Tantangan Kesejahteraan Sosial

 

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi., Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

Tantangan pemenang pilkada serentak kemarin adalah membangun kesejahteraan sosial di daerah, bukannya justru berpikir bagaimana secepatnya balik modal. Argumen yang mendasari karena perkotaan masih berkutat dengan ancaman migrasi, baik arus mudik dan balik pasca lebaran. Jakarta dan daerah penyangganya tidak bisa berkutik dengan masuknya arus balik dan persoalan tentang sosial akan menjadi ancaman serius. Hal ini harus diwaspadai, terutama dikaitkan dengan dampak sosial-ekonomi-politik, apalagi ada pilpres 2019. Artinya, persoalan migrasi tidak bisa terlepas dari akutnya ancaman kesejahteraan sosial, terutama di perdesaan. Betapa tidak, kesejahteraan sosial sangat lekat dengan pengangguran dan kemiskinan, termasuk juga fakta ketimpangan antar daerah. Padahal, 80 persen hasil dari pembangunan masih berkutat di Jawa. Jadi wajar jika pilkada di Jawa sangat strategis secara ekonomi – politik.

Fakta ketimpangan, kemiskinan dan pengangguran yang bermuara terhadap persoalan kesejahteraan maka logis jika era pemerintahan Jokowi memfokuskan kepada kebijakan pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu, tantangan membangu daerah pasca pilkada kian berat, terutama dalam konteks peningkatan kesejahteraan sosial. Argumen yang mendasari yaitu kasus gizi buruk Suku Asmat, Papua dan harga beras yang melambung sehingga memicu sentimen terhadap kesejahteraan karena ketersediaan pangan yang mudah - murah oleh rakyat. Hal ini menjadi signal negatif terhadap pelaksanaan tahun politik, apalagi isu beras bisa menjadi isu pilpres 2019. Bahkan, kasus migrasi melalui arus mudik dan balik juga bisa diidentifikasi sebagai ancaman bagi pembangunan sosial di era Jokowi. Isu kesejahteraan sosial bisa menjadi ancaman bagi elektabilitas Jokowi.

Masalah Kompleks

Tidak bisa dipungkiri bahwa persoalan pembangunan masih berkutat dengan masalah kemiskinan dan kesenjangan. Jadi, beralasan jika laporan Pembangunan Manusia Tahun 2016 yang disampaikan UNDP Maret 2017 lalu menempatkan posisi Indonesia diurutan 113 dari 188 negara. Laporan ini sekaligus menegaskan kurun 25 tahun pembangunan periode 1990 - 2015 prestasi pembangunan berkembang signifikan, meskipun di sisi lain masih ada ketimpangan. Indikator capaian itu misalnya terlihat dari pendapatan nasional bruto naik 135,4 persen, angka harapan hidup naik 5,8 tahun, dan kondisi kesenjangan relatif lebih baik dibandingkan kawasan Asia Pasifik yaitu turun 19,3 persen. Hal ini secara tidak langsung menegaskan urgensi pemerataan pembangunan untuk mereduksi kesenjangan agar ke depan pembangunan memberikan kemanfaatan bagi semua. Artinya kebijakan pemerintah melalui dana desa diharapkan bisa mereduksi ketimpangan dengan mengacu pembangunan bersumber kepentingan di daerah karena desa menggunakan dananya untuk pembangunan yang bersumber kepada kepentingannya masing-masing.

