Waspadai "Capital Flight"

Ancaman pelarian modal ke luar negeri (capital flight) maupun aliran modal masuk (capital outflow) sebenarnya bukan persoalan baru. Semua ini terjadi tak lepas dari gejolak ekonomi global yang serba tidak pasti, kemudian ditambah kondisi makro ekonomi internal yang makin memprihatinkan. Namun semua itu berakar dari kredibilitas kebijakan pemerintah yang menampilkan realita apakah dana investor mau keluar atau masuk.

Data Bursa Efek Indonesia (BEI) mengungkapkan, total dana asing yang keluar dari pasar modal selama Januari-Juli 2018 sudah mencapai Rp48,03 triliun. Meski begitu rata-rata nilai transaksi harian perdagangan BEI pekan lalu naik 68,57%, dari Rp6,96 triliun menjadi Rp11,73 triliun. Peningkatan juga terjadi pada rata-rata frekuensi transaksi harian saham yaitu sebesar 15,11% menjadi 426.312 kali transaksi dibandingkan sepekan sebelumnya 370.346 kali transaksi.

Kemudian rata-rata volume transaksi harian juga mengalami peningkatan sebesar 9,47% dari 9,95 miliar menjadi 10,89 miliar unit saham. Nilai kapitalisasi pasar BEI juga mengalami peningkatan sebesar 0,33% dari Rp6.747,50 triliun menjadi Rp6.769,96 triliun. Sementara di pasar uang, capital outflow diperkirakan mencapai Rp35 triliun, dimana cadangan devisa BI sudah terkurang US$12,18 miliar atau setara Rp176,61 triliun untuk melakukan intervensi. Intervensi tersebut dilakukan BI juga di pasar utang atau obligasi seperti Surat Berharga Negara (SBN). Sementara dana keluar investor asing dari pasar obligasi pemerintah Rp3,46 triliun dalam 3 hari. Hal itu dibarengi dengan penurunan kembali porsi kepemilikan SBN oleh asing.

Mengacu pada data kepemilikan SBN Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, total kepemilikan investor asing mencapai Rp835,66 triliun atau 38,04% dari total SBN beredar Rp2.196,76 triliun pada 25 Juni. Posisi itu masih turun dibanding data sebelumnya yang dirilis, yaitu posisi 22 Juni di mana persentase yang terbentuk adalah 38,2% dengan nilai Rp839,12 triliun. Bila dibandingkan kepemilikan asing di SBN pada Januari 2018 sebesar Rp849 triliun, maka asing sudah menarik diri dari  SBN sebesar Rp13,34 triliun.

Kita melihat ada dua penyebab terjadinya pelemahan rupiah maupun IHSG. Pertama, kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) membuat investor asing memburu dolar AS dan obligasi pemerintah AS (Treasury Bill). Istilahnya dolar AS pulang kandang, karena imbal hasil (yield) obligasi AS dan dolar AS menjadi lebih besar, situasi ini cocok untuk para investor yang semata-mata memiliki motif profit dan lebih merasa aman. The Fed diketahui sudah dua kali menaikkan suku bunga, dan direncanakan dalam waktu dekat akan menaikkan lagi suku bunga

Kedua, kinerja transaksi perdagangan yang lebih didominasi oleh impor ketimbang ekspor, akibatnya defisit transaksi perdagangan terus melebar. Hal ini tentu saja membuat rupiah terus tertekan. Untung saja Presiden Jokowi segera sadar dan bertekad menghentikan beberapa proyek infrastruktur besar yang banyak membutuhkan bahan baku dan jasa tenaga asing yang harus diimpor.

Selain akibat tekanan masuknya bahan baku infrastruktur dan tenaga asing, rupiah juga tertekan karena impor bahan pangan yang berturut-turut dalam jumlah  besar. Ketiga, kondisi makro ekonomi yang tidak terlalu baik, sehingga para investor menarik dananya di pasar modal, pasar uang maupun pasar utang.

Keempat, dampak perang dagang AS dengan China yang berimbas pada kekhawatiran pasar, sehingga pasar lebih merasa tenang dalam situasi seperti itu dengan menggenggam dolar AS. Itu sebabnya US$ menguat terhadap seluruh mata uang dunia, tanpa kecuali terhadap US$.

Kelima, kenaikan harga minyak dunia yang mencapai US$79 per barel sedikit banyak menjadi pemicu pelemahan rupiah. Karena harga minyak acuan dalam APBN 2018 ditetapkan sebesar US$48 per barel, artinya terjadi defisit US$28 per barel antara target dengan realisasi.

Sementara itu, kewajiban pembayaran utang luar negeri pemerintah yg jatuh tempo di 2018 mencapai US$9,1 miliar yang terbagi menjadi US$5,2 miliar utang pokok sementara US$3,8 miliar sisanya adalah bunga. Belum lagi cicilan pokok dan bunga utang BUMN dan swasta diperkirakan mencapai US$15 miliar.

Melihat kondisi tersebut, ada baiknya pemerintah kembali meningkatkan kredibilitas dengan kebijakan-kebijakan yang bisa direspon positif oleh pasar. Untuk itu pemerintah perlu juga menjaga kepercayaan pasar dalam kebijakan yang diambilnya, serta menyamakan kebijakan presiden dengan para menterinya.

 

BERITA TERKAIT

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…