Rente Ekonomi Akut?

Kinerja Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita belakangan sering disorot publik. Pasalnya, telah meloloskan kebijakan impor berbagai produk pertanian, mulai dari beras, kedelai, jagung, raw sugar, cabai, bawang putih, bawang merah, jeruk,  dan sayuran. Bahkan dalam empat bulan terakhir tepung dan garam mulai langka di sejumlah daerah, isyarat bakal ada  kebijakan impor lagi untuk tepung dan garam.

Bahkan, belakangan pemerintah juga sudah mengambil kebijakan paling parah sepanjang sejarah, yakni akan mengimpor tenaga kerja asing (TKA) hingga tenaga dosen. Pemerintahan ini benar-benar telah menjadikan ideologi impor dalam pemenuhan kebutuhan nasional, sebuah kebijakan yang sama sekali tidak kreatif.

Meski julukan sebagai negara agraris telah cukup lama disematkan kepada Indonesia, faktanya sampai saat ini berbagai kebutuhan pangan masyarakat masih ‘perlu’ didatangkan dari luar negeri alias impor. Persoalannya, ketergantungan impor kiat bergeser ke pemenuhan kebtuhan pangan pokok.

Tidak hanya sekadar lonjakan impor gandum yang notabene memang tidak mampu diproduksi di iklim tropis. Namun mulai dari impor gula, kedelai, bawang putih, daging, beras dan lainnya mengalami peningkatan.  Bahkan bahan baku industri makanan pun lebih dari 60% harus dipenuhi dari impor.

Sekalipun sampai akhir 2017 neraca perdagangan sektor pertanian masih mencatat surplus, namun hanya karena berkah sektor perkebunan yang surplus mencapai US$26,7 miliar. Sementara neraca perdagangan tanaman pangan defisit sebesar US$6,23 miliar, hortikultura defisit US$1,79 miliar dan peternakan defisit US$2,74 miliar.

Artinya, sektor pangan bukannya semakin menuju pada kemandirian, justru semakin menyandarkan kecukupan pasokan pangan dari impor. Upaya menjaga stabilitas harga panganlebih didominasi kebijakan importasi, dibandingkan implementasi strategi pembangunan pertanian menuju bangsa mandiri pangan. Nah, bila kebijakan impor pangan ini tidak bisa diminimalkan, entah kapan cita-cita kemandirian pangan bisa direalisasikan.

Menurut Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, julukan negara agraris yang disematkan pada Indonesia, kontradiksi dengan fakta bahwa Indonesia adalah bangsa yang sudah terjebak siklus impor pangan. Apalagi, proses impor yang berlangsung penuh dengan ketidakjelasan, bahkan adanya berbagai penyimpangan.

Ini sejalan dengan sembilan temuan BPK terkait pengelolaan tata niaga impor pangan secara gamblang menggambarkan rendahnya validitas data pangan, minim koordinasi dan integrasi data lintas kementerian. Juga ketidakpatuhan terhadap prosedur SOP ( standard operational procedure) dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Dipicu oleh carut-marut data pangan dan disparitas harga internasional versus lokal yang menggiurkan, membuat pemburu rente merajalela dan memanfaatkan berbagai celah yang ada. Pangan menjadi penyumbang besar pembentukan inflasi, sehingga stabilitasnya wajib dijaga. Kenaikan harga pangan akan dengan mudah melemparkan keluarga hampir miskin menjadi rumah tangga miskin,” ujar Enny.

Karena itu, menjelang puasa dan lebaran, stabilisasi harga pangan mutlak diperlukan. Jamak diketahui bahwa lonjakan harga pangan selalu menjadi ritual tahunan, terutama pada momentum puasa atau hari raya keagamaan.  Apabila operasi pasar sekedar program dan proyek, dapat dipastikan, fenomena liarnya harga pada saat hari raya, tidak akan terelakkan. Instrumen operasi pasar efektif jika mampu mempengaruhi dominasi kepemilikan pasokan dan memperbaiki struktur pasar yang tidak sehat. Artinya diperlukan penguasaan cadangan yang memadai.

Dengan kebijakan pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) beras sebesar Rp9.000, maka ada marjin sebesar Rp3.000 per kg impor beras. Kalau pemerintah merealisasikan impor 500.000 ton beras, maka bisa dihitung berapa marjin dari perburuan rente pada impor beras. Yakni sekitar Rp1,5 triliun. Sebelumnya mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli mengungkapkan ada fee impor beras antara US$20 hingga US$30 per ton. Jika kita impor 500.000 ton, maka fee atas impor beras tersebut mencapai Rp265,50 miliar. Lalu siapakah yang menikmati?

BERITA TERKAIT

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…