan penuntasan kasus megakorupsi timah dapat menjadi pioner dalam upaya perbaikan…

Akademisi UI: Korupsi Suatu Kecacatan dari Segi Moral dan Etika

NERACA Depok - Dosen Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Dr. Meutia Irina Mukhlis mengatakan dalam…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Dua Pengendali Pungli Rutan KPK Sampaikan Permintaan Maaf Terbuka

NERACA Jakarta - Dua orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berstatus tersangka atas perannya sebagai pengendali dalam perkara pungutan…

Ahli Sebut Penuntasan Kasus Timah Jadi Pioner Perbaikan Sektor Tambang

NERACA Jakarta - Tenaga Ahli Jaksa Agung Barita Simanjuntak mengatakan penuntasan kasus megakorupsi timah dapat menjadi pioner dalam upaya perbaikan…

Akademisi UI: Korupsi Suatu Kecacatan dari Segi Moral dan Etika

NERACA Depok - Dosen Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Dr. Meutia Irina Mukhlis mengatakan dalam…