Ekonomi Politik Menuju Pilpres

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, Msi., Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

Sinergi antara ekonomi politik dan politik ekonomi memang benar adanya. Paling tidak, hal ini terlihat dari perlambatan ekonomi pasca sukses  pilkada, meski sebentar lagi juga masih ada pilpres 2019. Oleh karena itu geliat ekonomi di tahun politik nampaknya tidak bisa menghindar dari faktor politik dan karenanya pemerintah perlu untuk menjaga iklim stabilitas politik. Ironisnya stabilitas politik itu sendiri tidak bisa hanya mengacu kondisi internal tapi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal. Paling tidak, dampak perang dagang AS-Tiongkok dan juga memanasnya hubungan bilateral AS-Korut berpengaruh terhadap ekonomi global, selain tentunya imbas terhadap jalinan multilateral.

Fakta sinergi ekonomi politik dan politik ekonomi pasca pilkada dan menuju pilpres memberikan acuan tentang bagaimana upaya mengantisipasi semua fluktuasi yang ada. Argumen yang mendasari misal terkait penerimaan perpajakan. Betapa tidak pendanaan APBN selama ini tidak bisa lepas dari peran penting perpajakan dan pasca tax amnesty penerimaan pajak ternyata sampai semester I 2018 senilai Rp.581,54 triliun atau 40,84 persen dari target pada tahun 2018 yaitu Rp.1.424 triliun. Jumlah ini naik 13,96 persen jika dibanding periode yang sama tahun 2017. Nominal tersebut tidak terlepas peran dari pertumbuhan PPh pasal 21 Rp.67,9 triliun yang berarti naik 22,3 persen dari periode yang sama 2017, sedangkan PPh badan Rp.119,9 triliun atau naik 23,79 persen dari periode yang sama 2017. Selain itu, PPh pribadi mencapai Rp.6,98 triliun atau naik 20,06 persen dari tahun 2017 sementara PPn dalam negeri sebesar Rp.127,18 triliun atau naik 9,1 persen dari periode 2017.

Dukungan

Di satu sisi, fakta perolehan pajak memberikan gambaran tentang signal positif selama periode semester I 2018. Padahal, pada periode tersebut ada ancaman inflasi musiman yaitu ramadhan dan lebaran sementara inflasi Mei 0,21 persen, Juni 0,59 persen dan juli 0,28 persen yang dipicu harga telur dan ayam ras. Besaran inflasi memberikan gambaran ancaman inflasi musiman ternyata bisa diredam. Argumen ini dari data BPS bahwa pada lebaran 2017 dan 2016 yaitu 0,69 persen, lebaran tahun 2015 dan 2014 sebesar 0,93 persen, lalu di tahun 2013 pada Agustus 0,93 persen, di lebaran 2012 yaitu Agustus 0,95 persen dan di lebaran Agustus 2011 mencapai 0,93 persen. Hal ini menegaskan tentang baiknya koordinasi antara pemerintah, BI dan Tim Pengendali Inflasi di daerah yang mampu mengerem laju inflasi. Prestasi ini tentu harus diapresiasi meski lonjakan harga tetap menjadi ancaman serius bagi inflasi musiman. Pasca sukses pilkada dan menuju pilpres maka ini harus dipertahankan agar daya beli terjaga.

Yang juga menarik dicermati ternyata kekuatan ekonomi domestik juga tidak terlepas dari ancaman faktor eksternal. Paling tidak, tekanan terhadap nilai tukar tentunya tidak bisa diabaikan, apalagi pasca pilkada justru terus tertekan di level Rp.14.000-an yang diprediksi bisa menembus Rp.15.000 jika situasinya tidak semakin kondusif. Padahal, situasi ini sangat rentan terhadap biaya produksi dan daya saing, terutama produk yang harus diimpor komponen bahan bakunya. Oleh karena itu, penerimaan pajak berdasar sektor menjadi penting untuk dicermati terutama mengacu ancaman perolehannya pasca perang dagang di semester II 2018. Sektor pertambangan memberikan andil pajak yang terbesar di semester I 2018 yaitu naik 79,71 persen (kontribusi 7,2 persen), pertanian naik 34,25 persen (kontribusi 1,7 persen), perdagangan naik 27,91 persen (kontribusi terbesar kedua 27,91 persen) dan industri pengolahan naik 12,64 persen (kontribusi terbesar 30,3 persen).

Fakta tersebut menggambarkan iklim bisnis di tahun politik, terutama pilkada serentak ternyata tidak berpengaruh negatif terhadap geliat ekonomi bisnis sehingga apresiasi terhadap iklim sospol bisa terjamin dan memberikan kepercayaan pasar. Jika ini terjadi berkelanjutan tentu menarik, terutama jika sengketa pasca pilkada tidak justru merubah persepsian dari wait and see menjadi wait and worry. Artinya, kekhawatiran ini bisa saja terjadi, apalagi kini baru muncul gugatan lagi terkait ambang batas pencapresan yang bukan tidak mungkin akan memicu sentimen terhadap ekpektasi pasar menuju pilpres 2019. Artinya, ancaman terhadap pencapaian target pertumbuhan sangat riskan. Prediksi Kementerian Keuangan sampai akhir tahun 2018 yaitu 5,2-5,6 persen, versi BI 5,1-5,5 persen, World Bank 5,2 persen, IMF 5,3 persen sedangkan ADB 5,3 persen.

