PENELITI NILAI TIPIS KEMUNGKINAN PERANG DAGANG RI-AS - Sofjan: AS Sedang Evaluasi 124 Produk RI

Jakarta- Pemerintah Amerika Serikat disebut-sebut tengah mengevaluasi sedikitnya 124 produk asal Indonesia. Hasil evaluasi itu akan menentukan apakah produk-produk Indonesia yang diekspor ke AS masih berhak mendapatkan generalized system of preference (GSP) atau tidak. Sementara itu, peneliti INDEF menilai potensi AS melakukan perang dagang dengan RI tipis,  mengingat aktivitas ekspor impor kedua negara bersifat komplementer (saling melengkapi).

NERACA

Menurut Ketua Tim Ahli Wapres Sofjan Wanandi, Amerika Serikat tidak main-main dalam menyeimbangkan neraca perdagangan dengan sejumlah negara. Dia menuturkan, AS tidak hanya melakukan hal itu dengan China dan Eropa, namun juga ke Indonesia.

Sofjan mengatakan AS tidak main-main dengan kebijakan ini. "Jadi, ini menurut saya yang kita harus lihat, tapi harus kita selesaikan walaupun tugas utama di kan adalah China, Eropa dan negara-negara yang lebih besar trade defisitnya. Cuma, kita harus siap karena Amerika ga main-main dalam persoalan ini," ujarnya di Kantor Kemenko Perekonomian, Senin (9/7).

Seperti diketahui, saat ini sebanyak 124 produk asal Indonesia tengah dievaluasi oleh AS, apakah masih pantas menerima manfaat dari fasilitas generalized system of preferences (GSP) atau tidak.
Terkait dengan hal tersebut, menurut Sofjan, akibatnya bagi RI mungkin tidak terlalu besar jika GSP ditarik. GSP itu adalah semacam kebijakan perdagangan suatu negara yang memberi pemotongan bea masuk impor.

Sofjan menyebut, jumlah total ekspor Indonesia ke AS mencapai sekitar US$ 20 miliar per tahun. Jika GPS dicabut atas 124 produk Indonesia, jumlahnya akan berkurang sejumlah potensi kehilangan tersebut.

Menurut dia, negara tidak akan lantas melakukan tindakan balasan atau retaliasi. "Kalau itu [retaliasi] terlalu kecillah, kita tidak ada retaliasi. Itu [tinjauan AS] sebenanrnya dilakukan tiap dua tahun sekali, kita evaluasi juga. Cuma ini dia minta kita serius untuk selesaikan," ujarnya seperti dikutip laman CNBCIndonesia.com.

Sofjan mengatakan, produk-produk yang terancam tidak mendapat GPS ke depan meliputi produk pertanian, perikanan, tekstil, serta makanan. Pemerintah saat ini sedang melakukan rapat terbatas di Istana Bogor membahas hal tersebut.

Hal lain yang dibahas dalam pertemuan itu adalah kondisi perdagangan RI, yang mengalami defisit neraca perdagangan berkali-kali di tahun ini. Sofjan mengatakan pemerintah akan terus melakukan kajian atas kondisi tersebut. Menurut dia, saat ini ada barang-barang yang sebenarnya sudah dapat dipenuhi di dalam negeri namun kalah dari segi persaingan. Terutama industri hulu, seperti produk kimia.

Pembatasan impor pun tak lantas bisa dilakukan atas barang modal, karena menurut dia kalau memang Indonesia belum dapat memproduksi, impor memang dibutuhkan. "Kalau kita enggak bisa bikin terpaksa harus impor, karena itu bagian dari investment yang masuk,"ujarnya.

Secara terpisah, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan kebijakan AS itu bukan ancaman yang besar bagi Indonesia. "Kami tidak melihat itu ancaman yang besar, karena kami akan terus melanjutkan komunikasi dengan AS," ujarnya seusai rapat terbatas dengan Presiden Jokowi bersama sejumlah menteri, kemarin. Menurut dia, pembahasan juga melibatkan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. "Tentu BI, OJK, akan mengantisipasi. Komunikasi akan terus berjalan dengan pemerintah AS.

Airlangga mengatakan evaluasi GSP adalah hal yang biasa, dan tidak mencerminkan sesuatu hal dengan perdagangan Indonesia. "Semua negara yang punya GSP di-review, tapi Indonesia jadi salah satu negara yang dilakukan review tahun ini," ujarnya. GSP sendiri merupakan semacam kebijakan perdagangan suatu negara yang memberi pemotongan bea masuk impor.

Sebelumnya, terkait dengan evaluasi GSP ini, Kedutaan Besar AS untuk Indonesia menyatakan kedua negara memiliki hubungan yang sangat erat, termasuk dalam bidang perdagangan. "Di bawah kepemimpinan Presiden Trump, AS menjunjung hubungan dagang yang adil dan resiprokal dengan semua mitra. Kami percaya bahwa perdagangan dan investasi yang bebas, adil, dan resiprokal akan membuat kita menyadari secara penuh adanya potensi dalam hubungan ekonomi."

