KONDISI RUPIAH SAAT INI LEBIH BAIK DARI 1997/98 - IMF: Gelombang Tarif Global Berbahaya

Jakarta-Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan para pemimpin ekonomi dunia, bahwa gelombang tarif perdagangan baru-baru ini akan secara signifikan membahayakan pertumbuhan global, sehari setelah Presiden AS Donald Trump mengancam eskalasi besar dalam perselisihan dengan China. Sementara itu, guru besar UI menilai kondisi kurs rupiah terhadap dolar AS saat ini Rp 14.400 masih lebih baik dibandingkan dengan tahun 1997/98

NERACA

Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde mengatakan akan menghadiri pertemuan menteri keuangan G20 dan  gubernur bank sentral di Buenos Aires dengan laporan yang merinci dampak pembatasan yang sudah diumumkan pada perdagangan global.

"Ini tentu menunjukkan dampak yang bisa terjadi terhadap PDB (produk domestik bruto), yang dalam skenario terburuk dalam ukuran saat ini berada dalam kisaran 0,5% dari PDB secara global," ujar Lagarde dalam jumpa pers bersama dengan Menkeu Argentina Nicolas Dujovne seperti dikutip Reuters di Buenos Aires, Sabtu (21/7).

Menurut catatan singkat yang disiapkan untuk menteri G20,  IMF mengatakan pertumbuhan global dapat mencapai puncak pada 3,9%  pada 2018 dan 2019, sementara risiko penurunan telah meningkat karena konflik perdagangan yang berkembang.

Peringatannya datang tak lama setelah pejabat ekonomi tinggi AS, Menteri Keuangan Steven Mnuchin, mengatakan kepada wartawan di ibukota Argentina  tidak ada efek "makro" terhadap ekonomi terbesar di dunia.

Seperti diketahui, ketegangan perdagangan yang memanas telah mencuat dalam beberapa bulan terakhir, antara  Amerika Serikat dan China - ekonomi terbesar dan kedua terbesar di dunia - sejauh ini sudah slapping tarif barang senilai US$34 miliar  di antara mereka.

Pertemuan akhir pekan di Buenos Aires datang di tengah eskalasi dramatis retorika di kedua negara itu. Trump pada Jumat mengancam tarif pada semua ekspor China ke Amerika Serikat yang bernilai US$500 miliar.

Mnuchin mengatakan  - sementara ada beberapa efek "mikro" seperti pembalasan terhadap kedelai, lobster, dan bourbon yang diproduksi AS, meski dia tidak percaya  tarif akan membuat Amerika Serikat tidak mencapai pertumbuhan 3%  yang berkelanjutan tahun ini.

Kondisi Lebih Baik

Pada bagian lain, guru besar FEB-UI Prof Dr. Rhenald Kasali mengatakan, rupiah memang mengalami pelemahan dari Oktober 2014 hingga Juni 2018 sebesar 18%, dari Rp 12.200 menjadi Rp 14.400 per US$. "Dolar Rp 14.400 ya, kalau dari Oktober 2014 ke 2018 itu sudah terdepresiasi 18 persen dulu Rp 12.200 ke Rp 14.400," ujarnya di Bekasi, Sabtu (21/7).

Menurut dia, kondisi pelemahan rupiah yang terjadi saat ini jauh lebih baik dibanding pada 1997 dan 1998. Saat itu rupiah tertekan 600%, dari Rp 2.500 menjadi Rp 16.800 per US$. "Tapi situasi berbeda dengan situasi tahun 1997, 1998 karena lebih besar. 1997, 1998 itu dari Rp 2.500 ke Rp 16.800 jadi naiknya 600%, kalau sekarang baru 18%," tutur dia seperti dikutip Merdeka.com.

Saat era 1998 dengan kurs Rp 2.500 per US$, upah buruh Rp 172.000 per bulan. Setelah rupiah mengalami pelemahan menjadi Rp 16.800 per US$, upah buruh hanya naik Rp 192.000. Kondisi ini membuat daya beli turun. Pasalnya, jika dibandingkan dengan pelemahan rupiah saat itu, upah buruh justru mengalami penurunan. "Artinya apa? Artinya upah buruh langsung turun dan daya beli turun, saat itu dari US$ 69 ya kalau kita Dolar kan dengan kurs Rp 2.500 menjadi hanya US$11 itu namanya daya beli turun," ujarnya.

Sedangkan saat ini, menurut Rhenald, rupiah melemah 18%, upah buruh sudah naik dari Rp 2,4 juta menjadi Rp 3,65 juta. Artinya ada kenaikan 49% sejak 2014. Dengan begitu upah buruh masih mengalami kenaikan meski rupiah tertekan. "Tapi sekarang, Dolar nya itu Rupiah terkoreksi melemah 18%. Kalau kita dolar kan maka upah buruh tadinya US$ 200 sekarang sudah naik jadi US$ 253, artinya masih ada surplus," ujarnya.

