Rupiah Bakal Tembus Rp15.000 Per Dolar?

 

 

 

NERACA

 

Jakarta – Nilai tukar rupiah terhadap dolar cenderung fluktuatif. Namun posisi rupiah masih rawan lantaran sudah beranjak dari angka Rp13.000 dan kini sudah berada diposisi Rp14.000. Namun timbul pertanyaan, apakah rupiah akan terus melemah bahkan menyentuh angka Rp15.000 per dolarnya?, menurut Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan, hal itu sulit untuk tercapai.

Anton mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak akan mencapai Rp15.000 per dolar AS sampai akhir tahun ini. Menurut Anton, rupiah justru akan menguat pada akhir 2018 dan kembali berada di bawah Rp14.000 per dolar AS. "Akhir tahun, rupiah masih bisa menguat lagi di bawah Rp14.000 walau sekarang sangat krusial karena seasonality sehingga sekarang hampir Rp14.100. Tapi kita tidak perkirakan akan sampai ke Rp15.000 kecuali ada kesalahan 'policy' atau sesuatu yang sangat signifikan di luar kontrol," ujar Anton saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (17/5).

Ekonom senior tersebut memperkirakan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada akhir tahun akan mencapai kisaran Rp13.800 per dolar AS. Ia menjelaskan, depresiasi rupiah yang terjadi belakangan ini tidak lepas dari faktor musiman dimana pada kuartal kedua terjadi peningkatan permintaan dolar untuk pembayaran dividen oleh perusahaan-perusahaan terbuka.

Pada semester kedua, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diperkirakan akan kembali normal sesuai dengan fundamentalnya. "Yang sifatnya seasonal ini terjadi di kuartal kedua tahun ini, kalau ini mulai normal lagi pressure terhadap rupiah akan normal lagi," ujarnya.

Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI), nilai tukar rupiah pada Kamis mencapai Rp14.074 per dolar AS, sedikit menguat dibandiingkan hari sebelumnya Rp14.094 per dolar AS. Terkait dengan respon BI terhadap pelemahan nilai tukar rupiah sendiri, Anton memprediksi BI akan memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI 7day Reverse Repo Rate (7DRRR) sebesar 25 basis poin (bps) dari 4,25 persen menjadi 4,5 persen pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang digelar Kamis ini.

Situasi gejolak global yang awalnya diperkirakan akan terjadi pada akhir tahun, lanjut Anton, ternyata datang lebih cepat terutama kebijakan Amerika Serikat dengan normalisasi kebijakan suku bunga The Fed dan juga meningkatnya harga minyak dunia. "Itu jadi faktor yang memengaruhi perilaku investor global. Hal ini menyebar ke berbagai negara terutama emerging market termasuk Indonesia dimana terkena arus pembalikan modal sehingga kena currency-nya," kata Anton.

Chief Executive Officer Standard Chartered Bank Indonesia Rino Donosepoetro menyakini nilai tukar rupiah akan kembali menguat pada akhir 2018, meskipun saat ini tengah mengalami tekanan eksternal akibat perkembangan positif perekonomian Amerika Serikat. "Prediksi kami rupiah akan menguat lagi pada akhir tahun berdasarkan kondisi fundamental yang baik," kata Rino.

Ia juga menilai ekspor masih akan meningkat serta kebijakan fiskal dan moneter yang diambil oleh pemerintah dan regulator sudah tepat, seperti pada defisit neraca perdagangan dan intervensi oleh Bank Indonesia. Rino menegaskan bahwa tekanan terhadap nilai tukar rupiah lebih merupakan isu global. Bukan hanya Indonesia, namun negara-negara berkembang mengalami imbas tersebut sebagai dampak dari perkembangan ekonomi Amerika Serikat. "Kami percaya kejadian ini akan ternormalisasi dan cadangan devisa kita juga cukup besar. Pada akhir tahun, rupiah tendensinya akan menguat," ujar dia.

Manajer Investasi PT Bahana TCW Investment Management menilai pelemahan mata uang rupiah terhadap dolar AS cenderung disebabkan faktor eksternal dan bukan dari dalam negeri. “Dari segi fiskal, baik itu pemasukan, pengeluaran, dan pembiayaan menunjukkan angka yang bagus. Bank Indonesia pun juga melakukan intervensi dengan melepas valas hingga tujuh miliar dolar AS. Hal ini memperlihatkan kebijakan BI yang mempertimbangkan faktor stabilisasi dan pertumbuhan, sehingga ditempuh dalam bauran kebijakan (policy mix)," ujar Direktur Strategi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat.

Menurut dia, mata uang rupiah yang tertekan menyusul stimulus pemerintah AS yang memangkas pajak korporasi, sehingga berpeluang bagi bank sentral AS (The Fed) dalam menaikkan suku bunga. Akan tetapi, nilai tukar rupiah bukan satu-satunya mata uang yang mengalami pelemahan terhadap dolar AS.

Ia memaparkan, mata uang Argentina pesso terkoreksi 24,6 persen (ytd), Filipina peso terkoreksi 4,93 persen (ytd), India rupee melemah 5,42 persen (ytd), mata uang Brazil melemah 8,69 persen (ytd). "Kami melihat, publik perlu teredukasi menyikapi pelemahan rupiah. Secara global, koreksi rupiah tak terlalu dalam dibandingkan sejumlah mata uang negara berkembang lainnya," katanya.

BERITA TERKAIT

Bank Muamalat Pastikan Ketersediaan Uang Tunai - Ramadan dan Idul Fitri

    NERACA Jakarta – PT Bank Muamalat Indonesia Tbk mendukung program Bank Indonesia untuk memastikan kesiapan uang tunai layak…

Satgas Hentikan Dua Entitas Keuangan Ilegal

  NERACA Jakarta – Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas Pasti) menghentikan kegiatan usaha Bartle Bogle Hegarty (BBH) Indonesia…

OCBC NISP Targetkan Akuisisi Bank Commonwealth Rampung Kuartal II

    NERACA Jakarta – Presiden Direktur PT OCBC NISP Tbk (OCBC) Parwati Surjaudaja mengatakan perseroan menargetkan proses akuisisi PT…

BERITA LAINNYA DI Jasa Keuangan

Bank Muamalat Pastikan Ketersediaan Uang Tunai - Ramadan dan Idul Fitri

    NERACA Jakarta – PT Bank Muamalat Indonesia Tbk mendukung program Bank Indonesia untuk memastikan kesiapan uang tunai layak…

Satgas Hentikan Dua Entitas Keuangan Ilegal

  NERACA Jakarta – Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas Pasti) menghentikan kegiatan usaha Bartle Bogle Hegarty (BBH) Indonesia…

OCBC NISP Targetkan Akuisisi Bank Commonwealth Rampung Kuartal II

    NERACA Jakarta – Presiden Direktur PT OCBC NISP Tbk (OCBC) Parwati Surjaudaja mengatakan perseroan menargetkan proses akuisisi PT…