Kedaulatan Pangan?

Gejolak harga telur belakangan ini cukup meresahkan ibu-ibu rumah tangga. Pasalnya, harga telur melesat naik hingga Rp30.000 dari semula Rp20.000 per Kg. Bahkan, di sejumlah agen ada yang menjual lebih dari Rp35.000.  Sebenarnya tidak hanya harga telur yang naik, daging ayam juga melesat hingga Rp 40.000 per kg.

Menghadapi kondisi demikian, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengaku segera mengatasi dengan menyiapkan sejumlah langkah. Bergerak cepat memanggil peternak ayam petelur termasuk penjual pakan. Itu dilakukan untuk segera menstabilkan lonjakan harga. Termasuk melakukan intervensi pasar jika harga telur menurun dalam waktu seminggu. Mendag juga mengingatkan, pelaku usaha telur agar tidak mengambil tambahan keuntungan di saat kondisi seperti ini. Termasuk perintah mengeluarkan persediaan telur ayam milik perusahaan dan pengepul besar telur ayam.

Kecepatan bertindak menteri di kabinet Presiden Jokowi-JK ini layak diapresiasi. Namun, kesigapan dan langkah cepat termasuk memanggil peternak juga pedagang pakan ayam serta melakukan intervensi pasar saja, tidak cukup. Artinya, masyarakat butuh ketenangan dan keamanan saat pergi belanja tidak dipusingkan oleh lonjakan harga kebutuhan bahan pokok secara tiba-tiba.

Namun, sebagian masyarakat mengaku heran, menilai ada yang tidak masuk akal di sejumlah pernyataan sang menteri. Selain lonjakan harga telur akibat menurunnya pasokan, tingginya kematian ayam akibat cuaca ekstrem serta penggunaan antibiotik yang dilarang pemerintah. Penyebab lain yang dinilai tidak masuk akal adalah, karena panjangnya cuti pegawai di musim libur lebaran dan musim piala dunia, benarkah itu ada hubungannya?

Melesatnya harga telur juga mendapat perhatian Prabowo Subianto. Selain mengaku heran, Ketua Umum Partai Gerindra itu menyebut harga telur saat ini tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Itu karena negeri ini belum serius menerapkan filosofi pendiri bangsa ‘Berdikari’ atau berdiri di atas kaki sendiri, dan karena hingga saat ini masih ada campur tangan impor. “Karena komponen impornya masih ada. Kita meninggalkan filosofi pendiri bangsa kita, berdiri di atas kaki sendiri,” tegas Prabowo, belum lama ini.

Untuk diketahui, ternyata hingga Juni 2017, Indonesia masih mendatangkan sejumlah kebutuhan bahan pokok dari luar negeri. Ini patut dipertanyakan bagaimana penjabaran Nawacita, khususnya untuk ketahanan pangan. Sejumlah kebutuhan pokok yang masih impor, telur unggas yang di bulan Juni 2017 mendatangkan 610 kilogram senilai US$ 12,4 ribu. Di kurun waktu Januari hingga Juni 2017, tercatat sebanyak 34,1 ton atau senilai US$ 2,5 juta.

Bahan pokok lainnya yang masih di impor di Juni 2017 yakni, beras sebanyak 36,3 ribu ton atau US$ 15,8 juta. Tepung terigu sebesar 1,8 ribu ton setara US$ 545,5 ribu. Gula pasir 3,7 ribu ton setara US$ 2,5 juta. Daging lembu 11,6 ribu ton setara US$ 39,4 juta. Garam di Juni 2017 sebesar 253,8 ribu ton setara US$ 8,1 juta, yang naik dari sebelumnya. Mentega sebanyak 1,3 ribu ton atau setara US$ 7,8 juta. Minyak goreng 1,9 ribu ton atau US$ 2,4 juta. Bawang putih 90,9 ribu ton setara US$ 109,9 juta. Lada 23,1 ton setara US$ 141 ribu. Kentang 6,9 ribu ton atau US$ 3,0 juta. Cabai kering tumbuk sebanyak 2,6 ribu ton atau US$ 3,1 juta. Cabai awet 83,5 ton setara US$ 120,2 ribu.

Jadi, apa yang disampaikan Menteri Perdagangan berbeda dengan analisa Ketua Asosiasi Peternak Layer Nasional, Musbar, yang menilai kenaikan harga telur disebabkan turunnya produktivitas ayam petelur. Itu akibat penyusutan populasi ayam lebih tinggi dari normal yaitu 8-10 persen dari populasi dalam dua tahun terakhir. Kedua, karena dampak tren deplasi yang diperparah akibat penjualan ayam afkir yang meningkat saat ramadan dan lebaran tahun 2018.

Sementara, jika mengacu program ketahanan pangan di pemerintahan Presiden Jokowi-JK, sangat janggal jika kebutuhan pokok masih harus di impor. Lantaran dalam agenda ke tujuh RPJMN 2015-2019 dari Nawacita, pasangan Jokowi-JK bertekad mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Salah satunya mewujudkan, meningkatkan, kedaulatan dan kemandirian pangan. Kedaulatan pangan dimaksudkan memberikan semangat dan kekuatan untuk mencapai pemenuhan pangan bagi rakyat Indonesia sampai tingkat perseorangan.

Patut diingat, sasaran utama prioritas nasional bidang pangan pertanian periode 2015-2019, adalah tercapainya peningkatan ketersediaan pangan yang bersumber dari produksi dalam negeri, namun kenyataannya hingga saat ini hasilnya belum dirasakan oleh masyarakat.

Untuk itu, upaya peningkatan distribusi dan aksesibilitas pangan perlu didukung dengan pengawasan distribusi pangan untuk mencegah spekulasi. Serta didukung peningkatan cadangan beras guna memperkuat stabilitas harga. Semoga!

BERITA TERKAIT

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…