Menurut Rhenald, pelemahan rupiah terhadap US$ saat ini terlihat besar, karena angkanya besar dalam belasan ribu rupiah. Kondisi pelemahan mata uang lokal terhadap dolar tidak hanya dialami Indonesia tetapi juga negara lain. "Ini kelihatannya kenaikannya besar karena angkanya besar belasan ribu, dan semua bangsa mengalami, dalam situasi ini ada the looser ada the winner pasti ada," ujarnya.

Secara terpisah, guru besar FEB-UI Prof Dr. Miranda Goeltom menuturkan, nilai tukar US$ di akhir Agustus 1997 berada di kisaran Rp 2.500 per US$, sementara pada saat yang sama, UMR (Upah Minumum Regional) DKI di tetapkan Rp 172.500 atau setara US$69 per bulan.

Dalam waktu tidak lebih dari 10 bulan dari jelang akhir Agustus 1997 hingga rentang Januari - Juli 1998 nilai tukar US$ merayap naik lalu melonjak mendekati Rp 16.800 per US$. Di saat dollar menyentuh angka tersebut, UMR DKI ada di level Rp 192.000 atau setara US$11,4 per bulan. Dari 1997 ke 1998 kenaikan UMR hanya Rp 20.000 atau sekitar 13%, sementara kenaikan nilai dolar AS mencapai 600%. 

Menurut Miranda, dibandingkan dengan situasi saat ini di era pemerintahan Jokowi, ketika Jokowi dilantik menjadi Presiden (Oktober 2014) nilai tukar US$ berada di kisaran Rp 12.200 per US$. Pada saat yang sama UMR DKI berada di Rp 2.441.000 per bulan. Artinya, di bulan Oktober 2014 UMR DKI setara dengan US$200. Saat ini (Juli 2018) nilai tukar dolar di kisaran Rp 14.400,- sementara UMR DKI Rp 3.648.000 atau setara US$253 per bulan.

Kemudian dari Oktober 2014 hingga Juli 2018, dolar merayap naik Rp 2.200 atau sekitar 18% sementara kenaikan UMR DKI dari Rp 2.441.000 menjadi Rp 3.648.000 atau naik sekitar Rp 1.200.000, meningkat sekitar 49% dari Oktober 2014.

Perbandingan kurs dolar dengan UMR saat ini menunjukan bahwa naiknya kurs US$ sebesar 18% tidak berdampak pada daya beli seperti pada situasi Mei - Juli 1998, karena pada kurun waktu yang sama saat ini UMR justru mengalami kenaikan 49%. Jika di konversi dengan dolar maka dari tahun 2014 hingga 2018 UMR naik 26%, yaitu dari US$200 menjadi US$253.  

Miranda coba bandingkan daya beli masyarakat pada 1998 dan kondisi saat ini dengan menggunakan perbandingan UMR dan harga beras. Pada Juli 1998, besaran UMR Rp 192.000 per bulan. Harga beras medium saat itu Rp 2.800 per kg, berarti saat itu rakyat dengan UMR nya hanya dapat membeli 69 kg beras per bulan.

Saat ini UMR Rp 3.648.000 per bulan sementara harga beras medium sesuai HET (Harga Eceran Tertinggi) berada di kisaran Rp 9.500 hingga Rp 10.000 per kg. Dengan demikian saat ini setiap bulan rakyat bisa membeli 364 kg hingga 384 kg beras per bulan.

Jika dibandingkan kemampuan masyarakat membeli beras pada 1998 dan saat ini, maka kemampuan membeli beras naik dari 69 kg menjadi 384 kg per bulan atau naik lebih banyak sekitar 315 kg per bulan. “Peningkatan ini hampir 6 kali lipat dari 1998,” ujarnya.

Dari perbandingan perbandingan tersebut di atas maka tentu tidak tepat jika nilai tukar dolar saat ini yang berada di kisaran Rp 14.400 di samakan dengan kegentingan ekonomi yang sama dengan tahun 1998. “Hanya ada dua kemungkinan kenapa ada ada pihak yang menyamakan nilai tukar US$ saat ini sudah segenting 20 tahun lalu. Pertama, mereka itu hanya melihat angka dolar tapi tidak mengetahui angka-angka perbandingan lainnya termasuk UMR. Artinya, data yang dimiliki pihak lain itu sangat minim sementara nafsu bicara mereka sangat besar,” ujarnya.  

Kedua, mereka paham data data tersebut di atas tapi mereka mencoba mendramatisasi situasi seolah menakutkan dan berbahaya. Opini ini bisa jadi di desain untuk tujuan politik. “Ini bermotif politik tentu berharap rakyat percaya bahwa nilai tukar rupiah terhadap US$ di pemerintahan Jokowi seolah-olah sedang berada dalam situasi yang persis sama dengan situasi 20 tahun lalu,” ujar Miranda. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…