BI akan Naikkan Bunga di Akhir Juni

 

NERACA

 

Jakarta – Bank sentral atau Bank Indonesia (BI) telah mewanti-wanti untuk menaikkan suku bunganya dalam rangka mengantisipasi rencana bank sentral Amerika (The Fed) yang akan menaikkan suku bunganya. Hal itu seperti disampaikan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Perry menekankan kebijakan yang akan diambil pada pertemuan 27--28 Juni 2018 dapat berupa kenaikan suku bunga acuan untuk yang ketiga kali tahun ini.

Selain itu, kata Perry di Jakarta, Jumat (22/6), adalah pelonggaran pemberian pinjaman untuk perumahan (loan to value/LTV). Menurut dia, ada probabilitas kenaikan suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate dari level 4,75 persen saat ini, terutama untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS The Federal Reserve yang diyakini terjadi empat kali tahun ini, dan normalisasi moneter dari Bank Sentral Eropa.

"Tunggu saja pekan depan, pernyataan saya sudah jelas, dapat berupa kenaikan suku bunga acuan dan relaksasi 'loan to value'," ujar dia. Bank Sentral akan menggelar Rapat Dewan Gubenur bulanan pada 27-28 Juni 2018. Pernyataan Perry tersebut mencuat, di tengah tren pelemahan rupiah pasca-libur Idul Fitri. Rupiah melemah sejak awal tahun hingga saat ini sebesar 2,3 persen (ytd).

Sejak pembukaan perdagangan Rabu (20/6) dan Kamis (21/6), usai libur panjang pasar karena Idul Fitri, nilai rupiah menunjukkan tren depresiatif. Namun, dalam transaksi antarbank Jumat pagi ini, rupiah menunjukkan apresiasi tipis menjadi Rp14.100 per dolar AS dibandingkan pada posisi sebelumnya Rp14.102 per dolar AS. Kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dolar Rate (Jisdor) yang diumumkan BI, Jumat ini, mencatat rupiah depresiatif hingga Rp14.102 per dolar AS, atau turun 12 poin dibanding Kamis, yakni Rp14.090 per dolar AS.

Perry melihat pelemahan rupiah masih wajar, jika dibandingkan pelemahan mata uang di negara lain. Apalagi kondisi ekonomi domestik, tercermin cukup baik, salah satunya karena laju inflasi yang diprediksi sebesar 3,6 persen (yoy) tahun ini. "Pelemahan wajar dalam arti kalau kita bandingkan dengan negara negara lain secara tahun kalender berjalan. Jangan dilihat satu hari kemarin saja. Selama libur panjang, itu terjadi kenaikan mata uang global. Semua mata uang juga melemah, jadi tidak usah kaget," ujarnya.

Perry menekankan Bank Sentral akan konsisten menerapkan kebijakan antisipatif (pre-emptive), dan yang bersifat lebih mendahului (ahead of the curve) untuk menghadapi tekanan terhadap stabilitas ekonomi domestik. "BI siap menempuh kebijakan lanjutan yang 'pre-emptive', 'front loading', dan 'ahead of the curve'," ujarnya.

Bank Sentral tahun ini sudah menaikkan dua kali suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate ke 4,75 persen, untuk mengurangi tekanan terhadap nilai tukar rupiah akibat normalisasi kebijakan moneter AS dan juga perbaikan data ekonomi AS yang mengeluarkan modal asing yang masuk ke Indonesia. Kenaikan suku bunga acuan itu ditempuh dalam tempo hanya dua pekan pada akhir Mei 2018. BI kini menerapkan kebijakan moneter yang mengarah ke pengetatan (bias ketat) dan berjanji untuk mengoptimalkan ruang kenaikan suku bunga acuan, namun tetap secara terukur dan bergantung pada perkembangan data ekonomi terakhir.

Jangan Buru-Buru

Ekonom Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Edy Suandi Hamid, berharap rencana BI menaikkan suku bunga acuan tidak terburu-buru dengan didahului kalkulasi yang mendetail. "Harus dikalkulasi betul secara teliti jangan sampai kenaikan suku bunga itu justru menjadi kontraproduktif untuk perekonomian nasional," kata Edy.

Namun demikian, Edy mengatakan pola kenaikan suku bunga di Indonesia tidak perlu sama atau linier dengan pola kenaikan suku bunga yang dilakukan The FED. "Ya tidak harus linier betul karena bisa jadi dalam setahun The FED menaikkan suku bunga lima kali. Wah kalau seperti itu tidak bisa karena saat ini posisi suku bunga Indonesia sudah tinggi," kata dia.  

Selain itu, lanjut Edy, tanpa disertai kalkulasi yang tepat dan mendetail kenaikan suku bunga BI justru bisa kontraproduktif dan bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi secara drastis. Tanpa kalkulasi yang teliti dalam menaikkan suku bunga, menurut dia, investasi di Indonesia bisa menjadi mahal sehingga berujung pada penurunan perekonomian, serta bertambahnya jumlah pengangguran dan kemiskinan. "Oleh karena itu perlu dikalkulasi betul pada titik mana bisa 'equilibrium' artinya itu hari per hari harus dianalisis betul," kata Edy yang juga pengurus Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ini.

BERITA TERKAIT

Pembiayaan Tumbuh Positif, Aset Bank Muamalat Meningkat

Pembiayaan Tumbuh Positif, Aset Bank Muamalat Meningkat NERACA Jakarta – PT Bank Muamalat Indonesia Tbk mencatatkan total aset bank only…

TASPEN Bagikan Ribuan Paket Sembako Melalui Kegiatan Pasar Murah dan Bazar UMKM

TASPEN Bagikan 1.000 Paket Sembako NERACA Jakarta - Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Persero) atau TASPEN berkomitmen untuk terus…

LinkAja Raih Pendanaan Strategis dari Mitsui

  NERACA Jakarta – LinkAja meraih pendanaan investasi strategis dari Mitsui & Co., Ltd. (Mitsui) dalam rangka untuk saling memperkuat…

BERITA LAINNYA DI Jasa Keuangan

Pembiayaan Tumbuh Positif, Aset Bank Muamalat Meningkat

Pembiayaan Tumbuh Positif, Aset Bank Muamalat Meningkat NERACA Jakarta – PT Bank Muamalat Indonesia Tbk mencatatkan total aset bank only…

TASPEN Bagikan Ribuan Paket Sembako Melalui Kegiatan Pasar Murah dan Bazar UMKM

TASPEN Bagikan 1.000 Paket Sembako NERACA Jakarta - Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Persero) atau TASPEN berkomitmen untuk terus…

LinkAja Raih Pendanaan Strategis dari Mitsui

  NERACA Jakarta – LinkAja meraih pendanaan investasi strategis dari Mitsui & Co., Ltd. (Mitsui) dalam rangka untuk saling memperkuat…