PENYEBAB DEFISIT PERDAGANGAN INDONESIA: - Besarnya Impor Bahan Baku Produksi

Jakarta-Meningkatnya impor utamanya untuk sektor produksi dalam dua bulan terakhir menjadi penyebab masih tingginya defisit perdagangan Indonesia.  "Makanya kami terus genjot ekspor dan turisme, jadi pertumbuhan ekonomi terjaga. Tapi neraca perdagangan, defisitnya tidak naik," ujar Menkeu Sri Mulyani Indrawati pada acara halal bihalal di Jakarta, awal pekan ini.

NERACA

Menurut Sri Mulyani, karena impor yang besar dari bahan baku, maka hasilnya tidak bisa cepat. Untuk itu, pemerintah terus mendorong ekspor utamanya jasa. "Karena mengubah bahan baku itu tidak bisa cepat. Jadi yang bisa cepat adalah ekspor dan pembiayaan," ujarnya.

Bank Indonesia (BI) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2018 defisit US$1,52 miliar, lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya (April) yang tercatat US$1,63 miliar. Perbaikan tersebut didorong oleh penurunan defisit neraca perdagangan nonmigas yang lebih besar dibandingkan peningkatan defisit neraca perdagangan migas. Dengan perkembangan tersebut, secara kumulatif sepanjang Januari-Mei 2018, neraca perdagangan Indonesia mencatat defisit US$2,83 miliar

Direktur BI Harbonas Hutabarat memandang bahwa defisit neraca perdagangan tidak akan kembali terjadi. Sebab, pihaknya akan terus meningkatkan perkembangan dari kebijakan perekonomian Indonesia.

"Bank Indonesia memandang defisit neraca perdagangan tersebut tidak terlepas dari peningkatan kegiatan produksi dan investasi sejalan dengan membaiknya prospek perekonomian domestik, serta pengaruh kenaikan harga barang impor. Ke depan, kinerja neraca perdagangan diperkirakan membaik seiring berlanjutnya pemulihan ekonomi dunia dan harga komoditas global yang tetap tinggi. Perkembangan tersebut akan mendukung perbaikan prospek pertumbuhan ekonomi dan kinerja transaksi berjalan," ujarnya  di Jakarta, Senin (25/6).

Seperti diketahui, neraca perdagangan nonmigas pada Mei 2018 mencatat penurunan defisit menjadi US$0,28 miliar dari bulan sebelumnya yang tercatat defisit US$0,52 miliar. Perbaikan defisit neraca perdagangan nonmigas terutama terjadi karena naiknya ekspor nonmigas.

Ekspor nonmigas pada Mei 2018 meningkat US$1,23 miliar (mtm), terutama didorong kenaikan ekspor mesin dan peralatan listrik, bijih, kerak, dan abu logam, besi dan baja, barang-barang rajutan, dan timah.

Sementara itu, peningkatan impor nonmigas tersebut dipengaruhi oleh kegiatan produksi dan investasi yang tetap kuat. Secara kumulatif Januari-Mei 2018, neraca perdagangan nonmigas masih mencatat surplus yakni US$2,20 miliar. Sedangkan, defisit neraca perdagangan migas meningkat seiring meningkatnya impor yang melebihi kenaikan ekspor.

Defisit neraca perdagangan migas pada Mei 2018 tercatat US$1,24 miliar, naik dari US$1,11 miliar pada April 2018. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh kenaikan impor US$0,49 miliar (mtm) pada Mei 2018, didorong oleh impor minyak mentah, hasil minyak, dan gas, yang lebih tinggi dari peningkatan ekspor migas sebesar US$0,35 miliar (mtm).

Secara kumulatif Januari-Mei 2018, neraca perdagangan migas mengalami defisit US$ 5,03 miliar lebih tinggi dari defisit pada periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai US$3,68 miliar.

Sementara itu, impor nonmigas naik US$ 0,99 miliar (mtm) terutama karena meningkatnya impor mesin dan peralatan mekanik, mesin dan peralatan listrik, serealia, gula dan kembang gula, serta kapal laut dan bangunan terapung. 

Sejak 2005 hingga 2011, kinerja ekspor Indonesia sebenarnya memang menunjukkan tren yang meningkat. Puncaknya terjadi pada 2011, saat nilai ekspor Indonesia mencapai US$203,5 miliar. Sejak itu, nilai ekspor Indonesia mengalami tren penurunan.

Begitu pula dengan nilai impor yang sempat mengalami tren kenaikan hingga mencapai puncaknya pada 2012 di posisi US$191,69 miliar. Setelah itu, nilai impor Indonesia berada dalam tren yang menurun.

Dari data ekspor impor tersebut, yang patut dicermati adalah posisi neraca perdagangan. Neraca perdagangan merupakan nilai ekspor dikurangi nilai impor. Hasilnya, dapat menunjukkan kontribusi langsung dari aktivitas perdagangan bagi pendapatan nasional.

