Waspada Kecurangan Pilkada

Pelaksanaan Pilkada serentak 2018 yang berlangsung di 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten se-Indonesia kemarin (27/6) berlangsung aman dan kondusif. Meski demikian, dalam proses selanjutnya pengamanan kotak suara hingga pada perhitungan suara final, pemerintah tetap mengantisipasi kemungkinan kecurangan yang melibatkan aparat pelaksana di tingkat Kecamatan hingga KPU Pusat.

Sebelumnya Polri telah mengidentifikasi sejumlah kecurangan yang kemungkinan terjadi, baik menjelang pencoblosan, saat pencoblosan atau bahkan selama proses rekapitulasi. Biasanya tindak pelanggaran kecurangan melibatkan aparat Pemerintahan Desa, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan struktur penyelenggaran Pemilu ditingkat KPPS dan PPS yang dapat dikualifikasi terstruktur, sistematis dan masif.

Setidaknya ada enam hal kecurangan yang diwaspadai pada Pilkada serentak 2018. Kecurangan pertama, adanya intimidasi seperti membuat pemilih takut untuk memilih, tidak mau datang ke TPS. Kedua, distruption yaitu menimbulkan gangguan-gangguan sehingga menciptakan situasi tidak kondusif saat pemungutan suara.

Ketiga, adanya misinformation dengan cara menyebarkan informasi yang tidak benar kepada masyarakat. Keempat, registration fraud yaitu memanipulasi data sehingga pemilih tidak memiliki hak untuk memilih. Kelima, praktik vote buying atau membeli suara seperti ‘serangan fajar’. Dan kecurangan terakhir, adalah menyebarkan ujaran kebencian (hate speech) melalui medsos.

Modus pertama politik uang melalui vote buying atau istilahnya ‘serangan fajar’ ini merupakan praktik memberikan uang atau manfaat lainnya kepada pemilih untuk mendukung kandidat tertentu atau kepada penyelenggara pemilihan sebagai insentif untuk memanipulasi hasil pemilu. Kondisi ini dipastikan bahwa keputusan yang diambil pemilih tidak lagi berdasarkan baik tidaknya keputusan tersebut bagi orang lain tetapi keuntungan yang didapat dari keputusan tersebut.

Dalam aturan tersebut dengan jelas larangan jual beli suara dalam pemilihan. Bahkan tidak hanya memberi uang/barang, kandidat, tim kampanye, dan penyelenggara dilarang memberi janji dalam rangka mempengaruhi pemilih.

Dalam UU No 10 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU Pasal 73 ayat 1 ditegaskan bahwa Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau pemilih.

Adapun sanksi bagi yang melakukan praktik politik uang bisa dilihat di dalam Pasal 187A, 187B, dan Pasal 187C  yakni pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.0000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Modus kedua adalah, melakukan mark up atau penggelembungan jumlah pemilih yang tercantum dalam DPT (daftar pemilih tetap). Kekacauan DPT semakin mengkhawatirkan banyak pihak. Sebab, hak warga negara bisa hilang. Permasalahan DPT selalu dianggap sebagai salah satu sumber kecurangan.

Upaya tidak terpuji itu dilakukan secara sistematis. Caranya data DPT dimanipulasi seperti memainkan nomor induk kependudukan (NIK), memanfaatkan data penduduk yang amburadul di beberapa wilayah.

Manipulasi data kependudukan dilakukan dengan menggunakan software yang bekerja merancang program, yaitu hanya dengan mengubah tahun kelahiran, maka penggandaan data pemilih akan terjadi secara otomatis dan langsung terdistribusi secara acak dengan nomor urut dan tempat pemungutan suara (TPS).

Dugaan kecurangan lain juga dilakukan dengan pencetakan model C6 (undangan memilih) secara sepihak dengan maksud untuk digunakan orang-orang yang sudah dipersiapkan sebagai pemilih fiktif dengan memanfaatkan data ganda dalam DPT. Biasanya pemilih yang tidak terdaftar di DPT biasanya menjadi enggan untuk datang ke TPS meski mereka tetap bisa datang ke TPS dengan menggunakan KTP elektronik atau surat keterangan.

Modus ketiga identitas ganda. Adanya identitas ganda terjadi karena kesalahan pada saat perekaman data perubahan identitas menjadi KTP elektronik (e-KTP). Hal ini rentan dengan banyaknya ditemukan suara siluman yang bertujuan untuk menggelembungkan suara dari calon kandidat tertentu. Belum lama ini ditemukan ribuan e-KTP tercecer di Bogor. Sebanyak 805 ribu e-KTP yang rusak dan invalid tersebut rupanya dikeluarkan pada tahun 2010-2014 dan diproduksi oleh pusat.

Modus keempat manipulasi rekapitulasi hasil suara. Di sinilah potensi terbesar kecurangan. Kebanyakan manipulasi rekapitulasi hasil suara dilakukan di penyelenggara tingkat bawah, yakni panitia pemilihan suara (PPS) yang berada di desa atau kelurahan dan panitia pemilihan kecamatan (PPK). Adanya potensi intervensi oleh orang tertentu dan oknum penguasa daerah sangatlah tinggi. Waspadalah KPU!

BERITA TERKAIT

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…