Alokasi dana desa juga tidak bisa lepas dari semangat era otda. Ironisnya, era otda juga dikebiri dengan maraknya pemekaran yang lebih bermuatan politi. Asumsi ini mengebiri otda yang diharapkan dapat meningkatkan ekonomi di daerah. Otda tidak berpengaruh signifikan bagi kesejahteraan dan ini terlihat dari semakin banyaknya daerah tertinggal, kemiskinan dan ketimpangan seperti laporan UNDP bertajuk ‘Pembangunan Manusia Untuk Semua’. Data Bappenas daerah tertinggal ada 127 kabupaten dengan rincian: Papua 35 kabupaten, Nusa Tenggara 25 kabupaten, Maluku dan Sumatra masing-masing 14 kabupaten, Sulawesi 12 kabupaten, Kalimantan 11 kabupaten, dan Jawa 8 kabupaten. Ironisnya fakta di wilayah timur Indonesia masih dominan yaitu 105 kabupaten yang termasuk daerah tertinggal. Hal ini memperkuat argumen tentang fakta ketimpangan dari laporan terbaru UNDP tersebut. Data juga ini menjadi tantangan Kepala daerah yang menang pilkada dan fakta tingginya arus balik pasca lebaran adalah bukti konkret terkait kesejahteraan sosial.

Fakta ketimpangan tersebut menjadi tantangan pembangunan dan keterbatasan anggaran menjadi klasik. Oleh karena itu, kerjasama bilateral dalam pendanaan pembangunan di daerah terpencil menjadi salah satu acuan untuk mereduksi ketimpangan. Paling tidak, hal ini terkait juga dengan pembangunan infrastruktur. Artinya, komitmen bilateral dari Jepang terhadap rencana pembangunan infrastruktur dan daerah terpencil merupakan komitmen yang bernilai strategis. Padahal, daerah terpencil selalu identik dengan daerah tertinggal dengan akumulasi jumlah penduduk miskin relatif tinggi, selain pengangguran yang mayoritas didominasi kelompok berpendidikan rendah. Intinya, pelaksanaan otda selama ini belum menunjukan hasil signifikan, meski marak adanya pemekaran daerah. Ironisnya, era otda justru diwarnai dengan maraknya korupsi oleh kepala daerah. Jadi, para pemenang pilkada jangan berpikir untuk secepatnya balik modal dengan korupsi.

Kepentingan Daerah

Harapan pemekaran daerah tidak lain untuk memacu potensi ekonomi di daerah yang mengacu sumber daya lokal dan kearifan lokal sehingga mampu memberdayakan semua potensi di daerah. Selain itu, urgensi dari optimalisasi potensi sumber daya lokal adalah untuk menciptakan produk unggulan di setiap daerah sehingga implikasinya tidak hanya memacu geliat ekonomi di daerah, termasuk dengan optimalisasi industri kreatifnya, tapi juga pengaruhnya terhadap penyerapan tenaga kerja dan bangkitnya ekonomi kerakyatan dengan kontribusi terhadap penerimaan daerah. Ironisnya, pemekaran yang telah terjadi selama ini cenderung mengabaikan potensi ekonomi daerah karena lebih banyak terkait dengan kepentingan politik sehingga daerah baru hasil pemekaran tidak berkembang secara signifikan sementara daerah induk dari pemekarannya cenderung melambat dan hal ini memicu ancaman kesenjangan, ketimpangan dan migrasi ke perkotaan. Artinya, kondisi kesejahteraan di daerah terkait dengan pemerataan pembangunan dan jika hal ini berhasil maka akan mereduksi migrasi dan meningkatkan kesejahteraan di daerah.

Problem kemiskinan - kesenjangan memang menjadi isu mayoritas negara berkembang. Pemerintah memang meningkatkan anggaran untuk mereduksi kemiskinan dan fakta penurunannya memang terjadi, meski sejak tahun 2007 terjadi perlambatan penurunan kemiskinan. Ironisnya, anggaran APBN cenderung naik, termasuk dana desa yang pada 2015 sebesar Rp.20,8 triliun, tahun 2016 menjadi Rp.47 triliun, di tahun 2017 dan 2018 sama Rp.60 triliun sedangkan pada tahun 2019 pemerintah menetapkan Rp.85 triliun atau naik Rp.25 triliun dibanding tahun 2018. Oleh karena itu, para pemenang pilkada berkepentingan meningkatkan kesejahteraan, mereduksi kemiskinan dan ketimpangan agar migrasi melalui arus balik tidak menjadi beban bagi perkotaan.

 

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…