Pilkada Menciptakan Koruptor ?

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi., Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

Pesta demokrasi pilkada serentak 27 Juni telah sukses dilakukan dan yang menang versi quick count bisa langsung menunggu hasil hitung manual versi KPUD, sementara yang kalah tentu gigit jari. Semua jerih payah selama penjaringan, kampanye dan debat publik yang menyita energi telah terbayar. Setidaknya yang memang siap-siap dituntut semua janji kampanye, sementara tagihan dari parpol untuk mendukung sukses pilpres tentu tidak bisa dihindari karena para pemenang pilkada serentak pastilah langsung terlibat di pemenangan pilpres 2019. Lalu bagaimana yang kalah? Tentu tinggal menghitung sisa uang yang tersedia setelah terkuras untuk ongkos demokrasi yang katanya di republik ini semakin mahal. Lantas beralasan jika muncul cibiran apakah sukses pilkada serentak akan melahirkan koruptor berjamaah?

Pertanyaan diatas bukan tidak beralasan karena selama periode pesta demokrasi dan juga era otda ternyata semakin banyak kepala daerah terjerat korupsi. Bahkan, banyak juga diantaranya yang terkena OTT KPK. Fakta ini memicu sentimen terhadap pelaksanaan pesta demokrasi dan sekaligus bukan tidak mungkin berpengaruh terhadap partisipasi para pemilih untuk datang ke TPS mensukseskan pesta demokrasi. Oleh karena itu, logis jika persepsian terhadap konotasi pesta demokrasi menjadi rancu karena pestanya itu sendiri tidak pernah ada karena yang ada adalah tekanan untuk menang. Padahal, aspek mendasar dari demokrasi adalah ada yang menang dan tentu ada yang kalah. Ironisnya, ongkos demokrasi yang terlalu mahal di republik ini akhirnya menciptakan persepsian harus menang dan tidak boleh kalah. Fakta inilah yang menguatkan adanya 62 sengketa pilkada yang diajukan ke MK.

Persepsi Salah

Persepsian yang salah itulah yang akhirnya menciptakan sistem yang amburadul dalam pesta demokrasi. Betapa tidak, dalam proses penjaringan kandidat telah terjadi proses kerancuan dan karenanya persepsian tentang mahar politik menjadi ada. Meskipun sulit dibuktikan namun tidak sedikit kandidat yang terjerat dengan mahar politik. Paling tidak ada sejumlah kandidat yang akan maju dalam pilkada serentak kali ini pernah berujar di media, meski sayang tindaklanjutnya tidak pernah tuntas. Bahkan, ujaran kebencian dan saling fitnah dilakukan para kandidat untuk mereduksi pesaing yang maju di pilkada dan kasus ini mencuat di awal pendaftaran kandidat.

Yang justru menjadi pertanyaan mengapa ujaran kebencian efektif mematikan lawannya dan mengapa ini seolah menjadi cara klasik yang efektif? Tentu tidak bisa mengelak dari perkembangan teknologi internet. Betapa tidak, dunia maya begitu mudah menyebarkan hoax dan berbagai berita minor lainnya. Ketika publik tidak bisa mencerna secara jernih maka semua informasi bisa disebarkan dengan leluasa dan tentu ini bisa berdampak bagi para kandidat yang bertarung, baik itu dampak positif atau negatif. Oleh karena itu, hal ini menjadi tantangan untuk pilpres 2019 mendatang dan juga pilkada serentak 2024 yang tentu akan semakin kompleks.

Ancaman nyata pasca sukses pilkada serentak adalah persepsian tentang apakah hasil dari pilkada serentak kali ini akan kembali menciptakan koruptor berjamaah? Pertanyaan ini wajar mengemuka karena rentang waktu setahun terakhir telah banyak kepala daerah yang terjerat korupsi dan diantaranya melalui OTT KPK. Bahkan, menjelang pilkada serentak kemarin kembali KPK melakukan OTT terhadap Bupati Purbalingga, Tasdi. Heranya ketika ia digelandang ke gedung KPK justru mengacungkan salam metal. Ironis memang ketika salam metal yang mewakili partai tertentu justru dilayangkan, sementara pemerintah kini getol memerangi korupsi yang sejatinya adalah semangat Pancasilais yang sesuai dengan dengan ketokohan pimpinan partai tersebut.

