Gonjang-Ganjing Pertamina

PT Pertamina (persero) belakangan ini ramai diberitakan di media massa. Pemicunya antara lain karena kenaikan harga minyak dunia yang sempat menyentuh level US$79 per barel, ditambah melemahnya rupiah hingga Rp14.400 per US$. Nah, bila menggunakan mekanisme pasar, mengikuti harga keekonomian terkini sebagian atau keseluruhan, harusnya kinerja keuangan Pertamina akan aman dari gejolak kurs rupiah. Namun, munculnya janji pemerintah bahwa premium dan solar tidak dinaikkan hingga 2019, maka beban selisih kurs rupiah tersebut mau tidak mau harus dibebankan ke anggaran BUMN migas tersebut.

Pemerintah lewat Peraturan Presiden No. 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, Presiden telah menetapkan harga BBM. Termasuk premium ditetapkan Rp6.550 dan solar Rp5.150 per liter.

Ketika kurs rupiah Rp13.362 per US$ saja, seharusnya harga premium dijual di harga Rp8.954 per liter, sementara solar Rp9.088 per liter. Dengan situsi ini, maka Pertamina harus menalangi Rp2.404 untuk premium dan Rp3.938 per liter untuk solar. Lantas bagaimana dengan kurs rupiah mencapai Rp14.400 dan harga minyak dunia di level US$75 per barel?

Karena itu, mungkin Pertamina harus menalangi premium sekira Rp3.500 dan solar Rp4.900 per liter. Kejadian ini berlangsung sejak 2016, sehingga kinerja keuangan Pertamina ditandai dengan penurunan laba bersih 23% pada 2017 menjadi Rp36,4 triliun, lebih rendah dari 2016 sebesar Rp42 triliun. Kondisi ini diperkirakan semakin memburuk karena pendarahan keuangan Pertamina juga semakin dalam, lantaran situasi harga minyak dunia dan rupiah semakin tak menentu.

Sebenarnya Kementerian ESDM sudah memberi kompensasi berupa penggarapan proyek di 12 wilayah kerja untuk dioperasikan Pertamina. Namun percepatan pendarahan keuangan Pertamina tak sebanding dari hasil 12 wilayah kerja.

Tidak hanya itu. Menkeu Sri Mulyani Indrawati menghitung subsidi energi pada 2018 diperkirakan membengkak 173% menjadi Rp163 triliun. Sementara untuk BBM membengkak 220% menjadi Rp103 triliun, dari target yang semula yang diperkirakan hanya membutuhkan Rp46,8 triliun.

Tak pelak lagi, maka pada 29 Juni 2018 Menteri BUMN Rini Soemarno pun menerbitkan surat No. S-427/MBU/06/2018 tentang Persetujuan Prinsip Aksi Korporasi untuk Mempertahankan Kondisi Keuangan PT Pertamina (Persero). Tapi isu yang menonjol adalah menjual saham pada aset-aset hulu yang menjadi penyumbang terbesar laba buat Pertamina.

Karena tidak adanya informasi yang transparan, apa saja detil persoalan di intern Pertamina, banyak isu berseliweran yang mengatasnamakan orang dalam Pertamina. Seperti akibat tidak boleh menaikkan premium dan solar, maka sebagai gantinya menjual saham aset-aset hulu, akuisisi, menerbitkan obligasi, hingga rasionalisasi karyawan.

Rumor lain yang berkembang dan juga mengatasnamakan orang dalam menyebutkan terjadi pemangkasan bujet operasional hingga 30%, bujet investasi 20%. Bahkan rumor lain yang muncul akuisisi PGN atas Pertagas akan diikuti oleh pembubaran Direktorat Gas dan Energi Terbarukan, Pertamina juga diisukan dusuruh menanggung utang BBM PT Perusahaan Listrik Negara, PT Garuda Indonesia Tbk.

Sejauh ini memang belum ada klarifikasi baik dari Pertamina, Kementerian BUMN maupun dari pihak Istana Negara. Lepas dari semua rumor tersebut, yang muncul ke permukaan sepertinya Pertamina salah kelola manajemen.

Situasi menjadi ramai lagi ketika Serikat Pekerja (SP) PT Pertamina (Persero) turun ke jalan untuk memprotes situasi BUMN migas itu belakangan ini dengan menggelar “Aksi Bela Pertamina” yang antara lain menyoroti masalah naiknya harga minyak mentah melebihi pagu APBN 2018, sehingga membuat nilai investasi Refinary Development Master Plan (RDMP) tidak menguntungkan

Kemudian masalah turunnya nilai tukar rupiah terhadap US$ sehingga kewajiban membayar utang meningkat, sehingga nilai impor minyak mentah dan produk melonjak. Lalu soal kebijakan BBM satu harga, dengan hilangnya subsidi BBM penugasan (RON 88) dari APBN maka seluruh beban disparitas harga menjadi beban Pertamina melalui permen ESDM ini beban itu ditambah lagi, dimana seluruh konsekuensi biaya BBM satu harga mulai dari transportasi sampai margin fee penyaluran bagi penyalur dilokasi sepenuhnya ditanggung Pertamina tanpa dibantu sedikitpun dari APBN.

Nah, agar situasi ke depan situasi tidak semakin memanas di tengah melemahnya nilai tukar rupiah, masih tingginya harga minyak mentah dunia, serta panasnya suhu politik, direksi Pertamina bersama Kementerian BUMN supaya lebih transparan lagi dalam program penyehatan keuangan Pertamina. Ini sekaligus untuk menghindari kesalahpahaman makna aset strategis BUMN migas tersebut.

 

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…