Menghadapi Ancaman Perang Dagang Donald Trump

Oleh: Nandang Sutrisno, Ph.D., Dosen FH Universitas Islam Indonesia (UII)

Setelah mengobarkan perang dagang dengan China, Uni Eropa, Meksiko, dan Kanada, kini Donald Trump juga mengancam perang serupa dengan Indonesia. Sebagaimana diberitakan oleh berbagai media bahwa Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memperingatkan Indonesia, bahwa AS akan mencabut beberapa perlakuan khusus (special treatment) untuk produk-produk impor dari Indonesia. Ada 124 produk yang terancam, terutama plywood dan tekstil. Mengapa Indonesia menjadi salah satu yang termasuk diancam Donald Trump, dan bagaimana menyikapi ancaman tersebut secara proporsional?

Tidak ada yang mengetahui secara akurat tentang alasan untuk mencabut perlakuan khusus tersebut, bahkan cukup mengagetkan, mengingat selama ini tidak ada persoalan yang cukup serius antara Indonesia dengan negara adi daya tersebut. Alasan utama, yang juga digunakan terhadap China, Uni Eropa, Meksiko dan Kanada, adalah terkait defisit perdagangan yang diderita negara tersebut dengan Indonesia yang mencapai 9,59 miliar dolar AS atau sekitar Rp 134 triliun. Tentu ini pun hanya semata-mata menyangkut perdagangan jasa, sedangkan perdagangan jasa dan investasi tidak diperhitungkan. Oleh karena itu sangat dimungkinkan semua negara mitra AS yang neraca perdagangannya surplus akan terkena ancaman Donald Trump.

Alasan lain yang sifatnya spekulatif dan tidak bisa diabaikan begitu saja adalah menyangkut perpanjangan kontrak Freeport yang mungkin saja tidak sesuai dengan ekspektasi Donald Trump. Bisa saja pemerintah Indonesia saat ini dianggap “resek”, sulit didikte begitu saja, sehingga hasilnya sangat mengkhawatirkan AS. Sebagaimana kita ketahui dari berbagai media bahwa negosiasi dengan pihak Freeport terus dilakukan oleh pemerintah, yang mencakup empat materi: divestasi 51 persen saham, stabilitas investasi, pembangunan smelter, dan perpanjang operasi. Negosiasi menyangkut kesemua materi berjalan sangat alot dan menyita banyak waktu, sehingga seakan-akan tak akan berkesudahan. Dua materi yang mungkin sangat mengecewakan AS adalah terkait dengan divestasi saham 51 persen dan ketidakpastian keberlanjutan operasi Freeport setelah Kontrak Karya berakhir tahun 2021.

Hal lain yang memungkinkan dijadikan alasan (tersembunyi) Donald Trump mengancam mencabut perlakuan khusus tersebut juga karena Indonesia bukan lagi “anak manis” yang mudah tunduk dengan kemauan AS. Dengan kata lain, Indonesia sekarang tidak lagi menjadikan negara tersebut sebagai kiblat perekonomiannya. Ketergantungan Indonesia terhadap negara tersebut semakin berkurang, bahkan investasi AS di Indonesia pun tidak lagi termasuk ke dalam lima besar. 

Meskipun ancaman pencabutan perlakuan khusus tersebut bagi sebagian pengamat bukan ancaman perang dagang, karena kedudukan yang tidak seimbang, tetapi pemerintah tetap harus mengambil sikap. Menghadapi ancaman ini, tidak banyak pilihan sikap yang dapat diambil Indonesia, berbeda dengan China, Uni Eropa, Meksiko dan Kanada. Mengapa? Yang dinaikkan tarifnya terhadap produk-produk dari negara-negara tersebut adalah tarif Most Favoured Nation (MFN), meskipun tidak sepenuhnya, sedangkan tarif terhadap produk-produk Indonesia yang nantinya akan dinaikkan adalah tarif Generalized System of Preference (GSP). Tarif MFN adalah tarif non-diskriminasi yang diterapkan terhadap semua Negara, sehingga sifatnya multilateral dan tercantum dalam Schedule of Commitment (SoC). Tarif GSP adalah tarif perlakuan khusus yang hanya diberikan terhadap negara-negara tertentu, pada umumnya terhadap negara-negara sedang berkembang. Dengan demikian GSP bersifat unilateral yang diberikan berdasarkan kesukarelaan atau “kebaikan” dari negara pemberi. Ketika tarif produk-produk yang terdaftar dalam SoC dinaikkan secara unilateral terhadap Negara-negara tertentu, dapat dianggap pelanggaran hukum, yaitu melanggar prinsip MFN, sedangkan kalau tarif GSP dinaikkan, tidak ada pelanggaran prinsip MFN.

Dengan demikian, bagi China, Uni Eropa, Meksiko, dan Kanada tersedia berbagai cara untuk menyikapi kenaikan tarif tersebut baik melalui hukum maupun non-hukum, sedangkan bagi Indonesia hanya tersedia jalur non-hukum. Yang pertama, tindakan retaliasi atau balasan, dan yang kedua, jalan diplomatik atau negosiasi. Tindakan retaliasi, yang berarti perang dagang, akan diambil oleh pemerintah Indonesia, jika Donald Trump benar-benar melaksanakan ancamannya untuk mencabut GSP terhadap produk-produk Indonesia, sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Perdagangan Indonesia, Enggartiasto Lukita. Jika jalan ini benar-benar akan ditempuh, dua hal yang perlu dipertimbangkan: tersedia alternatif untuk pasaran baru bagi 124 produk-produk Indonesia yang langsung terdampak, dan tingkat ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap AS, sehingga ketika perang dagang terjadi tidak akan menimbulkan “krisis” terhadap perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

Jalan diplomatik melalui negosiasi merupakan jalan lain yang tersedia, dan ini yang sedang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Dalam negosiasi, bargaining power merupakan kunci dari keberhasilan negosiasi, terutama menghadapi negosiator-negosiator dari negara-negara kuat. Hal ini merupakan salah satu titik lemah kita. Pemerintah jangan terlalu percaya diri bahwa negosiasi cukup dilakukan oleh para pejabat pemerintah, atau duta besar yang diangkat semata-mata hanya “didubeskan” karena faktor politis, tapi miskin wawasan dan pengalaman. Sebaiknya gandeng pula “jago-jago” negosiasi meskipun dari swasta, minimal yang sudah sangat berpengalaman. Selain itu, para negosiator juga perlu wawasan yang luas akan potensi sumber-sumber daya kita yang akan dijadikan sebagai modal “bargaining power”.

Semoga GSP kita tetap dipertahankan oleh AS, sehingga tidak menimbulkan goncangan terhadap perekonomian Indonesia yang sedang diambang krisis. Semoga! (www.watyutink.com)

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…