Senjakala Ekonomi di Era Reformasi

 

Oleh: Bhima Yudhistira Adhinegara

Peneliti INDEF

 

Pasca reformasi perekonomian Indonesia bergerak dalam rel yang tak bisa diduga. Pondasi ekonomi di era reformasi sebenarnya rapuh. Ada loncatan yang cepat dari basis pertanian, kemudian industri dan terakhir lompat ke jasa. Era Orde Baru, sektor pertanian terutama beras masih mencatatkan swasembada. Kini tiap tahunnya ada 20,5 juta ton impor pangan mulai dari beras, jagung, kedelai sampai ubi jalar yang harusnya bisa diproduksi didalam negeri. Porsi sektor pertanian tahun 1998 mencapai 18% dari produk domestik bruto (PDB), dibandingkan tahun 2017 kontribusinya tinggal 13%. Di tahun 1998 ada 39,14 juta penduduk yang bekerja di sektor pertanian, kini tersisa 38,6 juta orang.

Jadi pertanian belum rampung dibenahi, kemudian pemerintah di berbagai rezim pasca reformasi setengah hati memperbaiki sektor industri manufaktur. Dengan kebijakan yang terus menerus berganti tanpa konsistensi, sektor industri makin lemah. Porsi industri pengolahan mengalami penurunan dari posisi 27,7% tahun 2000 menjadi 20,1% di tahun 2017. Kondisi yang dikenal dengan deindustrialisasi prematur ini tentu amat menyedihkan. Pertumbuhan ekonomi menjadi kurang berkualitas. Padahal untuk keluar dari jebakan kelas menengah (middle income trap) tidak ada jalan pintas kecuali mendorong sektor industri.

Akibat turunan dari tidak seriusnya generasi tua pasca reformasi membenahi sektor manufaktur adalah malasnya generasi muda berkotor-kotoran bekerja di sektor industri. Beberapa anak pemilik konglomerasi di Indonesia yang era Orde Baru membangun pabrik sekarang memilih untuk masuk ke perbankan, properti dan logistik. Disisi yang lain saat ini di era booming ekonomi digital anak muda cerdas usia produktif lebih tertarik membuat aplikasi. Lihat misalnya banyak start-up berkembang di Indonesia mulai dari e-commerce, transportasi online bahkan financial technology. Tidak tanggung-tanggung Indonesia dalam situs Startupranking menempati urutan ke 3 teratas dengan jumlah startup lebih dari 1.550 perusahaan.

Yang membuat miris adalah startup yang berkembang bukan startup industri atau produksi, sebagian besar adalah startup di sektor jasa. Lalu darimana barang yang dijual di e-commerce? Terbukti 93% adalah barang impor menurut data asosiasi e-commerce Indonesia.

Dengan porsi sektor jasa diatas 40%, gula-gula ekonomi shifting atau bergeser ke perdagangan, jasa transportasi, jasa IT, jasa akomodasi, restoran dan sebagainya. Padahal fakta bahwa sektor jasa ternyata bukanlah penyerap tenaga kerja yang besar. Sektor jasa yang sering dibanggakan sebagai dewa penolong ekonomi terutama di era digital juga lebih membutuhkan skilled worker. Sedangkan 60% tenaga kerja Indonesia mayoritas adalah lulusan SMP. Jangankan bicara programming, IT developer, atau revolusi industri 4.0. Skill tenaga kerja sangat terbatas dan lebih pas kerja di pertanian atau industri manufaktur sebagai low skill labour.

Potret lompat-lompatan fokus sektor ekonomi ini berakibat fatal pada indikator kesejahteraan. Serapan tenaga kerja pertanian dan industri yang loyo akhirnya menciptakan gap pendapatan dengan sektor jasa. Orang-orang kaya lahir dari perbankan, pasar modal, sektor teknologi dan perdagangan. Masyarakat berpendapatan rendah tetap bekerja di sektor pertanian dengan penghasilan yang stagnan ditunjukan oleh upah riil buruh tani dan nilai tukar petani yang kecil. Belum lagi menjelang panen raya, tiba-tiba impor pangan diserbu jutaan ton beras.

 

BERITA TERKAIT

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…

BERITA LAINNYA DI

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…