Bongkar Suap DPR!

Tertangkapnya Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI Eni Maulani Saragih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap kontrak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1, setidaknya dapat menjadi pintu masuk bagi KPK untuk melakukan penindakan korupsi di sektor energi. Pasalnya, pola korupsi legislatif, baik di pusat maupun di daerah, tidak pernah dilakukan oleh pelaku tunggal, melainkan melibatkan banyak pihak sekaligus, baik dari rekan anggota dewan, perusahaan swasta dan BUMN terkait, serta kementerian/lembaga yang membidangi proyek tersebut.

Sebelumnya contoh kasus yang paling fenomenal adalah kasus korupsi KTP Elektronik. Terungkap jaringan kasus tersebut melibatkan puluhan anggota DPR bahkan sampai ke Ketua DPR, perusahaan swasta dan Kementerian Dalam Negeri hingga ke level eselon satu dan menteri. Partai politik pun bahkan disebut-sebut ikut menikmati aliran dana haram itu. Nah, sangat mungkin terjadi lagi, pengungkapan kasus korupsi PLTU Riau-1 dengan modus operandi yang sama akan terbongkar.

Gebrakan perdana penangkapan Eni Saragih ini sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa perkara ini berjejaring luas. Eni ditangkap di rumah Menteri Sosial Idrus Marham. KPK berbekal informasi dari sebelumnya menangkap Tahta Maharaya, staf sekaligus keponakan Eni, di parkiran gedung Graha BIP Jakarta, dengan barang bukti uang sebanyak Rp500 juta. Uang itu diterima Tahta dari Audrey Ratna Justianty, sekretaris pengusaha Johannes Kotjo. Johannes adalah pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, perusahaan yang akan menggarap proyek PLTU tersebut.

Selanjutnya tim penyidik KPK menggeledah rumah Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir, kantor pusat PT PLN yang diduga menyimpan dokumen berkaitan dengan kasus suap tersebut. Ini menunjukkan bukan kasus sembarangan. Johannes Kotjo, misalnya, adalah pengusaha besar sejak Orde Baru. Dia  saIah satu dari 150 orang terkaya di Indonesia. Kekayaannya menurut Globe Asia, sekitar US$267 juta (Rp 3,83 triliun). Sofyan Basir juga bukan orang biasa. Sebelum memimpin PT PLN, dia lama menjadi Dirut Bank BRI. KPK tentu tidak sembarangan menggeledah rumah orang jika tak memiliki info penting terkait dugaan kasus yang diselidikinya.

Nilai uang suap yang disita KPK juga tak sedikit jumlanya, yaitu Rp500 juta. Informasi yang diperoleh KPK, uang tersebut merupakan setoran keempat yang diterima Eni dari Johannes Kotjo. Sebelumnya, Kotjo sudah menyetor uang beberapa kali. Tahap pertama uang suap diberikan pada Desember 2017 sebesar Rp2 miliar. Kedua, pada Maret 2018 sebesar Rp2 miliar dan ketiga pada 8 Juni 2018 sebesar Rp300 juta. Total uang suap yang sudah diterima Eni adalah Rp4,8 miliar, yang merupakan bagian dari commitment fee sebesar 2,5 persen dari nilai proyek kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.

Mustahil rasanya uang sebanyak itu dinikmati sendirian oleh Eni. Menurut Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, ada kemungkinan uang suap sebesar Rp4,8 miliar yang diterima Eni Maulani juga masuk ke pimpinan ataupun anggota Komisi VII DPR lainnya. Proyek PLTU Riau-1 ini adalah bagian dari proyek 35.000 megawatt yang dicanangkan pemerintah.

Menyimak data laman PLN, ada 109 pembangkit tenaga listrik yang akan dibangun dalam jangka waktu 5 tahun (2014-2019) dengan dana Rp1.127 triliun rupiah. Dari 109 proyek itu, 74 dikelola oleh swasta selaku Independent Power Producer (IPP) dengan total kapasitas 25.904 MW. Dan sisanya ditangani oleh PLN dengan total kapasitas 10.681 MW.

Tanpa bermaksud menyamaratakan, kasus suap di PLTU Riau-1 ini bisa dipandang sebagai contoh kasus untuk menarik asumsi atas pengerjaan proyek lain. Dengan kata lain, bukan tidak mungkin ada praktik yang sama terjadi di antara 108 proyek pembangkit lainnya.

Inilah yang tentu saja sudah dibaca oleh KPK. Dengan pengalamannya mengusut korupsi berjejaring, mustahil pengalaman tersebut tidak mewarnai mind-set para penyidik KPK dalam menangani kasus ini. Artinya, KPK tidak akan berhenti di kasus Eni Saragih saja. “Akan ada rally-rally panjang,” kata Komisioner KPK Saut Situmorang.

Untuk itu, KPK perlu didukung penuh. Rally panjang itu pasti melelahkan, butuh energi dan konsistensi yang kuat. Dan sepanjang perjalanan, hambatan pasti sangat banyak, belum lagi intimidasi atau ancaman terhadap petugas KPK. Kasus penganiayaan terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, ketika menyidik kasus e-KTP, mesti menjadi peringatan. Sebab, korupsi e-KTP melibatkan para pelaku yang bukan orang sembarangan. Bisnis energi juga kelihatannya mempunyai karakteristik yang hampir sama. Tidak mungkin orang biasa bisa bermain di bisnis seperti ini.

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…