Pelemahan Rupiah Sinyal Adanya Risiko

Oleh: Sarwani 

Sebelum rupiah terpuruk ke posisi Rp17.000 per dolar AS pada awal tahun 1998 dan dilanjutkan dengan kejatuhan Soeharto, Bank Dunia merilis laporan yang sangat mencengangkan: The East Asia Miracle, Economic Growth and Public Policy (Keajaiban Asia Timur: Pertumbuhan Ekonomi dan Kebijakan Publik).

Laporan ini mengkaji kebijakan publik dari 8 ekonomi Asia berkinerja tinggi (high-performing Asian economies/HPAEs) dari 1965 hingga 1990. Kajian ini mengungkapkan peran kebijakan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang dramatis, peningkatan kesejahteraan, dan distribusi pendapatan yang lebih adil di Indonesia. Kawasan ekonomi lain yang juga disorot dalam laporan ini adalah Hong Kong, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, Taiwan, dan Thailand.

Pujian terhadap keajaiban Indonesia tidak berhenti pada Bank Dunia. Wartawan senior Australia Greg Sheridan mengakui keberhasilan pembangunan oleh Soeharto dan beberapa kepala negara dan pemerintahan di Asia Pasifik. Redaktur Luar Negeri pada Harian Australian itu menuliskannya dalam sebuah buku: Tigers, Leaders of The New Asia Pasific. Bak macan yang ditakuti seantero hutan, Soeharto dengan kepemimpinan yang tenang dan kharismatik mampu membawa Indonesia ke satu titik kemakmuran baru. Dalam kepemimpinan yang kuat nyaris tidak ada keraguan pada kemungkinan ambruknya ekonomi. Apalagi melihat laporan Bank Dunia yang begitu mengagumi kehebatan ekonomi Indonesia.

Berpikir bahwa ekonomi kuat dan terdorong oleh tren globalisasi yang saat itu marak, Indonesia pun membuka diri. Semula ketat dalam urusan arus keluar masuk modal asing, pemerintah mulai membebaskan arus modal (capital flow), namun masih menganut kebijakan nilai tukar yang tidak fleksibel. Tidak ada sinkronisas antara kurs dan arus modal memunculkan spekulasi yang membuat rupiah jeblok hingga Rp17.000 per dolar AS, menghantam necara pembayaran, berlanjut ke krisis multidimensi. Soeharto pun tak lagi menjadi ‘macan’, ‘kucing’ pun tidak.

Kehancuran rupiah membuka borok-borok yang selama itu mungkin ditutupi. Stok utang luar negeri swasta sangat besar dan bersifat jangka pendek, penyaluran kredit sarat dengan moral hazard, arah perubahan politik yang tidak jelas, dan gejolak sosial. Belajar dari krisis 1998 Indonesia berbenah. Bank Indonesia memberlakukan nilai tukar lebih fleksibel. Di samping itu, capital inflow, neraca keuangan korporasi, pemerintah hingga Bank Sentral dimonitor. Politik pun berubah, presiden dipilih secara langsung sebagai perwujudan demokrasi dan menjamin adanya kepastian dalam kekuasaan negara.

Sayangnya Indonesia kembali dihantam krisis pada tahun 2008 walau tidak sehebat tahun 1998. Penyebabnya adalah produk derivatif. Produk berupa surat kontrak ini memenuhi portofolio lembaga keuangan dan tidak terdeteksi. Sepintas neraca terlihat sehat tetapi banyak risiko yang tersembunyi.

Bahaya apa yang mungkin dihadapi Indonesia ke depan? Ketergantungan kepada modal asing jadi risiko yang mengintip setiap saat. Indonesia tidak memiliki posisi tawar yang kuat sehingga cenderung mengikuti permainan pelaku pasar global yang meminta bunga atau imbal hasil lebih tinggi jika ingin dana mereka tetap di Tanah Air. Jika tidak, Indonesia harus siap kekurangan likuiditas yang menjadi darah ekonomi.

Risiko juga muncul dari kehadiran teknologi digital. Melalui teknologi ini perusahaan raksasa seperti Google, Facebook, Instagram dan lain-lain masuk ke Tanah Air tanpa harus membuka kantor cabang. Mereka mengeruk pendapatan iklan tanpa harus membayar pajak. Belum lagi e-commerce yang tumbuh subur bak jamur di musim hujan menjadi perpanjangan tangan perusahaan IT global, beroperasi mematikan ritel-ritel lokal.

Yang juga tidak kalah penting untuk dicermati adalah merebaknya cryptocurrency. Cryptocurrency dijadikan ajang investasi melalui apa yang mereka sebut mining. Mereka mempunyai aturan sendiri dalam investasi tetapi tidak ada underlying asset sebagai basisnya. Bukan tidak mungkin ini akan menjadi economic bubble -- perdagangan dalam volume besar dengan harga yang sangat berbeda dengan nilai intrinsiknya – yang siap pecah setiap saat.

Setiap krisis mempunyai pintu masuknya sendiri dan berbeda-beda. Pujian Bank Dunia, lembaga internasional, atau siapapun tentang ekonomi Indonesia tidak dapat menghapus ketidakberesan atau  risiko yang bersembunyi di dalamnya. Apapun itu, pelemahan rupiah bisa menjadi sinyal bagi kita untuk waspada terhadap risiko yang tidak terdeteksi yang bisa menimbulkan krisis. Semoga pelemahan rupiah belakangan ini bukan karena itu. (www.watyutink.com)

BERITA TERKAIT

Jaga Stabilitas Keamanan untuk Dukung Percepatan Pembangunan Papua

    Oleh: Maria Tabuni, Mahasiswa Papua tinggal di Bali   Aparat keamanan tidak pernah mengenal kata lelah untuk terus…

Konsep Megalopolitan di Jabodetabek, Layu Sebelum Berkembang

Pada saat ini, kota-kota Indonesia belum bisa memberikan tanda-tanda positif mengenai kemunculan peradaban kota yang tangguh di masa datang. Suram…

Pasca Pemilu Wujudkan Bangsa Maju Bersatu Bersama

    Oleh: Habib Munawarman,Pemerhati Sosial Budaya   Persatuan dan kesatuan antar masyarakat di Indonesia pasca pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu)…

BERITA LAINNYA DI Opini

Jaga Stabilitas Keamanan untuk Dukung Percepatan Pembangunan Papua

    Oleh: Maria Tabuni, Mahasiswa Papua tinggal di Bali   Aparat keamanan tidak pernah mengenal kata lelah untuk terus…

Konsep Megalopolitan di Jabodetabek, Layu Sebelum Berkembang

Pada saat ini, kota-kota Indonesia belum bisa memberikan tanda-tanda positif mengenai kemunculan peradaban kota yang tangguh di masa datang. Suram…

Pasca Pemilu Wujudkan Bangsa Maju Bersatu Bersama

    Oleh: Habib Munawarman,Pemerhati Sosial Budaya   Persatuan dan kesatuan antar masyarakat di Indonesia pasca pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu)…