Tahun Politik dan Kemiskinan

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi., Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

Pilkada serentak 2018 dan pilpres 2019 nampaknya isu tentang kemiskinan masih akan laku untuk dijual demi mendulang suara atau paling tidak menjadi pembenar terhadap politik uang melalui serangan fajar. Oleh karena itu, kecemasan terhadap sukses dalam pilkada dan pilpres sejatinya bukan hanya isu SARA dan hoax tetapi juga kemiskinan. Hal ini memberikan gambaran betapa kemiskinan justru menjadi komoditas politik demi pemenangan sesaat. Bahkan, isu kemiskinan juga bisa menjadi muara terjadinya kasus-kasus korupsi. Artinya, beralasan jika dana desa yang notabene diharapkan bisa untuk memacu geliat ekonomi di daerah demi mereduksi kemiskinan dan pengangguran justru menjadi obyek baru korupsi di daerah.

Isu kemiskinan masih menjadi persoalan serius bagi pemerintah, terutama di mayoritas negara berkembang. Di satu sisi, kemiskinan juga menjadi isu di tahun politik untuk bisa merebut simpati publik meski di sisi lain problem kompleks kemiskinan terkait banyak aspek, baik internal dan eksternal. Oleh karena itu, komitmen pemerintah mengurangi angka kemiskinan pada tahun 2019 menjadi 9,5 persen diyakini sebagai tantangan yang berat, meski juga dianggap terlalu optimis. Keyakinan terhadap target tersebut muncul di Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional atau Musrenbangnas di Jakarta 30 April kemarin. Argumen yang mendasari karena pemerintah bertekad tahun 2019 akan fokus membangun manusia dengan orientasi pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar. Bisa jadi ini adalah target populis di tahun politik yaitu pilpres 2019.

Fakta kemiskinan di Indonesia per September 2017 mencapai 10,12 persen atau sekitar 26,58 juta dan target penurunan di tahun 2018 sebesar 10 persen sedangkan penurunan kemiskinan telah terjadi sejak 2016 sebesar 10,7 persen yaitu 27,76 juta. Data BPS juga memberikan gambaran bahwa pada tahun 2010 jumlah kemiskinan masih 31,02 juta atau  13,33 persen sedangkan di tahun 2015 turun menjadi 28,51 juta jiwa atau 11,13 persen. Fakta dibalik faktor kemiskinan juga mengacu inflasi yang membelit daya beli, upah riil yang kemarin dituntut para buruh, kesempatan kerja yang tersaingi oleh pekerja asing, terjadinya sejumlah bencana dan fakta daya serap tenaga kerja dibalik realisasi investasi.

Persoalan Kemiskinan

Kaji ulang terhadap program pengentasan kemiskinan nampaknya menjadi faktor yang penting untuk merealisasikan seperti harapan dari Musrenbangnas. Oleh karena itu apa yang terjadi dengan bantuan langsung lempar dalam sejumlah lawatan Presiden Jokowi kemarin sejatinya tidak efektif mereduksi kemiskinan karena tidak menyentuh esensi riil dari target pengurangan kemiskinan. Ironisnya, bantuan langsung lempar justru memicu kontroversi terkait alokasi penggunaan anggaran, termasuk juga kampanye terselubung dibalik aksi tersebut. Sekali lagi, tahun politik dan isu kemiskinan menjadi sinergi yang berdampak terhadap program dan proyek pembangunan nasional.

Urgensi pengentasan kemiskinan, pemerintah menetapkan sejumlah agenda misalnya perluasan konversi beras sejahtera menjadi layanan non tunai, penyaluran subsidi energi - gas secara tunai, perluasan program keluarga harapan dan jangkauan pelayanan dasar. Mengacu laporan Bank Dunia bertajuk Poverty and Shared Prosperity Report bahwa ke depan Indonesia akan berperan penting mereduksi kemiskinan global bersama sejumlah negara yaitu di kawasan Asia Timur dan Pasifik, termasuk Cina dan India. Oleh karena itu, beralasan jika pemerintah serius menangani kemiskinan, meski diakui tidak mudah dan tahun politik juga bisa menjadi kendala terhadap semua target pencapaiannya.

Kemiskinan juga tidak bisa terlepas dari ketimpangan dan sebaran pembangunan masih berkutat di Jawa dan hal ini menguatkan argumen kemiskinan juga banyak terjadi di luar Jawa. Bahkan, dikotomi perkotaan dan perdesaan juga berdampak terhadap kemiskinan di perdesaan (September 2016 yaitu 13,96 persen, turun menjadi 13,93 persen pada Maret 2017) dibanding di perkotaan (September 2016 yaitu 7,73 persen, turun menjadi 7,72 persen pada Maret 2017). Jadi, beralasan jika arus balik pasca lebaran selalu lebih tinggi dibanding arus mudik karena tuntutan perbaikan hidup.

Bagaimana implementasi era otda dan alokasi dana desa mereduksi kasus ini? Harapan era otda adalah terjadinya geliat ekonomi di daerah, terutama yang berbasis sumber daya lokal yang memacu produk unggulan. Hal ini juga didukung alokasi dana desa yaitu di tahun 2015 sebesar Rp.20,8 triliun, tahun 2016 naik Rp.47 triliun dan tahun 2017 yaitu Rp.60 triliun. Dana desa diharapkan tidak hanya memacu geliat ekonomi desa tapi juga mereduksi kesenjangan dan kemiskinan sehingga sinkron dengan komitmen era otda.

Dilema dan Ironi

Fakta kemiskinan tidak bisa terlepas dari ironi era otda yang justru diwarni pemekaran daerah. Padahal, pemekaran menambah beban anggaran, baik pusat ataupun daerah asal pemekaran, sementara di sisi lain bukan fokus orientasi peningkatan kesejahteraan yang dicapai tapi justru sebaliknya orientasi terhadap kepentingan politik yang akhirnya justru membuktikan asumsi mekar tapi memar karena rebutan kekuasaan membangun dinasti politik dan juga maraknya kepala daerah terjerat korupsi. Ironisnya OTT KPK tidak juga memicu efek jera sehingga banyak kepala daerah terjerat OTT, belum lagi maraknya kasus jual beli jabatan seperti di Klaten, Jawa Tengah sehingga mengerdilkan cita-cita otda. Bahkan, alokasi dana desa banyak juga yang menjerat kasus korupsi di sejumlah daerah. Artinya, ancaman korupsi dari hulu ke hilir rentan memicu dampak terhadap kemiskinan semakin akut.

Problem pelik pengentasan dan mereduksi kemiskinan maka belanja APBN harus tepat sasaran dan berkualitas sehingga memacu pertumbuhan ekonomi yang menyerap banyak tenaga kerja, termasuk juga investasi padat karya. Yang menjadi persoalan riil adalah isu pembangunan global yaitu daya serap tenaga kerja lebih rendah sehingga pengangguran terus meningkat, perlambatan pertumbuhan ekonomi, investasi tidak besar dan yang masuk cenderung padat modal, bukan padat karya. Oleh karena itu, upaya pemerintah yaitu penyediaan lapangan kerja, peningkatan produktivitas, memacu kegiatan produktif ekonomi, memacu industri manufaktur dengan dukungan perbaikan regulasi, memacu pembangunan di daerah, alokasi dana desa lebih tepat target, termasuk juga peningkatan kualitas layanan dasar dan perlindungan sosial. Percepatan pembangunan infrastruktur juga berdampak positif terhadap geliat ekonomi untuk mereduksi kemiskinan meski di sisi lain muncul kasus ambruk yang akhirnya sempat dimoratorium.

 

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…