Darurat Devisa, Perlu Perppu

Ketika memimpin rapat terbatas Kabinet di Istana Bogor belum lama ini, Presiden Jokowi meminta para menteri ekonomi untuk memperhatikan kondisi cadangan nasional yang cenderung menurun, yang antara lain dipergunakan untuk intervensi di pasar uang untuk tujuan stabilisasi rupiah. Namun pertanyaannya, sampai seberapa jauh cadangan devisa dipakai untuk intervensi seperti itu?

Pembahasan ratas soal cadev ini menurut Jokowi, diperlukan agar Indonesia semakin kuat menghadapi gejolak ekonomi global. “Saya minta dua hal penting, yang perlu diperhatikan. Pertama, pengendalian impor. Kedua, peningkatan ekspor,” ujar Jokowi. 

Situasi negara saat ini memang membutuhkan dolar yang tidak sedikit. Karena itu, Presiden meminta seluruh Kementerian dan Lembaga betul-betul serius tidak ada main-main menghadapi kondisi seperti ini. “Saya nggak mau lagi bolak balik rapat tapi implementasi nggak berjalan baik,” tegas Jokowi.

Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, penurunan cadangan devisa pada Juni 2018 terutama dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi. Bank sentral memandang cadangan devisa tetap memadai didukung keyakinan terhadap stabilitas dan prospek perekonomian domestik yang tetap baik, serta kinerja ekspor yang tetap positif. Ke depan, jika tekanan terhadap rupiah tak kunjung usai sehingga cadangan devisa Indonesia terus terkuras, persepsi investor mengenai Indonesia bisa memburuk lantaran dianggap rentan terhadap sejumlah risiko yang ada.

Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam berbagai pernyataannya sering menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia tetap on the track. Ekonomi Indonesia masih dalam batas aman dan terkendali, stabil dan kokoh. Tetapi saat Presiden Jokowi di hadapan para Bupati se-Indonesia justru  memperingatkan bahwa kondisi Indonesia sedang memprihatinkan. Bahkan Presiden juga mengundang 40 konglomerat Indonesia untuk meminta bantuan membawa devisa hasil ekspornya ke dalam negeri agar likuiditas dolar bertambah di dalam negeri. Bahkan Jokowi juga sempat menyatakan akan menghentikan beberapa proyek infrastruktur besar guna mengurangi tekanan terhadap nilai tukar rupiah.

Tidak hanya itu. Presiden Jokowi juga mengundang BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk membahas penurunan cadangan devisa yang sangat drastis. Semua ini tentu karena disebabkan rupiah melemah. Paling tidak ada beberapa penyebab mengapa nilai rupiah melemah.

Pertama, penyebab melemahnya rupiah akibat imbas penguatan tajam dolar AS dan meningkatnya ekspektasi kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) sebanyak empat kali dalam tahun ini. Selain itu menguatnya dolar AS juga karena dipicu oleh meningkatnya imbal hasil (yield) surat berharga AS (treasury bill-T Bill).

Kedua, dampak perang dagang AS dengan China yang berimbas pada kekhawatiran pasar, sehingga pasar lebih merasa tenang dalam situasi seperti itu dengan menggenggam dolar AS. Itu sebabnya dolar AS menguat terhadap seluruh mata uang dunia, tanpa kecuali terhadap dolar AS.

Ketiga, komplikasi defisit perdagangan yang terus melebar, sampai Mei 2018 besaran defisit pedagangan sudah mencapai US$2,84 miliar atau setara Rp40,61 triliun. Keempat, melebarnya defisit sampai bulan Mei 2018 dipicu oleh derasnya arus impor komoditas pangan seperti beras dan gula sebagai penyumbang terbesar. Disamping juga impor barang modal dan tenaga asing untuk menopang pembangunan infrastruktur yang marak belakangan ini. 

Kelima, kenaikan harga minyak dunia yang mencapai US$79 per barel setidaknya dapat menjadi pemicu pelemahan rupiah. Karena harga minyak acuan dalam APBN 2018 ditetapkan sebesar US$48 per barel, artinya terjadi defisit US$28 per barel antara target dengan realisasi.

Artinya, dengan kondisi rupiah yang melemah, ditambah harga minyak yang melambung, maka terjadi twin deficit baik di APBN maupun neraca transaksi perdagangan. Keenam, ada kebutuhan dolar AS yang besar untuk kebutuhan untuk melunasi utang pokok dan bunga atas utang valas baik dari pemerintah, BUMN dan swasta.

Menghadapi kondisi demikian, alternatif solusi untuk mencegah cadangan devisa terus terkuras, Presiden sudah saatnya menerbitkan Perppu untuk merevisi UU No. 24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa, agar devisa hasil ekspor (DHE) setidaknya dapat masuk ke perbankan domestik dan bertahan di dalam negeri minimal 6-9 bulan. Ini bertujuan untuk menguatkan nilai rupiah dalam jangka pendek. Semoga!

 

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…