Oleh: Nanang Djamaludin, Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara (JARANAN)
Kali ini Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) tingkat SMP dan SMA/SMK tahun ajaran 2018/2019 di pelbagai daerah berlangsung lebih kisruh dibanding tahun sebelumnya. Kekecewaan dan kritik tajam pun mengemuka terhadap pemerintah dan penyelenggara PPDB atas penerapan sistim zonasi.
Sistem zonasi ini dipandang amat rentan penyiasatan akal bulus para calon peserta didik maupun orangtuanya, sehingga merugikan pihak lainnya. Di sisi lain, jika kecenderungan yang bisa diterima di sekolah negeri pilihan adalah anak-anak yang tinggi nilai UN-nya, maka kemana anak-anak bernilai UN rendah harus bersekolah, terlebih jika ia anak keluarga tidak mampu?
Apa gunanya proses pendidikan di sekolah negeri jika yang boleh sekokah di situ adalah anak-anak yang dianggap cerdas secara IQ saja? Sementara anak-anak yang dipandang bodoh IQ-nya pantasnya disekolahkan dimana?
Kecaman juga muncul atas pemberlakuan jalur Keluarga Ekonomi Tidak Mampu (KETM) untuk masuk sekolah negeri favorit, lantaran tak sedikit peserta didik yang berhasil diterima di sekolah negeri lewat siasat memanipulasi data lewat beragam cara untuk memperoleh Surat Keterangan Tidak Mampu) meski dirinya termasuk kelompok ekonomi menengah-atas berkecukupan.
Keruwetan masalah yang ditimbulkan penerapan sistem zonasi ini disebabkan karena pemerintah, dalam hal ini para perancang kebijakan sektor pendidikan, sepertinya sudah terbiasa, bahkan "kecanduan", untuk menyolusi sebuah masalah sektor pendidikan melalui cara-cara adhoc, yang seringkali sekedar mengonversi suatu masalah menjadi masalah baru yang justru semakin bikin ruwet.
Sudah tahu setiap tahun kerap terjadi lonjakan minat masuk sekolah negeri, namun pemerintah tak jua beranjak menyiapkan langkah-langkah antisipatif menjembatani problem itu dengan menyediakan jumlah kelas yang lebih banyak beserta guru-guru yang mumpuni, misalnya. Apa gunanya data-data demografi yang tersedia jika tak dipakai oleh pemerintah sendiri sebagai rujukan antisipatif mengatasi persoalan itu?
Dari hasil UN yang lalu-lalu seharusnya langsung dijadikan pemetaan sekolah-sekolah mana saja yang harus lebih digenjot lagi kualitasnya lewat seperangkat kebijakan yang tepat di tingkat lokal, sehingga pada gilirannya nanti bisa menjadi sekolah pilihan dari anak-anak dari lingkungan terdekat. Dan mampu menghalau secara alamiah kecenderungan lompat zonasi, misalnya.
Saya pikir tujuan mulia untuk mendorong pemerataan pendidikan (antar pusat dengan daerah, antar kota besar dengan daerah penyangga maupun desa) serta tujuan strategis untuk menghapus dikotomi sekolah favorit- nonfavorit yang terlanjur melekat (sebagai buah kebijakan keliru di masa lalu), akan sangat sulit terwujud jika mengandalkan langgam kebijakan adhoc yang sama sekali tidak menyentuh akar persoalan sesungguhnya sektor pendidikan kita.
Dibutuhkan pendekatan yang jauh lebih komprehensif dan radikal untuk menyolusi persoalan sektor pendidikan kita, dengan road map yang kokoh dan langkah-langkah yang jelas, yang mana setiap langkah itu diharapkan bisa berimplikasi ke arah kuantum atau lompatan-lompatan berarti dan signifikans bagi peningkatan kualitas pendidikan yang merata, sekaligus pemajuan praktik pendidikan yang menghargai dan memasilitasi segenap potensi kecerdasan anak yang amat beragam.
Jika dilihat dari proses pembelajar di kelas selama ini, dan berdasarkan mata pelajaran yang di-UN-kan, serta dari persyaratan PPDB yang mengacu pada nilai UN, jelas bahwa proses pendidikan di negeri kita masih menitikberatkan pada paradigma IQ, yang saya pikir sudah out of date. Lagi pula tidak semua anak lahir dengan potensi kecerdasan yang berkiblat pada IQ.
Menurut saya, titik berat proses pembelajaran di dalam sistim pendidikan kita yang berorientasi pada IQ an sich itu harus diubah haluannya, menuju paradigma multiple intelligences, lewat pembenahan komprehensif, yang jelas road map-nya beserta langkah-langkahnya.
Dengan paradigma multiple intelligeces itulah kita bisa lebih menghargai sekaligus memfasilitasi keragaman potensi kecerdasan yang bersemayam di dalam diri setiap anak Indonsia. Dan lewat paradigma multiple intelligeces itu saya melihat masa depan sumber daya manusia Indonesia yang lebih hebat akan lebih mulus perjalanannya. Semoga. Salam Anak Nusantara. (www.watyutink.com)
Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…
Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…
Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…
Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…
Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…
Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…