PEMERINTAH DIMINTA BUAT PARAMETER BARU KEMISKINAN - Indef Kritisi Data Kemiskinan versi BPS

Jakarta-Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengritik pemerintah Indonesia yang dinilai tidak menganalisis secara detil korelasi antara angka kemiskinan dengan kemampuan daya beli rumah tangga. Sementara itu, Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (ISRI) meminta pemerintah menetapkan parameter baru untuk pemaparan data kemiskinan yang riil.

NERACA

Peneliti Senior INDEF Enny Sri Hartati menyebut klaim pemerintah bahwa angka kemiskinan per Maret 2018 sebesar 9,82% adalah yang terendah sejak 20 tahun, justru berbanding terbalik dengan tingkat daya beli rumah tangga yang semakin menurun. "Dan secara logika ekonomi itu mestinya tidak mungkin. Jadi yang namanya masyarakat miskin menurun, harusnya daya beli masyarakat meningkat," kata Eni dalam sebuah diskusi di Jakarta, belum lama ini.

Jika daya beli meningkat, menurut dia, otomatis konsumsi rumah tangga pun mengalami peningkatan. Namun, data Badan Pusat Statistik (BPS) menujukkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga Indonesia selama kuartal I-2018 masih berada di level 4,95%. "Artinya, masih di bawah benchmark minimal secara natural, yakni di 5%,” ujarnya.

Menurut Enny, angka kemiskinan per Maret 2018 memang berkurang sangat signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, sejak Maret 2017 hingga Maret 2018 jumlah penduduk miskin berkurang hingga 1,2 juta dibanding biasanya yang hanya 600 ribu-700 ribu per tahun.

Pada periode yang sama, Enny menuturkan pemerintah juga mengalokasikan anggaran bantuan sosial yang meningkat signifikan, sekitar 20 persen, termasuk anggaran pengentasan kemiskinan seperti dana desa dan Program Keluarga Harapan (PKH).

Karenanya, Enny sepakat bahwa penurunan kemiskinan bisa dibilang sebagai keberhasilan program pemerintah, namun hanya dalam konteks menurunkan statistik angka kemiskinan. "Mengapa? Karena ketika bantuan-bantuan pemerintah ternasuk bansos digelontokan kepada masyarakat dan kemudian BPS hadir untuk mencatat, memang angka kemiskinan yang ada waktu pencatatan itu turun," ujarnya.

Sebelumnya BPS merilis persentase penduduk miskin Maret 2018 turun menjadi 9,82%. Terendah sepanjang sejarah dalam berbagai media pemberitaan. Tak salah jika kita berikan apresiasi kepeada Pemerintah atas capaian penurunan kemiskinan ini, sebagai salah satu indikator kerja Pemerintah.

Akan tetapi, yang jadi soal dan tantangan saat ini adalah apakah parameter yang digunakan dalam mengukur kemiskinan tersebut sudah benar-benar mampu secara tepat untuk memotret kemiskinan yang sesungguhnya. Atau sekurang-kurangnya sudah sangat dekat dengan realita “kemiskinan” yang sebenarnya.

Secara terpisah, anggota Dewan Pengurus Nasional Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (DPN ISRI) Robby Alexander Sirait menuturkan coba lihat paramater yang digunakan, yakni Garis Kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Per maret 2018, nominal GK sebesar Rp401.220 per kapita per bulan.

“Pertanyaan mendasarnya adalah “dengan parameter pengeluaran Rp401.220 per orang per bulan,tepatkah angka ini dijadikan sebagai ukuran batas kemiskinan?. Kalau mau jujur, angka GK tersebut masih tidak tepat dan masih jauh untuk jadi acuan kemiskinan. Ada beberapa hal yang mendasari parameter yang digunakan masih tepat dan masih jauh,” ujar Robby.

Pertama, coba kita bandingkan nilai GK tersebut (yang sudah dikonversi dengan berapa kg beras yang dapat dibeli) dengan rata-rata konsumsi beras per kapita per bulan orang Indonesia. Rata-rata konsumsi beras per orang per bulan sebesar 6 kg atau setara 200 gram per hari. Sedangkan GK hanya mampu membeli 1-1,5 kg per bulan atau 34-53 gram per hari (ini masih menggunakan harga beras kualitas bawah II). Artinya, seluruh nilai GK tersebut hanya mampu membiayai (sedikit) kebutuhan beras. Tanpa sayur, buah dan lauk pauk. Dengan demikian, terlihat sangat jelas bahwa nilai GK sangat kecil dan bukanlah ukuran yang tepat dalam memotret kemiskinan yang sesungguhnya.

Kedua, mari kita kalkulasi berapa kira-kira penghasilan minimal seorang kepala rumah tangga (RT) agar sekeluarga tidak dikatakan orang miskin. Saat ini jumlah orang per rumah tangga sekitar 4 orang dan kita asumsikan hanya kepala rumah tangga yang bekerja. Dengan menggunakan asumsi tersebut, maka seorang (laki-laki) kepala rumah tangga harus berpenghasilan seminimal-minimalnya Rp1.604.880 per bulan atau Rp53.496 per hari. Besaran ini relatif sama dengan rata-rata upah buruh tani harian per maret 2018 yang sebesar Rp51.598 per hari. Artinya, rata-rata buruh tani kita sudah nyaris tidak miskin (karena upah hariannya sudah mendekati batas minimal GK per hari). Apa iya?, rasanya sangat tidak mungkin.

Ketiga, mari kita bandingkan angka Rp1.604.880 per bulan tadi (penghasilan minimal kepala RT agar tidak dikategorikan miskin) dengan rata-rata upah industri pengolahan yang sebesar Rp2.174.000/bulan per menurut data BPS per desember 2014. Dengan perbandingan data ini, seolah-olah kita dapat menyimpulkan bahwa rata-rata semua buruh di industri pengolahan bukan masyarakat miskin (upahnya sudah jauh diatas garis kemiskinan untuk sekeluarga). Apa iya?, rasanya sangat tidak mungkin. Yang namanya (mayoritas) buruh, saat ini pasti bagian dari kelompok masyarakat miskin.

Terakhir, menurut Robby, coba bandingkan antara angka GK dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Menurut BPS, KHL adalah standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam 1 bulan. KHL juga menjadi dasar dalam penetapan Upah Minimum. "Kebutuhan hidup layak", ini yang perlu di bold. KHL per 2015 sebesar Rp1.813.396/bulan. Ini untuk lajang dan batas minimum hidup layak secara fisik, belum non fisik-psikologis dan lain sebagainya.

Bayangkan berapa KHL untuk pekerja kepala rumah tangga, agar hidupnya dan keluarga dikatakan hidup layak. Sudah pasti KHL untuk pekerja kepala tangga jauh lebih besar dari Rp2 – 2,5 juta/bulan. Sedangkan menurut GK, seorang kepala rumah tangga (pendapatan tunggal) cukup berpenghasilan Rp1.604.880 agar sekeluarga tidak dikatakan miskin. Padahal KHL lajang saja sudah Rp1,8 juta agar dianggap hidupnya layak. “Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa garis kemiskinan (GK) yang digunakan masih sangat jauh untuk dapat benar-benar memotret kemiskinan yang sesungguhnya,” ujarnya.

Dari keempat penjelasan tersebut, Robby menyimpulkan garis kemiskinan (Rp401.220 per kapita per bulan) masih jauh dari layak sebagai paramater yang tepat untuk memotret realitas kemiskinan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, Pemerintah sebaiknya jangan berpuas diri dengan angka kemiskinan versi GK yang dirilis BPS tersebut dan sebaiknya Pemerintah dan BPS (bersama DPR) sudah harus menyusun parameter baru yang lebih tepat dan mantap dalam memotret kemiskinan yang seutuhnya.

Dia membandingkan dengan Bank Dunia, yang sudah menggunakan basis pengeluaran US$3,2 dan US$5,5 atau setara Rp44.000 dan Rp77.000 per bulan, sebagai paramater kemiskinan. Parameter baru itulah yang nantinya digunakan untuk mengukur capaian angka kemiskinan, yang sudah benar-benar sesuai kenyataan/kebutuhan hidup layak yang sesunggihnya. “Paramater baru tersebut juga nantinya menjadi (benar-benar) ukuran kinerja pemerintah dalam pengentasan kemiskinan, agar tidak lagi angka-angka semu seperti saat ini,” ujarnya.

Selain itu, pemerintah juga harus benar-benar memastikan penurunan angka kemiskinan bukan karena program pemerintah yang berdurasi pendek dan tidak sustain. Tetapi harus melalui program pemerintah yang berdimensi jangka panjang dan sustain.

Ketimpangan Ekonomi

Sebelumnya BPS merilis tingkat ketimpangan antara penduduk kaya dan miskin di Indonesia (gini ratio) turun tipis dari 0,391 (September 2017) menjadi menurun menjadi 0,389 pada Maret 2018. Penurunan ini terjadi cukup konsisten sejak Maret 2012. Turunnya gini ratio tersebut seiring menurunnya tingkat kemiskinan hingga sebesar 9,82% pada Maret 2018.

Tingkat kemiskinan memang tercatat paling rendah sejak krisis 1998 lalu, tapi tak demikian halnya dengan gini ratio. Tingkat ketimpangan yang lebih rendah pernah dialami Indonesia pada September 2011 sebesar 0,3888.

Kepala BPS Kecuk Suhariyanto mengatakan, faktor utama yang menurunkan gini ratio, yaitu terjadinya kenaikan pengeluaran oleh masyarakat yang menandakan ada peningkatan pada pendapatannya juga. "Secara nasional, kenaikan pengeluaran per kapita kelompok bawah lebih cepat dibandingkan kelompok menengah dan atas," ujarnya, belum lama ini.  

Dia merinci, peningkatan pengeluaran pada kelompok penduduk 40% terendah mencapai 3,06%. Sedangkan bagi kelompok 40% menengah, tingkat pengeluaran hanya tumbuh 2,54% dan kelompok 20% teratas tumbuh 2,59%. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…