Ketahanan Pangan

Oleh: Nailul Huda

Peneliti INDEF

Perekonomian Indonesia yang ditopang oleh sektor pertanian, ternyata baru memberikan kontribusi sektor pertanian sebesar 13% dari total PDB Indonesia. Sementara serapan sektor pertanian terhadap tenaga kerja nasional masih berada sekitar 30%, sehingga tak heran jika sektor pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian nasional hingga kini. Tidak heran pemerintahan Jokowi begitu serius membangun sektor pertanin untuk melangkah lebih maju. 

Pembangunan bendungan, irigasi, bahkan pencetakan lahan pertanian baru menjadi program andalan pemerintahan Jokowi dengan tagline “Kedaulatan Pangan”. Tagline tersebut juga tercantum di program prioritas Nawacita. Salah satu jalan yang ditempuh pemerintahan Jokowi ini adalah meningkatnya anggaran untuk program kedaulatan pangan yang meningkat hingga 50 persen lebih dari 2014 ke 2017 yang dianggarkan di beberapa kementerian teknis terkait. 

Kenaikan anggaran ini menuntut ekspektasi yang tinggi di masyarakat di bidang pertanian. Belakangan ini Kementerian Pertanian sibuk berkampanye bahwa kinerja pertanian Indonesia meningkat. Salah satu buktinya adalah peringkat ketahanan Indonesia diklaim membaik di atas negara tetangga seperti Thailand, Vietnam, dan Filipina. Namun belakangan diketahui peringkat lebih baik dari Thailand dan Vietnam hanya untuk aspek ketersediaan. Sisanya seperti aspek kemampuan produksi, kualitas dan keamanan pangan masih di bawah Thailand dan Vietnam. 
Bahkan skor Indonesia jauh di bawah rata-rata negara yang disurvei Global Food Security Index (GFSI) 2017.

Memang salah satu yang patut diapresiasi adalah pembangunan infrastruktur pertanian yang memberikan nilai plus bagi sektor pertanian Indonesia di GFSI 2017. Namun pembangunan infrastuktur ini tidak serta merta langsung berpengaruh terhadap kedaulatan pangan Indonesia. Manfaat insfratruktur memang lama daripada pemberian bantuan langsung ke sektor pertanian. Sebenarnya permasalahan utama di sektor pertanian ini adalah permasalah di pendataan.
Permasalahan data memang masih menjadi permasalahan dasar yang utama pengadaan pangan, bukan hanya di komoditas beras saja. Hampir semua komoditas pangan seperti jagung, kedelai, dan lainnya, mempunyai masalah di pendataan yang tidak akurat dan tidak sinkron antar stakeholders.

Kementerian Pertanian mempunyai data sendiri yang menyebutkan stok pangan aman, namun di sisi lain, Kementerian Perdagangan mempunyai data stok pangan yang mengharuskan adanya impor untuk stabilisasi harga pangan. Kesimpangsiuran data ini yang menyebabkan kedaulatan pangan belum tercapai hingga sekarang.

Salah satu kasus kekacauan data ada di komoditas jagung. Dengan produksi mencapai 23 juta ton pada tahun 2016, pemerintah menyakini dapat memasok jagung untuk semua kalangan termasuk industri non pakan. Pada sisi lain, ada data dari United State Depertment of Agriculture (USDA) yang menyebutkan bahwa produksi jagung Indonesia hanya mencapai 10-11 juta ton. Sedikitnya pasokan ini dapat menjelaskan mengapa harga di tingkat konsumen relatif meningkat sepanjang tahun. Logikanya jika data pemerintah mengatakan ada surplus jagung di tahun 2017 (produksi jagung dikurang kebutuhan jagung pada tahun 2017) mencapai 3-5 juta ton, harga jagung di tingkat produsen akan relatif landai. Namun kenyataannya, data menunjukkan peningkatan harga jagung relatif tinggi. Padahal jagung ini merupakan bahan baku untuk industri pangan lainnya seperti daging ayam. Kenaikan harga jagung biasanya akan dibarengi oleh kenaikan harga daging ayam dan telur ayam.

Permasalahan data ini pula yang menjadi polemik saat ini dimana keputusan impor beras oleh pemerintah melalui Kementerian Perdagangan menjadi kontroversi di masyarakat. Kementerian Perdagangan bersikukuh impor diperlukan untuk menekan harga beras di tingkat konsumen yang masih tinggi sejak awal tahun ini. Padahal beras ini merupakan salah satu penyumbang inflasi terbesar, maka permasalahan data seperti ini seharusnya bisa diminimalkan.
Masih adanya daerah yang rawan pangan merupakan dampak dari adanya permasalahan di pendataan kebutuhan dan produksi pangan. 

Pemerintah saat ini wajib untuk menvalidasi data kebutuhan dan produksi pangan terlebih dahulu sebelum mengeluarkan kebijakan sehingga tujuan kedaulatan pangan yang tercantum di Nawacita pemerintahan Jokowi.

BERITA TERKAIT

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis.…

BERITA LAINNYA DI

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis.…