20 Tahun Reformasi

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi., Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

 

Tanpa terasa ternyata reformasi telah berlangsung 20 tahun sejak lengsernya Soeharto yang sukses berkuasa 32 tahun tepatnya pada 21 Mei 1998. Kilas balik reformasi yang diharapkan membawa perubahan birokrasi di pemerintahan ternyata kini justru semakin runyam. Seruan anti KKN di era reformasi ternyata kini kian subur dan ironisnya justru dilakukan secara terang-terangan dan berjamaah. Bahkan, keberadaan KPK ternyata kini tidak bernyali menghadapi semakin banyaknya koruptor, tidak hanya di pusat tetapi juga merata di daerah. Selain itu, banyak obyek baru menjadi modus korupsi, selain klasik di penetapan anggaran dan pengadaan barang. Sayangnya, gerakan mematikan KPK juga kian lantang dan frontal. Oleh karena itu, kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan diyakini tidak akan tuntas seperti juga kasus Munir dan Udin, wartawan Koran Bernas.

Yang justru menjadi pertanyaan adalah bagaimana arah reformasi ke depan pasca 20 tahun? Ini wajar mengemuka karena sepertinya telah terjadi salah arah dalam melewati proses panjang reformasi. Setidaknya semangat anti KKN telah pudar, sementara di sisi lain realitas korupsi justru semakin merata di semua bidang, tidak hanya di pusat tetapi juga di daerah dan nominal kerugiaanya justru semakin besar. Oleh karena itu, beralasan jika ICW menegaskan bahwa tidak ada efek jera dari penegakan hukum terhadap para koruptor, sementara di sisi lain koruptor justru semakin dimanjakan dengan banyaknya remisi dan fasilitas dalam tahanan. Dalihnyapun tetap klasik yaitu persepsian terhadap HAM, padahal korupsi itu sendiri mencederai HAM. Bahkan, pensiunnya hakim agung Artidjo Alkostar pada 22 Mei lalu seolah menjadi peluang bagi koruptor karena selama ini Artidjo diyakini kejam dengan vonisnya bagi koruptor.

Salah Kaprah                    

Jika dicermati muasal dari persepsian salah kaprah membawa gerbong reformasi adalah faktor demokrasi yang dibangun di republik ini. Betapa tidak peralihan dari demokrasi tidak langsung ke demokrasi langsung ternyata justru semakin banyak memakan biaya. Argumen yang mendasari yaitu mahalnya ongkos untuk mendapat restu dari parpol yang menjadi kunci untuk bisa bertarung di pilkada serentak misalnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa mahar politik memang benar adanya, meski sebagian besar parpol menolak dari kenyataan ini.

Artinya, sejumlah kader yang kemarin gagal mendapat restu dari parpol untuk bertarung di pilkada serentak 2018 dan melontarkannya ke media menjadi bukti kebenaran adanya mahar politik. Ironisnya, penelusuran lebih lanjut dari kasus ini tidak bisa tuntas dan akhirnya lenyap begitu saja. Mahalnya ongkos demokrasi menjadi fakta pembenar dibalik maraknya korupsi kepala daerah, termasuk kasus terbaru yaitu pada 23 Mei 2018 juga terjaring OTT Bupati Buton Selatan, Agus Feisal Hidayat dengan kasus suap proyek pekerjaan di pemerintahan Kabupaten Buton Selatan.

Ironi dari 20 tahun reformasi juga menjadi PR bagi parpol karena ternyata parpol juga tidak bisa berkelit dari kepentingan pragmatis sesaat. Betapa tidak, parpol lalai dan abai dalam pengkaderan dan regenerasi kepemimpinan sehingga ketika mendekati pilkada maka banyak partai yang harus mencari kader berduit untuk bisa mendanai pelaksanaan pilkada. Fakta ini akhirnya membuyarkan proses kaderisasi karena kader yang loyal dan merintis karier politik dari bawah akhirnya tersingkir karena kurang modal untuk sukses mendapatkan restu parpol dan pendanaan pilkada yang kini semakin mahal ongkosnya. Akibatnya kader kutu loncat banyak terjadi dan ini dianggap sah oleh parpol. Realitas ini juga tidak bisa terlepas dari komitmen parpol untuk bisa mengusung kandidat terbaiknya menang di pilkada yang akhirnya bisa menjadi ATM bagi pendanaan parpol.