Patut diketahui, sejak 2005 hingga 2016, neraca perdagangan Indonesia pernah menunjukkan nilai negatif atau yang biasa disebut dengan defisit perdagangan. Kejadian ini terjadi selama tiga tahun berturut-turut, yaitu 2012 hingga 2014. Pada 2012, defisit neraca perdagangan mencapai US$1,66 miliar. Defisit perdagangan ini meningkat menjadi US$2,2 miliar pada 2014. Indonesia baru mencatat surplus perdagangan lagi pada 2015.

Defisit neraca perdagangan ini disebabkan oleh menurunnya nilai ekspor beberapa komoditas utama. Pada 2012, misalnya, ekspor komoditas minyak dan gas hanya mampu mencapai US$ 36,97 miliar, menurun US$ 4,5 miliar dari tahun sebelumnya. Selain itu, melonjaknya nilai impor, khususnya untuk barang konsumsi dan bahan baku serta barang modal juga memberikan tekanan pada neraca perdagangan.

Sejak 2005 hingga 2011, neraca perdagangan berkontribusi positif pada PDB Indonesia. Pada 2005, kontribusinya sebesar 9,91%, dan menurun menjadi 9,45% pada 2007. Kontribusi perdagangan semakin melemah pada 2008, menjadi 1,73% sehingga ini berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada tahun tersebut, pertumbuhan ekonomi tercatat 6%, menurun dari 2007 yang tercatat 6,3%.

Perlambatan Sejak 2012

Dampak defisit neraca perdagangan pada pertumbuhan ekonomi juga semakin terasa pada 2012 hingga 2014. Pada 2012, neraca perdagangan berkontribusi negatif 0,19% terhadap PDB, dan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi pun turun menjadi 6,03% dari 6,17% di 2011. Dua tahun setelahnya, di mana defisit neraca perdagangan masih terjadi, pertumbuhan ekonomi pun masih menunjukkan perlambatan.

Pada 2013, neraca perdagangan berkontribusi negatif 0,52% terhadap PDB dan memengaruhi pertumbuhan ekonomi yang menurun menjadi 5,58%. Begitu pula di 2014, dimana, neraca perdagangan berkontribusi -0,26% dan pertumbuhan ekonomi masih tetap melemah menjadi 5,02%.

Bila dilihat berdasarkan jenis komoditas, perdagangan Indonesia bergantung pada barang non migas. Sejak 1987, ekspor migas Indonesia lebih rendah dibandingkan non-migas. Pada tahun tersebut, tercatat nilai ekspor migas sebesar US$8,56 miliar dan non migas US$8,58 miliar. Hingga, pada 2016, ekspor non migas tercatat bernilai US$131,38 miliar dan migas hanya US$13,11 miliar.

Relaksasi dan Insentif

Pada bagian lain, Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis UI Ari Kuncoro mengungkapkan, pemerintah mulai menerima hasil dari upaya perbaikan perekonomiannya saat ini. Menurut dia, relaksasi dan insentif yang dilakukan selama ini memang memberikan pengaruh negatif dalam jangka pendek, tetapi memperbaiki kualitas ekonomi Indonesia secara keseluruhan.

Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), surplus pada keseimbangan primer, pendapatan menjadi tolak ukur keberhasilan pemerintah. PNBP total penerimaan per Mei lalu mencapai Rp145 triliun atau 52,62% dari pagu APBN 2018 yang dipatok Rp275,4 triliun. "Perhitungannya belum sampai tengah tahun, tapi sudah lebih dari 50%, ini menjadi catatan pencapaian pemerintah," ujarnya.

Keseimbangan primer realisasi 31 Mei 2018 mendapatkan surplus sebesar Rp18,054 triliun atau 19,8%, jauh lebih baik jika dibandingkan dengan tahun lalu yang defisit sebesar Rp29,8 triliun. "Melalui konsep anggaran yang tidak terlalu ketat [banyak relaksasi] mungkin awal-awal defisit terlebih dahulu, yang penting uang yang ada di perekonomian berputar dan melalui itu dapat pajak ppn dan pph," ujarnya seperti dikutip Bisnis.com, pekan ini.

Hal ini menjadi stimulus ekonomi dalam negeri karena perkembangan eksternal yang semakin tidak tentu. Dia pun menilai pemerintah mulai menerima hasil dari apa yang ditanam selama ini.

Saat ini, pemerintah dihadapkan pada berbagai tekanan seperti tahun politik dimana kinerja pemerintah sangat diawasi untuk suksesi kepemimpinan. Selain itu, volatilitas ekonomi global yang tidak menentu menjadi pemberat ekonomi saat ini. Oleh karena itu menurutnya pemerintah tidak dapat berleha-leha.

Ari melanjutkan, usaha-usaha pelonggaran yang berdampak langsung pada masyarakat seperti loan to value (LTV) harus ditingkatkan. Menurutnya, relaksasi apapun itu bentuknya akan mendorong kinerja perekonomian dalam negeri menjadi lebih baik. "Jangan konservatif, perubahan logika berpikir ternyata dapat mendorong perekonomian. Namun, karena perekonomian global masih tidak pasti, maka perlu inisiatif-inisiatif yang menguntungkan masyarakat," ujarnya. bari/mohar/fba

 

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…