Tugas Sulit Pemerintah-BI Redam Gejolak Pasar

Oleh: Satyagraha

Suasana pasar keuangan global dalam beberapa minggu terakhir yang mengakibatkan ketidakpastian telah memberikan kekhawatiran kepada pelaku pasar, pemangku kepentingan maupun otoritas terkait. Gejolak perekonomian yang terjadi di pasar mata uang, pasar saham maupun pasar Surat Berharga Negara ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negara-negara berkembang.

Volatilitas ini terjadi karena pasar keuangan merespon normalisasi kebijakan moneter serta ekspansi kebijakan fiskal di Amerika Serikat (AS) seiring dengan membaiknya perekonomian di negara adidaya tersebut. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya kenaikan suku bunga global, penyesuaian imbal hasil obligasi AS, penguatan dolar AS serta pembalikan arus modal keluar dari negara-negara berkembang.

Faktor eksternal lainnya juga patut diwaspadai karena berpotensi menyebabkan gejolak seperti kenaikan harga minyak dunia, potensi perang dagang AS dan China serta kondisi geopolitik internasional di Timur Tengah maupun di semenanjung Korea.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kondisi perekonomian global saat ini sedang menyesuaikan menuju tingkat normal yang baru (new normal), yang berbeda dengan situasi dua atau tiga tahun lalu. Kondisi normal yang baru tersebut adalah situasi ketika Bank Sentral AS (The Fed) telah menyesuaikan suku bunga acuan dan memberikan sinyal untuk menaikkan lagi sebanyak tiga kali pada 2018. "Level normal yang baru ini adalah pada saat US Federal Reserve menaikkan suku bunga kemudian US Treasury Bills (Obligasi AS) ikut terangkat. Ini tidak sama dengan dua atau tiga tahun lalu dimana suku bunga mendekati nol persen," ujarnya.

Menurut dia, hal yang dapat dilakukan dalam kondisi saat ini adalah menjaga fundamental perekonomian agar kepercayaan investor terhadap prospek ekonomi Indonesia tidak terganggu. Dari sisi fiskal, upaya untuk meredam gejolak adalah dengan mengawal pelaksanaan penerimaan dan belanja negara dalam APBN agar tidak menganggu kinerja defisit anggaran yang sudah diamanatkan dalam UU.

Selain itu, pemerintah juga melakukan pembenahan untuk memperbaiki iklim kemudahan berusaha dengan penyederhaaan proses perizinan maupun membentuk sistem perizinan terpadu (OSS). Pemerintah juga siap memberikan insentif perpajakan baru bagi sektor industri untuk mendorong perbaikan kinerja ekspor yang mengalami momentum pertumbuhan positif sejak awal 2017.

Peran Sisi Moneter

Salah satu upaya telah dilakukan otoritas moneter untuk meredam gejolak dalam jangka pendek, yaitu dengan menyesuaikan suku bunga acuan sebanyak 0,25 persen, dari sebelumnya 4,25 persen menjadi 4,5 persen. Bank sentral(BI) memutuskan kenaikan suku bunga tersebut untuk meredam perlemahan rupiah lebih dalam dan menjaga ekspektasi inflasi berada pada kisaran 2,5 persen-4,5 persen.

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menyebut kenaikan suku bunga acuan "7-Day Reverse Repo Rate" merupakan langkah bauran kebijakan yang tepat untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik dari tekanan ekonomi global.

Ia mengatakan instrumen suku bunga acuan saat ini harus ditujukan untuk stabilisasi guna mengantisipasi peningkatan ketidakpastian keuangan dunia dan penurunan likuiditas global. "Kenaikan 'policy rate' ditempuh sebagai bagian untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah berlanjutnya peningkatan ketidakpastian keuangan dunia dan penurunan likuiditas global," ujar Agus.

Kenaikan suku bunga acuan sebanyak 25 basis poin diharapkan dapat membantu menjaga iklim investasi agar modal asing bisa kembali masuk ke pasar keuangan domestik. Modal asing yang masuk berbentuk valas akan membantu untuk memenuhi permintaan valas sehingga tidak ada kelangkaan yang dapat mengurangi nilai tukar rupiah.

Pelemahan rupiah ini yang menimbulkan kekhawatiran dari para pelaku ekonomi karena sudah menembus level Rp14.000 dan telah melewati batas fundamental pada kisaran Rp13.600-Rp13.700 per dolar AS. Bank Indonesia mencatat nilai tukar rupiah mengalami depresiasi dari Januari hingga akhir April 2018 sebesar 2,06 persen (year to date/ytd).

Meski demikian, kenaikan suku bunga acuan ini akan menimbulkan risiko baru karena sedikit mengurangi potensi pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan mencapai 5,4 persen pada 2018.

Cegah Pelemahan Rupiah dan IHSG

Pemerintah maupun Bank Indonesia sudah memastikan fundamental perekonomian saat ini dalam keadaan baik, bahkan setingkat lebih unggul dari negara-negara berkembang yang setara. Meski demikian, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga Senin (21/5) masih bergerak melemah sebesar 42 poin menjadi Rp14.175 dibanding posisi sebelumnya Rp14.133 per dolar AS.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin juga dibuka melemah 1,83 poin dibayangi oleh ketidakpastian sentimen eksternal karena potensi terjadinya perang dagang. IHSG BEI juga masih dibuka melemah 1,83 poin atau 0,03 persen ke posisi 5.781,47. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau LQ45 bergerak turun 1,12 poin (0,12 persen) menjadi 917,76.

Analis Binaartha Sekuritas Reza Priyambada mengatakan pergerakan imbal hasil obligasi AS yang cenderung meningkat menjadi faktor yang menahan dana asing masuk ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, sehingga membuat laju rupiah tertahan. "Imbal hasil obligasi AS berimbas pada kenaikan dolar AS sehingga membuat mata uang di sejumlah negara berkembang cenderung melemah," katanya.

Pelaku pasar terlihat masih ragu-ragu untuk kembali menanamkan modal dalam situasi sulit karena adanya persoalan fundamental yang belum sepenuhnya usai, meski Indonesia telah mendapatkan peringkat "layak investasi" dari lembaga pemeringkat internasional.

Belum ada tanda-tanda membaiknya pergerakan rupiah, meski para pemangku kepentingan maupun bank sentral telah melakukan upaya terbaik dalam meredam volatilitas rupiah. Namun, solusi untuk menahan pergerakan rupiah melalui cadangan devisa maupun kembali menaikkan suku bunga acuan bukan merupakan keputusan populer yang dapat direspon positif oleh masyarakat.

Sisi positifnya, meski terlihat mengkhawatirkan, kondisi saat ini tidak serupa seperti periode "taper tantrum" pada 2013 dan 2015, serta jauh dari suasana krisis pasar finansial yang melanda Asia pada 1997.

Pemerintah bersama Bank Indonesia perlu lebih fokus dalam merumuskan kebijakan agar lebih menyakinkan pasar, karena "new normal" sedang terjadi dan badai politik menjelang pemilihan umum 2019 segera tiba. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…

BERITA LAINNYA DI Opini

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…