Konsekuensi dari mahalnya ongkos politik maka tuntutan untuk menang menjadi utama dan segala cara dihalalkan untuk bisa menang. Bahkan, serangan frontal dimulai sedari dini termasuk misalnya kasus paha wanita yang marak beredar di awal tahun politik dan kemudian melengserkan kandidat bertarung di pilkada serentak 2018. Ironisnya kandidat yang bertarung di semua tahapan pilkada cenderung tidak semakin sehat. Betapa tidak, isu SARA masih beredar dan cenderung diyakini efektif menyerang lawan, selain ujaran kebencian dan juga hoax. Oleh karena itu, 20 tahun reformasi ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap kedewasaan dalam berpolitik dan cenderung terjadi kemunduran. Tentunya ini menjadi ironi sementara tokoh reformasi ternyata kian tidak dewasa dalam memandang hal ini. Selain itu politik uang juga kian jamak dilakukan di era reformasi untuk menang.

Rancu

Fakta lainnya yang tidak bisa diabaikan terkait ironi 20 tahun reformasi adalah semakin suburnya politik dinasi yang dibangun sejumlah petahana. Meski pilkada dilaksanakan secara langsung ternyata mampu menciptakan politik dinasti dan ini adalah kesalahan fatal dari semangat reformasi. Oleh karena itu, beralasan jika muncul tuntutan adanya pembatasan masa jabatan dari dinasti tertentu agar semua berkesempatan menjadi orang nomer 1 di daerah. Argumen yang mendasari karena politik dinasti rawan menciptakan kasus-kasus korupsi.

Betapa tidak, dalam setahun terakhir banyak kepala daerah terjerat OTT. Bahkan ada bapak - anak yang keduanya terciduk KPK. Selain itu, ada juga kepala daerah yang rajin melakukan jual beli jabatan, termasuk juga kongkalikong pengesahan APBD sehingga ada mayoritas wakil rakyat di suatu daerah Jawa Timur terjaring KPK. Bahkan, korupsi terkait APBN-P juga terjadi baru saja. Jadi wajarlah jika muncul seruan pencabutan gelar akademik, pemiskinan dan pencabutan hak demokrasi bagi koruptor sebagai upaya efek jera mereduksi maraknya korupsi.

Ironi dan salah kaprah dalam menjalani 20 tahun reformasi ternyata dijabarkan dalam 3 aspek yaitu pertama: dampak dari mahalnya ongkos politik. Bahkan, KPK menegaskan masih ada sejumlah petahana di pilkada kali ini yang akan terjerat OTT. Oleh karena itu, muncul wacana mengembalikan demokrasi tidak langsung. Pemekaran daerah hasil dari reformasi justru memicu persepsian mekar tetapi memar dan kian banyak kepala daerah terjerat korupsi karena pemekaran sekedar mencari kekuasaan di daerah baru.

Kedua: mereduksi munculnya politik dinasti sedari awal karena ini sangat rentan kepada korupsi yang bisa mencederai marwah demokrasi. Ketiga: komitmen pemerintah terkait alokasi dana parpol adalah tepat untuk mereduksi korupsi politisi. Alokasi dana parpol untuk partai besar kini mencapai puluhan miliar, misal PDI-P sebesar Rp.23,68 miliar, Golkar Rp.18,43 miliar, Gerindra Rp.14,76 miliar, Demokrat Rp.12,76 miliar, PKB Rp.11,29 miliar dan terkecil Hanura Rp.6,57 miliar.

BERITA TERKAIT

Pertahankan Sinergitas dan Situasi Kondusif Jelang Putusan Sidang MK

  Oleh: Kalista Luthfi Hawa, Mahasiswa Fakultas Hukum PTS   Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menarik perhatian publik menjelang putusan…

Pemerintah Bangun IKN dengan Berdayakan Masyarakat Lokal

  Oleh: Saidi Muhammad, Pengamat Sosial dan Budaya   Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan hanya tentang…

Ekonomi Mudik 2024: Perputaran Dana Besar Namun Minim Layanan Publik

    Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pertahankan Sinergitas dan Situasi Kondusif Jelang Putusan Sidang MK

  Oleh: Kalista Luthfi Hawa, Mahasiswa Fakultas Hukum PTS   Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menarik perhatian publik menjelang putusan…

Pemerintah Bangun IKN dengan Berdayakan Masyarakat Lokal

  Oleh: Saidi Muhammad, Pengamat Sosial dan Budaya   Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan hanya tentang…

Ekonomi Mudik 2024: Perputaran Dana Besar Namun Minim Layanan Publik

    Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar…