Menjamin Generasi Bangsa

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi., Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

Penerus generasi bangsa adalah menjadi cambuk untuk memperhatikan bagaimana sisi kuantitas dan kualitas sehingga beralasan jika tema Hari Anak Nasional – HAN 2018 yaitu Anak Indonesia Anak GENIUS (Gesit, Empati, Berani, Unggul, Sehat). Terkait hal ini upaya untuk merealisasikannya tidaklah mudah. Oleh karena itu rapat paripurna DPR tanggal 23 September 2002 lalu menyetujui Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA). Pemerintah membuat Peraturan Pemerintah (PP) guna membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Keberadaan UUPA ini diharapkan mengangkat kesejahteraan anak secara menyeluruh dan juga sebagai simbol kepedulian pemerintah atas nasib anak. Hal utama dari komitmen ini sebenarnya telah terlihat dari keluarnya 2 perundangan yaitu UU No. 4/1979 tentang kesejahteraan Anak dan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

Ragam regulasi yang mengatur tentang anak membuktikan komitmen dari pemerintah memosisikan anak sebagai potensi strategis untuk ditumbuhkembangkan, dilindungi dan diberi makna. Menurut UU No 23/2002 anak adalah amanah dan karunia Tuhan, yang di dirinya melekat harkat - martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak dipahami sebagai tunas, potensi dan generasi muda penerus perjuangan bangsa, memiliki peran strategi dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa - negara pada masa depan. Meski demikian ironisnya semakin hari kian banyak anak mengalami kesulitan memperoleh haknya, padahal hak mereka dijamin Konvensi Hak Anak yang disahkan PBB pada 1989. Tujuan konvensi yaitu menetapkan standar universal hak-hak anak, melindungi anak-anak dari semua bentuk eksploitasinya.

Jaminan

Konvensi itu adalah perjanjian internasional yang diratifikasi 191 negara, termasuk Indonesia. Lewat Keppres No. 36/1990 tentang pengesahan Konvensi Hak Anak, dan ditandatangani Pemerintah RI di New York AS pada 26 Januari 1990, sebagai hasil Sidang Majelis Umum PBB yang diterima 20 November 1989. Terkait ini yang justru menjadi pertanyaan mengapa kondisi ketidakadilan hak anak masih saja terus terjadi? Mengapa kasus ketidakberdayaan anak-anak korban bencana kian marak? Sebenarnya tidak semua orang tahu dan mengerti apa itu Konvensi Hak Anak. Buktinya, kini masih banyak anak yang tidak mendapat hak-haknya. Pemerintah pun tidak terlihat ada usaha untuk memperjuangkan anak-anak Indonesia untuk mendapatkan haknya. Dengan kata lain, meski DPR menerbitkan UUPA, pada 23 September 2002, konfrontasi terhadap hak-hak anak masih terjadi di mana-mana. Oleh karena itu, ancaman terhadap jaminan sebagai generasi penerus semakin nyata adanya, apalagi ada juga ancaman stunting di berbagai daerah sehingga rawan terhadap jaminan kualitas generasi mendatang.

Fakta diatas menunjukan anak tidak hanya menjadi harapan orang tua tetapi menjadi generasi pelanjut perjuangan bangsa-negara. Artinya memberikan sesuatu yang terbaik bagi mereka merupakan investasi bagi hadirnya generasi yang berkualitas lahir batin bagi kelanjutan kehidupan bangsa-negara dimasa datang. Fakta ini terutama didukung adanya UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia yang didalamnya mencantumkan tentang Hak Anak, UU No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak dan juga Convention on the rigths of the child (Konvensi tentang hak-hak anak) yang di keluarkan di New York 26 Januari 1990 lalu.

Esensi dari Keppres No. 36/1990 tentang Pengesahan konvensi tentang Hak-Hak Anak pada dasarnya terkait kesadaran dan komitmen publik bahwa anak merupakan potensi sumber daya insani pembangunan. Oleh karena itu, pembinaan dan pengembangannya harus dimulai sedini mungkin agar mereka berpartisipasi optimal bagi pembangunan. Pemerintah meratifikasi konvensi itu karena pemerintah konsekuen terhadap konvensi yang dikeluarkan PBB. Mengingat bahwa dalam deklarasi tersebut anak masih berada dalam ketidakmatangan fisik mental maka anak butuh perlindungan perawatan (yang berkompeten untuk memberi perlindungan adalah pemerintah melalui dinas terkait dan juga pihak yang merasa mampu secara ekonomi – akidah).

Sebagaimana diatur pasal 2 dari konvensi di atas dinyatakan negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak anak. Secara eksplisit ditegaskan yang harus dihindari dalam upaya perlindungan anak adalah perilaku diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, kelamin, bahasa, agama, keyakinan politik - kebangsaan, etnik-sosial, kekayaan, ketidakmampuan, kelahiran atau kedudukan lain dari anak atau orang tua anak atau pengasuhnya yang sah. Terkait ini salah satu aspek penting untuk mensukseskan misi perlindungan anak yaitu membangun kesadaran dan komitmen publik, tanpa kecuali.

Mengacu berbagai kepentingan yang harus dikaji demi mendukung perlindungan anak, maka pemerintah berusaha keras mensosialisasikan UUPA. Terkait ini, sejumlah pakar - pihak-pihak yang peduli atas komitmen perlindungan anak menegaskan UUPA lebih mempertimbangkan faktor-faktor psikologis serta filosofis dan yuridis yang bertujuan mulia memberdayakan dan mengoptimalkan kehidupan dengan mempertimbangkan moral agama dan kultural bangsa, sehingga misi UU ini mempunyai signifikansi tinggi bagi upaya perlindungan anak dimasa datang sebagai generasi penerus bangsa.

Potensi

Mengacu data Komisi Perlindungan Anak, bahwa Indonesia menunjukkan kurang ada perbaikan dalam penanganan masalah anak. Tercatat 40-50 ribu menjadi anak jalanan, 1,6 juta menjadi buruh dan 400 ribu menjadi pengungsi domestik akibat kerusuhan - konflik sosial, sekitar 50% anak di Indonesia mengalami kekurangan gizi, dan ada 6,5 juta tidak bersekolah, aborsi terhadap anak atau janin menurut data PKBI mencapai 75 - 100 ribu kasus atau setiap tahunnya hampir 100 ribu janin dirampas hak hidupnya, belum lagi kasus stunting yang ternyata Indonesia di urutan ke-5 terbesar di dunia.

Urgensi perhatian terhadap anak-anak, Majelis Umum PBB pada 20 November 1989 secara aklamasi mensahkan deklarasi hak anak-anak yang menyatakan bahwa manusia wajib memberi yang terbaik bagi anak-anak. Upaya ini menegaskan kembali tentang deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948. Majelis Umum PBB menganjurkan semua negara meninjau kembali kegiatannya bagi peningkatkan kesejahteraan anak.  Terkait ini, Indonesia berkepentingan memperhatikan hak anak sehingga lahir UU no 4/1979 tentang kesejahteraan anak-anak, UU No. 3/1979 tentang Pengadilan Anak, UU No. 20/1990 tentang Pengesahan Konverensi ILO No. 138 yang mengatur usia minimum usia anak anak yang boleh bekerja  UU No. 33/1999 tentang HAM yang menempatkan 19 pasal dari 106 pasal yang ada kaitnya dengan hak asasi anak.

 

BERITA TERKAIT

Jaga Stabilitas Keamanan untuk Dukung Percepatan Pembangunan Papua

    Oleh: Maria Tabuni, Mahasiswa Papua tinggal di Bali   Aparat keamanan tidak pernah mengenal kata lelah untuk terus…

Konsep Megalopolitan di Jabodetabek, Layu Sebelum Berkembang

Pada saat ini, kota-kota Indonesia belum bisa memberikan tanda-tanda positif mengenai kemunculan peradaban kota yang tangguh di masa datang. Suram…

Pasca Pemilu Wujudkan Bangsa Maju Bersatu Bersama

    Oleh: Habib Munawarman,Pemerhati Sosial Budaya   Persatuan dan kesatuan antar masyarakat di Indonesia pasca pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu)…

BERITA LAINNYA DI Opini

Jaga Stabilitas Keamanan untuk Dukung Percepatan Pembangunan Papua

    Oleh: Maria Tabuni, Mahasiswa Papua tinggal di Bali   Aparat keamanan tidak pernah mengenal kata lelah untuk terus…

Konsep Megalopolitan di Jabodetabek, Layu Sebelum Berkembang

Pada saat ini, kota-kota Indonesia belum bisa memberikan tanda-tanda positif mengenai kemunculan peradaban kota yang tangguh di masa datang. Suram…

Pasca Pemilu Wujudkan Bangsa Maju Bersatu Bersama

    Oleh: Habib Munawarman,Pemerhati Sosial Budaya   Persatuan dan kesatuan antar masyarakat di Indonesia pasca pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu)…