Sebelumnya Kementerian Perdagangan mengirimkan surat kepada pemerintah AS terkait evaluasi insentif bebas tarif bea masuk untuk impor produk-produk tertentu (Generalized System of Preferences-GSP) yang mereka berikan bagi negara berkembang, termasuk Indonesia.

Mendag Enggartiasto Lukita mengatakan, surat sudah dikirimkan melalui Kedutaan Besar AS serta United State Trade Representative (USTR). Dia tak menyebut isi dari surat tersebut dan kapan pemerintah AS bakal memberikan respon. Surat tersebut bertujuan melobi pemerintah AS. "Kami sudah bicara dengan Kedubes AS dan USTR, dan kami terus lobi," ujarnya di Jakarta, Jumat (6/7).

Menurut Enggar, langkah diplomasi akan tetap ditempuh lantaran Indonesia tidak menghendaki perang dagang. Menurut dia, perang dagang hanya menimbulkan mudarat, yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi masing-masing negara. "Kami berpendapat, trade war ini sesuatu yang tidak baik. Karena trade war antara AS dengan China dan Kanada dan secara keseluruhan tidak berdampak baik. Kalau bisa lakukan lobi ya kenapa tidak," ujarnya.

Namun, pemerintah Indonesia akan meyakinkan AS agar kembali mempertimbangkan rencana tersebut. Kesempatan Indonesia untuk lolos dari hasil evaluasi tersebut pun terbuka lebar.

Staf Khusus Menko Perekonomian Edy Putra Irawadi mengungkapkan, satu hal yang harus dilakukan pemerintah Indonesia adalah membuktikan bahwa tidak ada persekongkolan perdagangan antara Indonesia dan negara lain. "Kita ini dianggap partner in crime. Kita harus membuktikan bahwa kita tidak partner in crime," ujarnya.

Menurut dia, selama ini Indonesia dicurigai melakukan persekongkolan perdagangan dengan negara lain untuk menembus pasar AS. Ada beberapa alasan yang mendasari hal itu.
"Kita dicurigai melakukan circumvention [tipu-tipu]. Misalnya, negara X mau ekspor ke AS tapi dia terhambat karena tarif atau kasus. Dia transhipment, dia tukar kapal, dan mendapatkan certificate of origin. Seolah-olah dia pergi, tapi buat Indonesia," ujarnya. Dengan sistem yang dimiliki Indonesia saat ini, kata dia, bisa membuktikan bahwa tudingan tersebut tidak benar. Apalagi, tudingan ini bukan yang pertama kalinya dialami Indonesia.

Kemungkinan Tipis

Peneliti INDEF menilai potensi AS akan melakukan dagang dengan Indonesia tipis, mengingat aktivitas ekspor impor kedua negara bersifat komplementer (saling melengkapi). Kekhawatiran perang dagang AS - Indonesia muncul setelah kebijakan evaluasi insentif bebas tarif bea masuk untuk produk-produk tertentu (GSP).

Menurut Eko Listiyanto, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF),  kedua negara menggunakan pendekatan dagang bersifat keunggulan komparatif (comparative advantage), dimana satu produk dari negara lain bisa lebih efisien dibandingkan produk milik negaranya. Indonesia, misalnya, memiliki keunggulan efisiensi di produk tekstil sehingga ekspornya tentu masuk ke Amerika Serikat.

Di sisi lain, Amerika Serikat juga memiliki keunggulan komparatif di komoditas pertanian, seperti gandum dan kedelai. Makanya, dia melihat peluang perang dagang kedua negara cukup tipis. "Arahnya mungkin ke sana (tidak akan terjadi perang dagang) karena ekspor-impor kedua negara ini sifatnya komplementer, saling melengkapi," ujarnya seperti dikutip laman CNNIndonesia.com, kemarin.

Selain itu, perang dagang kemungkinan tidak akan terjadi karena Indonesia bukanlah mitra dagang terbesar AS, bahkan tidak masuk 15 besarnya. Menurut Biro Sensus AS, lima mitra dagang terbesar AS adalah China, Kanada, Meksiko, Jepang, dan Jerman, dimana defisit terbesar dicatat oleh China dengan nilai US$152,2 miliar dalam 5 bulan pertama tahun ini.

Kalau pun terjadi perang dagang, Eko meyakini Indonesia tidak akan terkena dampak yang terlalu dalam. Sebab, neraca perdagangan Indonesia dengan AS antara Januari hingga Mei mengalami surplus US$3,56 miliar, sehingga harusnya masih ada peluang Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan.

Melihat hal itu, Indonesia bisa saja melakukan tindakan balasan kepada AS. Apalagi, komoditas ekspor AS ke Indonesia bisa disubstitusikan dengan komoditas yang sama dari negara lain. “Makanya, kemungkinan Indonesia bisa membalas dan mensubstitusi produk itu dengan yang lain. Tapi tetap, saya tidak melihat hal itu akan terjadi," ujarnya. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…