Dari China ke Eropa dan Indonesia

 

Oleh: Gigin Praginanto, Pemerhati Kebijakan Publik

Jalur kereta api dari China-Eropa atau laku keras. Berkat politik isolasionis presiden Donald Trump, jalur tersebut tampaknya bakal makin laku karena negara-negara di kedua benua itu menganggap Amerika sebagai ancaman bersama. Bagi mereka,  jalur kereta ini adalah sarana untuk bersinergi agar lebih kuat menghadapi ancaman Amerika.

Jalur kereta tersebut adalah bagian dari Jalur Sutra Modern, sekarang dikenal sebagai Belt Road Initiative (BRI), yang dicanangkan oleh Presiden China Xi Jinping. Meski awalnya dianggap sepele,   kini China mulai panen manfaatnya, dan membuktikan jalur ini bisa mendekatkan hubungan ekonomi Asia dan Eropa.

Lihat saja,  ketika diresmikan pada 2011, hanya sekitar 20 perjalanan kereta melintasi jalur yang menghubungkan kota Chongqing di China dengan Duisburg di Jerman itu. Tahun lalu angka itu sudah melesat sampai lebih tiga ribu perjalanan.

Kini sejumlah kota di Eropa sudah membangun jaringan kereta api yang terkoneksi dengan jalur tersebut. Terakhir adalah  Yiwu-London sepanjang 12 ribu km.  Ini jalur kereta terpanjang kedua di dunia setelah Yiwu - Madrid yang berjarak 12.874 km.

Bahkan Jepang,  yang kerap terlibat dalam ketegangan diplomatik dan ekonomi dengan China, tak mau ketinggalan. Investor dari negeri sakura ini telah menebar berbagai investasi di daerah seputar rel penghubung dua benua tersebut. Jepang juga menebar  investasi di negara negara yang dilewati rel tersebut.

Dengan makin lancarnya arus barang, para investor melihat pertumbuhan ekonomi negara negara yang dilewati kereta api dari China-Eropa akan melaju lebih cepat. Negara yang paling merasakan manfaatnya tentu saja yang tak memiliki laut. Bagi negara semacam ini,  jalur kereta antar benua ibarat 'pucuk dicinta ulam tiba'.

Salah satunya adalah Kazakhtan,  yang merupakan kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tengah. Pemerinrah negara ini menggelar karpet merah untuk proyek kerjasama  Nippon Express dengan BUMN kereta apinya dalam pengiriman barang ke negara negara Asia Tengah yang tak dilewati jalur kereta China-Eropa.

Di tengah perang ekonomi yang dilancarkan oleh Amerika terhadap dunia, manfaat itu kian terasa. Apalagi kini kesadaran masyarakat internasional makin tinggi bahwa Amerika tak pernah menjadi teman sejati. Negara super kuat ini setiap saat bisa berubah sikap dan menjadi ancaman bagi siapapun.

Kenyataan tersebut terkait dengan sistem politik Amerika dimana seorang presiden tak perlu menghormati apa yang diperbuat oleh pendahulunya.  Salah satu contohnya adalah kesepakatan nuklir dengan Iran, yang bersifat multilateral dan dibatalkan secara sepihak oleh Trump. Amerika juga mengundurkan diri dari kesepakatan iklim Paris dan Trans Pacific Partnership (TPP)  karena dianggap terlalu mahal dan merugikan Amerika oleh Trump.

Perusahaan swasta pun kena getahnya.  Salah satunya adalah raksasa telekomunikasi China,  ZTE. Perusahaan dengan karyawan 75 ribu orang ini dijatuhi hukuman mati oleh Amerika karena melanggar larangan untuk menjual barang ke China dan Korea Utara. Hukuman ini berupa larangan bagi perusahaan Amerika untuk memasok teknologi ke ZTE selama 7 tahun. Hukuman ini akhirnya diperingan dengan denda semiliar dollar AS,  terbesar dalam sejarah AS.

Miliarder China yang juga bos grup Alibaba, Jack Ma,  mengingatkan kasus ZTE membuktikan bahwa dunia harus mengurangi ketergantungan teknologi pada Amerika.  Dia mengacu pada kasus ZTE yang dipastikan gulung tikar kalau dilarang memakai teknologi Amerika. Salah satu penyebab utamanya,  menurut Jack Ma,  Amerika menguasai 100 persen pasar chip dunia.

Bagaimanapun juga para investor Jepang berada dalam tekanan publik agar tak terlalu bersemangat memanfaatkan BRI  yang diprakarsai China. Alasannya, keuntungan terbesar akan dinikmati China,  dan bisa mengerdilkan peran ekonomi dan diplomatik Jepang di Asia bahkan dunia.

Indonesia lain lagi. Presiden Jokowi bahkan telah menyatakan dukungan kepada jalur sutra maritim yang merupakan bagian dari BRI. Bukannya bersaing, menurut Jokowi,  jalur sutra besutan Xi Jinping tersebut klop dengan konsep poros maritim Indonesia.

Nah, jadi jangan heran kalau China merajalela di proyek proyek infrastruktur dan buruhnya bertebaran di pelosok Nusantara. Swastanya pun giat menebar investasi di berbagai bidang dengan menggandeng konglomerat dan politisi papan atas. Poros Jakarta-Beijing pun kian mantap.

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…