Mengapa OTT KPK terus terjadi? Pertanyaan ini wajar mengemuka karena rentang waktu 20 tahun reformasi yang awalnya berniat mereduksi KKN ternyata justru di era reformasi semakin marak korupsi. Ironisnya, korupsi tidak lagi dilakukan sendiri tapi berjamaah dengan kerugian yang semakin besar. Paling tidak ini terlihat dari kasus Hambalang dan E-ktp. Apakah ada yang salah dengan reformasi yang sedang dijalankan? Mengapa tajamnya taring KPK tidak bisa meredam korupsi? Apa yang harus dilakukan untuk memicu efek jera?

Ironi

Realitas korupsi di republik ini selama dua dekade reformasi memberikan signal negatif terhadap semangat memerangi KKN. Betapa tidak, Presiden Jokowi awal Mei lalu juga menerima keluh kesah para sopir yang dipungli di jalanan, meski pemerintah juga telah sepakat memerangi pungli dan meminta masyarakat melaporkan ke satgas pungli jika menemui kasus pungli dimanapun. Selain itu, pada 5 Mei 2018 KPK melakukan OTT 8 orang plus 1 anggota DPR Komisi XI yaitu Amin Santono dari Partai Demokrat dengan dugaan kasus pembahasan RAPBN-P 2018. Selain itu, pada 23 Mei 2018 juga terjaring OTT Bupati Buton Selatan, Agus Feisal Hidayat dengan kasus suap proyek pekerjaan di pemerintahan Kabupaten Buton Selatan. Serangkaian OTT oleh KPK seolah tidak dapat meredam efek jera. Bahkan, vonis 15 tahun kepada Setya Novanto dari kasus E-ktp juga tidak bisa ngefek terhadap surutnya nyali korupsi di republik ini. Mengapa ini terjadi? Apakah reformasi yang diperjuangkan 20 tahun lalu telah gagal? Apakah sukses pilkada serentak masih akan berlanjut dengan korupsi berjamaah? Bahkan, kemarin terjadi lagi OTT terhadap anggota dewan berinisial EMS dari Partai Golkar.

Tidak mudah untuk menjawabnya meski waktu akan membuktikannya. Paling tidak dari banyaknya modal yang harus disetor dan juga kalkukasi pendapatan yang tidak dapat sepadan, belum lagi target oleh parpol untuk pemenangan pilpres mendatang maka in semua jelas bisa berdampak negatif terhadap ancaman korupsi serentak dan berjamaah oleh para pemenang pilkada serentak kali ini. Jika ini terbukti maka jangan salahkah jika apatisme terhadap pesta demokrasi akan semakin tinggi karena publik semakin jengah terhadap maraknya korupsi berjamaah dan juga serangkaian OTT oleh KPK setahun ini.

 

BERITA TERKAIT

Jaga Persatuan dan Kesatuan, Masyarakat Harus Terima Putusan MK

    Oleh : Ridwan Putra Khalan, Pemerhati Sosial dan Budaya   Seluruh masyarakat harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK)…

Cendekiawan Sepakat dan Dukung Putusan MK Pemilu 2024 Sah

    Oleh: David Kiva Prambudi, Sosiolog di PTS   Cendekiawan mendukung penuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa…

Dampak Kebijakan konomi Politik di Saat Perang Iran"Israel

  Pengantar Sebuah diskusi webinar membahas kebijakan ekonomi politik di tengah konflik Irang-Israel, yang merupakan kerjasama Indef dan Universitas Paramadina…

BERITA LAINNYA DI Opini

Jaga Persatuan dan Kesatuan, Masyarakat Harus Terima Putusan MK

    Oleh : Ridwan Putra Khalan, Pemerhati Sosial dan Budaya   Seluruh masyarakat harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK)…

Cendekiawan Sepakat dan Dukung Putusan MK Pemilu 2024 Sah

    Oleh: David Kiva Prambudi, Sosiolog di PTS   Cendekiawan mendukung penuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa…

Dampak Kebijakan konomi Politik di Saat Perang Iran"Israel

  Pengantar Sebuah diskusi webinar membahas kebijakan ekonomi politik di tengah konflik Irang-Israel, yang merupakan kerjasama Indef dan Universitas Paramadina…