Mengapa Migrasi ?

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi., Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

Jakarta dan juga sejumlah perkotaan lainnya adalah perkotaan yang rutin dibuat pusing dengan realitas arus balik pasca lebaran karena jumlah pemudik dibanding pendatang selalu lebih banyak pendatangnya dan tahun ini diprediksi lebih dari 500.000 termasuk di daerah penyangga yaitu Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Gubernur terpilih DKI Jakarta, Anies Baswedan tegas menghimbau agar para pendatang memiliki ketrampilan sebelum ke Jakarta. Terkait realitas ini memang tidak ada kemampuan bagi perkotaan menolak para pendatang karena mereka juga berhak mencari kehidupan yang lebih baik sementara di daerah asalnya kurang memiliki potensi berkembang. Migrasi menjadi pilihan merubah nasib dan tentu ada konsekuensi yang tidak bisa diabaikan, baik bagi daerah asal atau daerah tujuan migrasi itu sendiri.

Ironi dibalik tingginya arus balik sejatinya juga tidak bisa terlepas dari gagalnya otda dalam membangun perekonomian di daerah. Sejatinya pelaksanaan otda yang didukung dengan alokasi dana desa memacu geliat ekonomi di daerah. Argumen yang mendasari karena dana desa meningkat tiap tahun pada 2015 Rp.20,8 triliun, tahun 2016 menjadi Rp.47 triliun dan tahun 2017 dan 2018 sama Rp.60 triliun sedangkan pada tahun 2019 akan naik menjadi Rp.85 triliun. Artinya, kesalahan dalam manajemen otda secara tidak langsung menjadi ancaman terhadap keberhasilan pembangunan berkelanjutan sehingga arus balik selalu lebih tinggi dibanding arus mudik dan tentu perkotaan seperti Jakarta serta daerah penyangga tidak bisa mengelak dari ancaman tingginya arus balik.

Problem Serius

Jika dicermati, pada dasarnya ada dua tipe pendatang yang melakukan migrasi nasional pasca lebaran, yaitu pertama: mereka yang direkrut oleh pendatang sebelumnya, baik itu saudara atau orang yang mereka kenal di daerah asal. Jumlah dari kelompok ini ternyata lebih dominan dengan pertimbangan calon pendatang merasa lebih yakin jika dibanding mereka datang langsung ke daerah tujuan tanpa mendapatkan pengetahun kepada siapa nanti akan tinggal atau mencari info pekerjaan di daerah tujuan.

Oleh karena itu, sedari dini sebenarnya kelompok ini mudah didata oleh pihak-pihak yang berkepentingan misal terkait dengan pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman. Memang tidak bisa disalahkan untuk kasus yang ini karena sejatinya juga ada sinergi yang menguntungkan bagi kedua pihak, yaitu antara yang butuh tenaga dan juga yang butuh pekerjaan. Meski demikian, bukan tidak mungkin untuk kasus ini akhirnya muncul juga predikat sebagai daerah migran karena mayoritas warganya merantau ke perkotaan demi perbaikan hidup.

Selain itu, mereka yang merekrut saudara atau orang di daerah biasanya juga mendapat gambaran terlebih dahulu terhadap pekerjaan yang mungkin ada, misalnya memang ada lowongan dari tempat mereka bekerja atau mereka memerlukan tambahan tenaga untuk usaha yang mereka lakukan (menjadi wirausaha di perkotaan). Artinya, daripada mereka merekrut orang luar, maka lebih baik merekrut saudara sendiri atau orang dari daerah asalnya dan hal ini pada akhirnya akan menciptakan iklim kekerabatan di daerah tujuan. Implikasi dari kasus ini ketika mudik lebaran maka daerahnya menjadi rame sementara saat arus balik maka daerahnya kembali menjadi sunyi karena ditinggal merantau semua

Tipe yang kedua adalah para pendatang yang nekat ke daerah tujuan tanpa ada satupun saudara yang telah mereka kenal sebelumnya. Tipe ini biasanya bermodal nekat karena berbekal uang dan kemampuan yang terbatas sehingga ketika bekal mereka habis maka untuk sementara mungkin mereka menggelandang sambil terus mencari potensi usaha – pekerjaan yang bisa dilakukan. Jika potensi itu semakin sulit didapat maka tentunya bisa memicu kerawanan dan kriminalitas. Oleh karena itu, konflik sosial antara pendatang vs penduduk asli di suatu daerah perantauan memang tinggi dan rentan tersulut konflik.

Tipe yang kedua juga biasanya memiliki niat dari daerah asal untuk menjadi PKL atau bergerak di sektor informal. Artinya, pilihan untuk menjadi PKL atau bergerak di sektor informal adalah pekerjaan yang paling memungkinkan untuk mereka lakukan sehingga ketika sampai di daerah perantauan mereka mencari lokasi yang strategis. Persoalan dari tipe ini adalah lokasi-lokasi strategis itu biasanya di daerah bisnis sehingga ketika lapak-lapak mereka didirikan maka potensi untuk menciptakan kekumuhan dan kemacetan tak bisa dihindari. Artinya ini juga menjadi potensi baru terhadap perkotaan. Oleh karena itu bagi Jakarta dan perkotaan tentu ini menjadi persoalan yang sangat serius untuk dikaji agar Jakarta dan perkotaan tidak lagi dibebani oleh persoalan sosial, termasuk ancaman konflik antara PKL vs pemprov - pemkab - pemkot.

Pendatang pasca lebaran, utamanya yang termasuk tipe kedua menjadi persoalan serius karena jumlah PKL dan sektor informal di Jakarta dan perkotaan kian meningkat setiap tahun. Data Pemprov DKI Jakarta jumlah PKL dan sektor informal mencapai 30 persen dari total pekerja di Jakarta. Realitas ini menjadi problem yang pelik karena tidak hanya menyangkut penataan perkotaan, tapi juga terkait hajat hidup dan problem perumahan – permukiman bagi para pendatang. Salah Satu upaya penataan PKL adalah relokasi dan acuan relokasi yang tepat tidak hanya butuh tempat strategis tetapi juga orientasi untuk mampu menciptakan zero growth bagi PKL.

Tidak mudah menciptakan zero growth, tapi harus dilakukan jika ingin perkotaan terlihat lebih manusiawi. Di satu sisi, program zero growth harus dibarengi kemampuan perkotaan menciptakan lapangan kerja untuk menyerap sebanyak mungkin pekerja. Di sisi lain, daya serap tentu juga harus dibarengi upah layak sebagai jaminan standar hidup. Artinya, hal ini juga terkait penetapan UMR yang melibatkan sejumlah pihak, yaitu dari sektor dunia usaha, pemerintah daerah dan perwakilan dari buruh. Terjadinya gejolak buruh setiap tahun secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap investasi dan tentunya juga meresahkan dunia usaha.

 

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…