KKP Dorong Pati Jadi Kawasan Nila Salin Berkelanjutan

NERACA

Semarang - Kementerian Keluatan dan Perikanan ( KKP) akan menetapkan Kabupaten Pati sebagai Kawasan Nila Salin Nasional. Kawasan seluas 600 hektar dari total lebih kurang 835 hektar ini tersebar di Kecamatan Tayu hampir seluruhnya membudidayakan ikan nila salin sejak tahun 2014  yang lalu. Melalui penetapan ini kawasan nila salin ke depan diharapkan akan terwujud pola pengelolan sistem produksi dan usaha yang terintegrasi dari hulu hingga hilir secara berkelanjutan, sehingga mampu meningkatkan pergerakan ekonomi masyarakat.

Demikian disampaikan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto saat melakukan dialog interaktif dengan ratusan pembudidaya ikan di desa Dororejo, Kecamatan Tayu, setelah sebelumnya melakukan panen ikan nila salin di desa Bandungan, Kecamatan Tayu, Pati, pekan lalu. Kunjungannya kali ini setelah  menyempatkan waktu usai mendampingi Kunker Komisi IV DPR RI di Provinsi Jawa Tengah.

Dialog interaktif juga dihadiri Bupati Pati, Wakil Bupati Pati, dan jajaran OPD pemerintah daerah Kabupaten dan Provinsi Jawa Tengah. Dalam keterangannya, Slamet mengatakan bahwa pemilihan Kabupaten Pati sebagai kawasan nila salin berkelanjutan nasional, karena Kabupaten Pati merupakan sentral terbesar budidaya nila salin dan baru yang pertama ada di Indonesia. Klasterisasi berbasis komoditas unggulan seperti nila salin akan lebih efektif dalam mempercepat pergerakan ekonomi lokal dan daerah. Apalagi Kawasan ini pada awalnya tumbuh atas inisiatif swadaya dari masyarakat secara mandiri. "Nanti kami akan buat keputusan untuk menetapkan kawasan ini sebagai sentral budidaya nila salin berkelanjutan nasional dan bisa jadi rujukan nasional," kata Slamet.

Indonesia, imbuh Slamet merupakan salah satu produsen ikan nila dunia. Dilihat dari aspek daya saing, komoditas ikan nila memiliki daya saing tertinggi disamping udang dan rumput laut. Oleh karenanya, dalam memenuhi peluang pasar ke depan, pencangan klasterisasi kawasan ikan nila salin ini menjadi langkah straregis, apalagi dari sisi teknis dan ekonomi nila salin memiliki berbagai keunggulan. Sebagai gambaran BPS mencatat tahun 2017 ekspor ikan nila Indonesia mencapai 9.179 ton dengan nilai mencapai 57,43 juta USD.

"Dari aspek bisnis misalnya, pangsa pasarnya sangat terbuka lebar baik untuk domestik maupun ekspor. Apalagi tekstur daging nila salin ini sangat disukai dikalangan masyarakat. Inilah yang membuat FAO menyebut ikan nila sebagai chicken of the water karena memiliki berbagai keunggulan antara lain  warna daging yang putih, sehingga sangat disukai dikalangan masyarakat dunia; dapat dengan mudah dibudidayakan secara masal oleh masyarakat; dan sebagai komoditas yang potensial untuk menopang ketahanan pangan nasional," ungkap Slamet.

Disisi lain, fenomena permasalahan budidaya di perairan umum telah memicu rasionalisasi kapasitas KJA seperti di danau Toba, waduk Jatiluhur dan Cirata. Kondisi ini tentunya akan berimbas pada penurunan produksi ikan nila nasional, oleh karenanya untuk memenuhi kebutuhan produksinya ke depan akan sangat bergantung pada pengembangan budidaya di tambak seperti yang ada di Kabupaten Pati. Ikan nila salin ditambahkannya, memiliki keunggulan lain, dimana sisiknya mampu mengeluarkan lender yang mengandung bakteri dan sangat bermanfaat bagi sterilisasi air di lingkungan budidaya.

"Ke depan untuk meningkatkan nilai tambah dan menjangkau pasar ekspor, ukuran panen bisa diatur minimal 500 gram per ekor sehingga bisa dijual dalam bentuk fillet. Bisa saja nanti kita akan gandeng perusahaan pengolah dan eksportir untuk masuk ke Kabupaten Pati ini. Untuk penataan tambak, kami telah berikan dukungan alat berat escavator, disamping nanti kami akan alokasikan program Irigasi tambak partisipatif (PITAP) berbasis padat karya di kawasan ini. Dengan begitu masalah pendangkalan saluran, penataan tata letak tambak, dan penataan irigasi bisa teratasi", imbuhnya.

Slamet juga berjanji akan mendukung dalam memfasilitasi akses benih unggul dan pendampingan teknologinya melalui BBPBAP Jepara dan dari Balitbang yang mengembangkan ikan nila salin ini.

Dalam kesempatan yang sama, ketua kelompok mina barokah, Safi'i mengungkapkan bahwa budidaya ikan nila salin jauh lebih ndibanding budidaya ikan lainnya. Menurutnya, keunggulan tersebut terutama pada waktu pemeliharaan yang lebih singkat dan harga ikan yang relatif lebih baik. "Dengan padat tebar 30 rb ekor per hektar, rata-rata kami menghasilkan produksi hingga 4 ton per hektar," ungkapnya.

 

BERITA TERKAIT

Kunci Cermat Bermedia Sosial - Pahami dan Tingkatkan Kompetensi Platform Digital

Kecermatan dalam bermedia sosial sangat ditentukan oleh pemahaman dan kompetensi pengguna terkait platform digital. Kompetensi tersebut meliputi pemahaman terhadap perangkat…

IKM Tenun Terus Dipacu

NERACA Jakarta – Dalam menjaga warisan budaya nusantara, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya mendorong pengembangan sektor industri kerajinan dan wastra…

PLTP Kamojang Jadi Salah Satu Rujukan Perumusan INET-ZERO

NERACA Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menyusun Dokumen…

BERITA LAINNYA DI Industri

Kunci Cermat Bermedia Sosial - Pahami dan Tingkatkan Kompetensi Platform Digital

Kecermatan dalam bermedia sosial sangat ditentukan oleh pemahaman dan kompetensi pengguna terkait platform digital. Kompetensi tersebut meliputi pemahaman terhadap perangkat…

IKM Tenun Terus Dipacu

NERACA Jakarta – Dalam menjaga warisan budaya nusantara, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya mendorong pengembangan sektor industri kerajinan dan wastra…

PLTP Kamojang Jadi Salah Satu Rujukan Perumusan INET-ZERO

NERACA Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menyusun Dokumen…