Karhutla, dari Dulu Hingga Kini

Oleh: Virna P Setyorini

Para ahli di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memperhitungkan, berdasarkan pertimbangan kondisi dinamika atmosfer terakhir dan faktor-faktor pengendali iklim di Indonesia, maka awal musim kemarau diprakirakan terjadi pada akhir April hingga Juni 2018. Kepulauan Sunda Kecil yang berada di timur Pulau Jawa, yakni Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Bali, menjadi wilayah pertama di Indonesia yang merasakan awal musim kemarau.

Kemarau akan menjalar ke berbagai wilayah Indonesia lainnya dalam hitungan bulan. Sampai akhirnya, puncak kemarau benar-benar terjadi di bulan Agustus ini dan diprakirakan berakhir pada September 2018.

Hal yang perlu dicatat adalah musim kemarau 2018 diprakirakan tidak separah yang terjadi di 2015. Karena sampai dengan pertengahan 2018 iklim di Indonesia masih dipengaruhi La Nina lemah, sehingga masih akan berimplikasi positif pada tanaman palawija dan tanaman semusim yang tidak teralu memerlukan banyak air.

Meski demikian, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati telah mengingatkan agar wilayah-wilayah yang memang rawan terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla), termasuk lahan gambut, untuk terus waspada. Terlebih, lahan yang telah terdegradasi karena berulang kali terbakar menjadi semakin rawan tersulut api.

Ilmuwan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) Robert Field sebelumnya menyebut situasi kabut asap dari karhutla di Sumatera dan Kalimantan pada 2015 serupa dengan 1997. Kondisi di Singapura dan tenggara Sumatera tertutup parah kabut asap karena kemarau panjang bertahan menyusul fenomena El Nino yang membuat cuaca lebih kering dan menghambat turunnya hujan.

Sejak 1997, perhatian dunia dan berbagai upaya penanggulangan karhutla terus meningkat, namun pencemaran kabut asap masih terjadi pada tingkatan berbeda di lokasi yang sama serial tahunnya di Asia Tenggara. Luas hutan dan lahan yang terbakar selama peristiwa El Nino South Oscillation (ENSO) 1997/1998 berdasarkan data Asia Development Bank (1999) mencapai 9,75 juta hektare (ha) yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua Barat.

Saat itu, ADB mencatat kebakaran di hutan pegunungan mencapai 100.000 ha, di hutan dataran rendah mencapai 3.283.000 ha, di hutan payau dan gambut mencapai 1.458.000 ha, di semak dan rumput kering mencapai 763.000 ha, di Hutan Tanaman Industri (HTI) mencapai 188.000 ha, di perkebunan mencapai 119.000 ha dan di kawasan pertanian mencapai 3.843.000 ha.

Namun penilaian yang dikeluarkan dari proyek "Integrated Forest Fire Management" (IFFM) yang didanai Jerman atau yang dikenal dengan Deutsche Gesellschaft fr Technische Zusammenarbeit (studi GTZ) ternyata berbeda. Contohnya saja dalam penilaian secara rinci karhutla di Kalimantan Timur saja, studi GTZ menyebut luas kawasan terdampak mencapai 5.102.954 ha sedangkan ADB mencatat angka 3.536.000 ha.

Sementara itu, Bank Dunia yang dalam situs resminya menyebut krisis karhutla dan asap Indonesia 2015 sebagai tindakan kriminal lingkungan hidup terbesar pada abad ke-21 menyebut masalah pengelolaan lanskap yang terjadi setiap musim kering, ketika api dipakai untuk membersihkan atau menyiapkan lahan pertanian, menjadi penyebab munculnya asap.

Api membakar berbagai jenis tanah, namun asap dari lahan gambut lebih dasyat, bahkan menjadi sumber 90 persen asap yang timbul. Secara ekonomi, perkiraan kerugian awal Bank Dunia terhadap karhutla 2015 di Indonesia melampaui angka 16 miliar dolar AS, yang artinya dua kali lebih besar dari kerugian dan kerusakan akibat tsunami 2004 di Aceh.

