Polemik Impor Beras

Persoalan lama kembali muncul di tengah kesibukan masyarakat menjelang Lebaran tahun ini. Perbedaan data beras antara Kementerian Perdagangan dan Perum Bulog di satu sisi, dan Kementerian Pertanian di sisi lain. Nah, polemik impor beras 1 juta ton antara pejabat negara kembali terulang.

Permasalahan ini seharusnya sudah selesai tuntas di masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu terjadi perdebatan yang keras antara Menteri Pertanian, Dirut Perum Bulog, Menteri Perdagangan dan BPS, dan sepertinya sudah selesai semua.

Namun, anehnya sekarang terulang lagi, ketika muncul keinginan kuat Mendag Enggartiasto Lukita untuk mengimpor 1 juta ton beras, sementara Dirut Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) menolak dengan menyatakan tak ingin mengimpor dulu sebelum menyerap sampai jenuh produksi petani.

Buwas menyatakan tidak akan mendatangkan beras impor tambahan sebesar 500 ribu ton dalam waktu dekat. Terlebih dahulu, Bulog akan menghitung data produksi beras dengan sejumlah pihak, seperti Kementerian Pertanian dan BPS.

Mendag memberikan penjelasan mengenai kronologis di balik keputusan izin impor beras sejumlah total 1 juta ton sepanjang 2018. Katanya, keputusan impor dilakukan berdasarkan perhitungan ketersediaan suplai produksi beras dari petani. Argumentasi itu seolah ingin mematahkan pernyataan Buwas dan Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang bersikeras menolak impor.

Menurut Enggar, kebijakan impor beras diputuskan berdasarkan hasil Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) pada Februari 2018. Rapat kala itu dipimpin oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution dan dihadiri Menteri Pertanian Amran Sulaiman, pihak Kementerian BUMN, dan Direktur Utama Bulog saat itu, Djarot Kusumayakti.

Menurutnya keputusan impor itu diambil lantaran melihat stok beras di gudang beras yang mulai menipis, sementara tingkat kebutuhan diprediksi terus meningkat. “Kebijakan diputuskan karena suplai beras yang kurang,” ujar Enggar saat itu. Data per 23 Mei 2018, stok beras di gudang Bulog tercatat sekitar 1,3 juta ton. Dari jumlah tersebut, sebesar 791.911 ton merupakan serapan beras milik petani, sedangkan 532.526 ton merupakan kontribusi dari beras impor.

Namun menurut catatan Bulog, per Januari-Mei 2017 total penyerapan beras Bulog telah sebesar 1,1 juta ton, sedangkan pada periode yang sama 2016 jumlah angka serapan juga telah mencapai 1,3 juta ton.

Jumlah penyerapan beras petani yang tidak sampai 1 juta ton di tahun ini juga yang menjadi alasan utama impor harus dilakukan. Pasalnya, stok beras yang ada di gudang Bulog menjadi faktor psikologis mengontrol harga beras di tingkat konsumen.

Kita tentu prihatin, mengapa perlu impor 1 juta ton beras atau tidak merupakan cerita lama yang berulang terus. Seperti tak ada habisnya dan tidak memiliki sense of crisis, pemaksaan impor beras dan bahan pangan lainnya telah berdampak pada transaksi perdagangan Indonesia per April 2018 defisit US$1,63 miliar.

Kita melihat kerangka berpikir Buwas yang menggunakan pendekatan keamanan dan tentu saja wawasan ke-Indonesia-an yang luas, memang bertolak belakang dengan pendekatan Enggar yang berlatar belakang pengusaha. Terlihat jelas Buwas agak berhati-hati dan menginginkan prioritas urutan keputusan impor beras itu logis, menyesuaikan kebutuhan sekaligus menyesuaikan stok pangan dan hasil panen petani.

Kalau memang pendekatannya harus impor, pertanyaan sederhana, buat apa ada pemerintah? Pemerintah harusnya hadir dalam rangka mengatasi defisit beras, solusi paling masuk akal adalah menggenjot produksi pertanian, bukan malah mencari solusi paling gampang dengan impor beras.

Padahal disadari bahwa multiplier effect dari impor beras sangat panjang. Umumnya impor dilakukan di saat petani sedang atau menjelang panen raya, sehingga ketika panen harga beras petani jatuh. Akibat lanjutannya, sudah pasti kesejahteraan petani semakin merosot karena setiap hasil panennya selalu dibeli dengan harga murah karena diguyur oleh produk impor yang berlimpah.

 

BERITA TERKAIT

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…