Ancaman ketidakpastian nampaknya masih berlanjut sampai Agustus saat para capres mengumumkan cawapresnya. Betapa tidak, sampai kini Jokowi belum juga menyebut cawapresnya, begitu juga rivalnya Prabowo yang kemungkinan akan terjadi rematch Jokowi – Prabowo jilid II. Ironisnya jika pertarungan pilpres cuma Jokowi vs Prabowo maka dipastikan tidak seru dan pemenangnya mudah ditebak, apalagi Prabowo pernah kalah dalam pilpres. Munculnya Agus Harimurti juga diyakini belum bisa menandingi Jokowi, meski pendekatannya dengan Jusuf Kalla juga tidak mulus untuk berduet maju.

Ancaman

Kalkulasi dari sejumlah pengamat dan lembaga survei boleh saja muncul tetapi hasil dari pilkada serentak yang menegaskan turunnya suara PDI-P harus juga diwaspadai agar PDI-P dan Jokowi tidak sekedar berbangga hati dengan elektabilitas. Fakta ini memberi peluang pergeseran koalisi - oposisi. Argumen yang mendasari karena demokrasi politik bisa berubah setiap saat pada berbagai situasi yang krusial. Belajar dari pilkada Jakarta ketika akhirnya Ahok kalah harus juga dicermati agar para capres tidak terjebak isu SARA dan penistaan agama. Selain itu harus juga diwaspadai fluktuasi ekonomi pasca pilkada baik depresiasi rupiah, melambungnya hutang luar negeri, rendahnya daya saing, neraca perdagangan – pembayaran yang terancam defisit, kenaikan harga BBM non-subsidi, pengangguran – kemiskinan, ketimpangan antar daerah dan maraknya korupsi yang bisa menggerus pamor pembangunan infrastruktur di era Jokowi saat ini.

Fakta diatas menggambarkan sinergi ekonomi politik dan politik ekonomi yang rentan di tahun politik menuju pilpres. Oleh karena itu, elektabilitas Jokowi dipertaruhkan oleh kondisi ekonomi yang tertatih pasca sukses pilkada serentak, apalagi tekanan eksternal sangat kuat, baik itu dampak perang dagang AS-Tiongkok maupun depresiasi rupiah. Artinya, mencari simpati publik dengan bagi-bagi sepeda melalui kuis, pembangunan infrastruktur yang sempat di moratorium dan touring pendek dengan motor kustom kini tidak menjamin bisa mendulang suara di pilpres, apalagi rival politik juga menyusun strategi menyerang pemerintah dengan berbagai isu sosial ekonomi yang saat ini tertatih.

Artinya, janganlah sampai wait and see pasca pilkada berubah menjadi wait and worry menuju pilpres akibat carut marut sengketa pilkada, gugatan ambang batas pencapresan dan  berbagai dampak ekonomi global, apalagi ada rencana merevisi sejumlah perjanjian bilateral akibat dampak memanasnya ekonomi global. Jadi, tertatihnya ekonomi menuju pilpres harus diwaspadai agar pertumbuhan dan perekonomian nasional tidak terpuruk.

 

BERITA TERKAIT

Jaga Persatuan dan Kesatuan, Masyarakat Harus Terima Putusan MK

    Oleh : Ridwan Putra Khalan, Pemerhati Sosial dan Budaya   Seluruh masyarakat harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK)…

Cendekiawan Sepakat dan Dukung Putusan MK Pemilu 2024 Sah

    Oleh: David Kiva Prambudi, Sosiolog di PTS   Cendekiawan mendukung penuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa…

Dampak Kebijakan konomi Politik di Saat Perang Iran"Israel

  Pengantar Sebuah diskusi webinar membahas kebijakan ekonomi politik di tengah konflik Irang-Israel, yang merupakan kerjasama Indef dan Universitas Paramadina…

BERITA LAINNYA DI Opini

Jaga Persatuan dan Kesatuan, Masyarakat Harus Terima Putusan MK

    Oleh : Ridwan Putra Khalan, Pemerhati Sosial dan Budaya   Seluruh masyarakat harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK)…

Cendekiawan Sepakat dan Dukung Putusan MK Pemilu 2024 Sah

    Oleh: David Kiva Prambudi, Sosiolog di PTS   Cendekiawan mendukung penuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa…

Dampak Kebijakan konomi Politik di Saat Perang Iran"Israel

  Pengantar Sebuah diskusi webinar membahas kebijakan ekonomi politik di tengah konflik Irang-Israel, yang merupakan kerjasama Indef dan Universitas Paramadina…