Bank Dunia mencatat luas karhutla di hutan, lahan gambut dan lainnya di Indonesia pada 2015 mencapai 2,6 juta ha yang serata 4,5 kali luas Pulau Bali. Dari hasil analisa yang belum dilakukan secara penuh, hilangnya kayu atau produk nonkayu serta habitat satwa sebagai keanekaragaman hayati diperkirakan mencapai 295 juta dolar AS.

Karhutla 2018

Direktur Pengendalian Karhutla Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Raffles B. Panjaitan mengatakan peningkatan jumlah titik api karhutla dari Januari hingga Juni 2018 mencapai 30 persen dibanding periode sama 2017. Luasan yang terbakar mencapai 22.000 ha, dengan presentasi hampir sama antara yang terjadi di lahan gambut dan mineral.

Kondisi musim kemarau yang lebih kering dibanding 2017 memberikan pengaruh, ujar dia. Tidak heran jika kabut asap sudah sempat menyelimuti Jambi dan Palembang. Demi kewaspadaan, delapan provinsi diantaranya Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur sudah menetapkan status siaga.

Ada tuntutan lebih sekaligus menjadi tantangan bagi mereka yang bertugas melakukan pencegahan dan pemadaman karhutla di Sumatera kali ini. Hajatan Asian Games yang segera digelar di Jakarta dan Palembang pada 18 Agustus 2018 nanti menjadi ajang pembuktian seberapa besar keberhasilan tata kelola air di lahan gambut, seberapa siap fasilitas dan alat pemadaman karhutla di lapangan, dan seberapa berhasil revitalisasi 'livelihoods' masyarakat di sekitar hutan dan lahan gambut.

Upaya restorasi lahan-lahan gambut yang terdegradasi di tujuh provinsi prioritas yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua seluas 2,4 juta hektare (ha) memang sedang berjalan sejak 2016. Namun pekerjaan besar ini belum selesai, bahkan 2018 menjadi pembuktian keberhasilan pembasahan (rewetting), penanaman kembali (replanting), dan revitalisasi 'livelihoods' di lahan gambut.

Deputi Konstruksi, Operasi dan Pemeliharaan Badan Restorasi Gambut (BRG) Alue Dohong mengatakan rencana pembuatan 200 sumur bor di enam desa di Ogan Komering Ilir (OKI) yang jika gambutnya terbakar diperkirakan akan terbawa hingga Jakabaring, Palembang, menjadi fokus utama dalam tiga minggu terakhir sebelum pelaksanaan Asian Games 2018.

Pekerjaan ini tidak mudah mengingat tiga desa memiliki akuifer cukup dalam mencapai 80 hingga 100 meter hingga membutuhkan waktu untuk menentukan lokasi yang tepat dengan geolistrik oleh Badan Geologi dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral.

Pekerjaan restorasi gambut ini sesungguhnya juga berkejaran dengan waktu. Kemampuan merestorasi, baik dari sisi anggaran maupun tenaga, setiap tahunnya belum mampu menjangkau dengan cepat daerah gambut terdegradasi secara menyeluruh dalam waktu yang bersamaan di satu Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG). Akibatnya, kebakaran di titik-titik dalam satu KHG yang belum sempat diintervensi tetap muncul.

Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) yang diterapkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang mengupayakan hujan dengan menebar garam di bibit-bibit awan yang masih tersisa di atas Sumatera Selatan menjadi harapan. Sejak awal Juni 2018, kegiatan hujan buatan ini sudah mulai dilakukan meski dana taktis penanggulangan bencana sempat belum ada.

Antisipasi membasahi gambut sebelum terlanjur kering menjadi solusi yang diharapkan mampu menekan munculnya titik api. BPPT dan BNPB sudah menyatakan untuk melanjutkan TMC seiring dengan meningkatnya jumlah titik panas jelang Asian Games 2018. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…