Rupiah Lampu Kuning - Oleh : Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Rupiah dalam beberapa waktu terakhir memang terkulai, tidak berdaya menghadapi keperkasaan dolar Amerika. Kurs tengah Bank Indonesia menunjukkan angka di atas Rp14.000 belakang ini. Jika dihitung sejak awal tahun, rupiah tercatat melemah sekitar 4,5% artinya rupiah sudah lampu kuning.

Publik percaya, kalau pun rupiah tidak terjerembab ke angka Rp15.000/US$ bahkan Rp17.000/US$ itu semata-mata karena BI mati-matian berusaha menjaganya melalui intervensi pasar. Sayangnya sampai sekarang tidak jelas betul, berapa devisa yang telah digerojok ke pasar. Namun bisik-bisik di pasar menyebutkan angkanya sudah menembus US$8 miliar. Wow!

Menurut Gubernur BI Agus Martowardojo, upaya penguatan rupiah tidak bisa melulu mengandalkan intervensi BI. Pemerintah juga kudu harus ikut gotong-royong menopang agar rupiah tidak benar-benar terkapar.

Salah satu usaha yang bisa Pemerintah lakukan adalah dengan mereduksi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Agus yakin upaya ini dapat menjadi amunisi ampuh bagi penguatan rupiah. Pada titik ini, jelas Pemerintah punya peran amat vital.

Sekadar mengingatkan saja, BI tahun memperkirakan defisit transaksi berjalan bakal bertengger di 2,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Nominalnya di kisaran US$23 miliar, alias sekitar Rp326,4 triliun. Angka ini lebih tinggi kertimbang proyeksi sebelumnya yang berkisar 2,2%-2,3% terhadap PDB.

Kita memang tidak bisa menyimpulkan BI seperti hendak lempar handuk alias menyerah. Tentu saja, ini (nyaris) tidak mungkin terjadi. Tapi, paling tidak, pernyataan Agus itu menjelaskan bahwa BI sudah kerepotan, kalau tidak mau disebut sempoyongan. Itulah sebabnya BI minta Pemerintah ikut cawe-cawe dalam menopang rupiah.

Sepanjang 2018, angka-angka itu memang bertabur defisit. Sampai April neraca perdagangan (trade balance) tercatat minus US$1,6 miliar. Begitu juga dengan neraca perdagangan jasa dan neraca perdagangan migas kuartal pertama, masing-masing defisit US$1,4 miliar dan USS2,4 miliar. Bahkan defisit transaksi berjalan sudah berada di US$5,5 miliar. Berikutnya, neraca pendapatan primer dan neraca pembayaran (balance of payment) US7,9 miliar dan US$3,9 miliar.

Sayangya, alih-alih bekerja cerdas dan bekerja keras, para menteri tersebut malah sibuk berkelit. Berbagai alasan dan dalih mereka sorongkan untuk menutupi kelemahan dan ketidakmampuan. Mereka juga tidak segan menyodorkan data dan angka yang sering tidak relevan untuk membodohi publik. Koor yang teramat sering dinyanyikan, di antaranya menisbatkan menggunungnya utang dengan PDB. Padahal, para ekonom waras dan bernurani sudah lama mengritik rasio utang dengan PDB yang disebut sebagai sesat dan menyesatkan.

BERITA TERKAIT

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…

BERITA LAINNYA DI

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…