Bankir BUMN: Bunga Pinjaman Tidak Bisa Dikontrol - KEBIJAKAN SUKU BUNGA ACUAN DIPERTANYAKAN

Jakarta – Dirut PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk Gatot  M. Suwondo mempertanyakan kebijakan suku bunga BI dan LPS yang selalu berada di atas inflasi. Dia pun menilai suku bunga kredit perbankan ditentukan oleh pasar dan tidak bisa dikontrol. Sementara Bank Indonesia (BI) tidak bisa memperkirakan berapa besaran penurunan suku bunga kredit yang akan diambil oleh kalangan perbankan.

NERACA

"Mengapa policy rate baik BI Rate maupun LPS Rate selalu di atas inflasi padahal negara ASEAN lain berada di bawah inflasi. Di Singapura berada di bawah satu persen, di Jepang bahkan nol persen," ujar Gatot di Jakarta, Rabu (15/2).

Besaran angka inflasi Indonesia pada 2011 menurut BI mencapai 3,79%, sementara sasaran inflasi yang ditetapkan BI adalah 3,5% - 5,5% pada 2012 dan 2013.  

Gatot mengatakan, suku bunga kredit perbankan lazimnya ditentukan oleh pasar dan tidak bisa dikontrol. "Suku bunga BI maupun suku bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah rujukan, tapi tingkat suku bunga ditentukan pasar yang tidak bisa dikontrol," ujarnya.

Sebelumnya Bank Indonesia menurunkan suku bunga BI Rate dari 6% menjadi 5,75% dan berikutnya LPS pekan ini juga menurunkan suku bunga dana masyarakat yang dijamin pemerintah untuk bank umum dari 6,5% menjadi 6%.

Menurut dosen FEUI Lana Soelistianingsih, penetapan BI Rate yang selalu di atas inflasi karena Indonesia belum terbiasa dengan suku bunga riil dimana suku bunga nominal dikurangi inflasi. “Kita belum terbiasa dengan suku bunga riil yang negatif, sedangkan negara ASEAN lainnya sudah terbiasa dengan suku bunga riil negative,” ujarnya kemarin. Karena BI tidak berani mengambil kebijakan seperti itu, yang dapat akan menimbulkan rush dalam perekonomian dan para nasabah menarik uangnya di perbankan.  

Di tempat terpisah, Direktur Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI Perry Warjiyo mengatakan, pihaknya tidak bisa memperkirakan berapa besaran penurunan suku bunga kredit yang akan diambil perbankan.

"Tiap bank akan punya target penurunan suku bunga dasar kredit (SBDK) sendiri, yang akan dicantumkan dalam rencana bisnis bank (RBB). Awal Maret RBB diumumkan," katanya kemarin.

Dia menjelaskan, secara struktur bunga, SBDK terdiri dari biaya dana, overhead cost dan profit margin. Sehingga dengan biaya dana turun, maka suku bunga kredit akan turun.

Perry juga mengatakan tidak ada niatan BI untuk menetapkan suku bunga kredit perbankan, karena hal itu adalah keputusan bisnis perbankan. "Namun yang kita inginkan adalah arah bunga kredit menurun, karena BI Rate juga sudah turun. Ini dibutuhkan untuk mendorong perekonomian kita yang butuh stimulus termasuk dari perbankan," katanya.

Menurut dia, LPS seharusnya sudah tidak lagi menggunakan BI Rate sebagai patokan karena bunga yang efektif digunakan di pasar oleh perbankan adalah bunga operasi moneter BI seperti discount facility dan term deposit overnight sebesar 3,75%.

"Banyaknya ekses likuiditas perbankan mendorong bunga di pasar turun, sehingga LPS harusnya menggunakan bunga di pasar sebagai patokan. Semoga ada langkah penurunan lagi ke depan," ujarnya.

Menurut data BI, hingga Desember 2011, suku bunga kredit di BPD untuk kredit modal kerja, kredit investasi dan kredit konsumsi masing-masing turun 21 bps, 8 bps dan 12 bps.

Sementara kelompok bank swasta dan bank persero secara rata-rata menurunkan suku bunga kreditnya masing-masing 11 bps dan 8 bps. Sebaliknya kelompok bank asing dan campuran justeru tercatat menaikkan suku bunga kredit investasi dan kredit konsumsi masing-masing sebesar 483 bps dan 30 bps.

Sejumlah kalangan memang berharap dengan penurunan suku bunga acuan tersebut, akan diikuti dengan penurunan bunga simpanan perbankan nasional sehingga menekan biaya dana dan pada akhirnya menurunkan bunga kredit.

Bahkan Gatot menilai, sebaiknya suku bunga referensi tersebut dihilangkan. "Menurut saya referensi itu dihilangkan saja, bukan berarti kami tidak memikirkan untuk menurunkan bunga, tapi yang terjadi sekarang industri terkendala biaya logistik karena infrastrukturnya kurang, itu yang perlu diperbaiki," ujarnya.

Dirut BNI itu mengakui, suku bunga bukan menjadi satu-satunya penentu debitur meminta kredit ke bank. Sekarang yang dibutuhkan adalah aksesibilitas kredit bagi pengusaha yaitu adanya kejelasan aliran kredit, bukan hanya bunga, lagi pula barang dagangan bank adalah jasa, kualitas pelayanan juga menentukan keputusan nasabah.

 

Perry mengatakan, suku bunga penjaminan LPS menjadi acuan perbankan dalam memberikan bunga simpanan atau deposito sehingga penurunan bunga penjaminan akan diikuti penurunan bunga deposito. "Dengan bunga deposito turun maka biaya dana atau cost of fund akan turun, sehingga tidak ada alasan perbankan tidak turunkan suku bunga kreditnya," katanya.

Intervensi Pasar

Namun, eksekutif Center for Banking Crisis (CBS) Ahmad Denny Danuri berpendapat, seharusnya ada koordinasi yang baik antara pemerintah dan BI. Pasalnya, kedua lembaga ini bisa mengintervensi market rate (bunga pasar) secara simultan.

Menurut dia, BI yang berfungsi sebagai lembaga penentu kebijakan moneter, sudah menjalankan kegiatan yang mengarahkan penurunan suku bunga, meski pemerintah belum merespon dengan baik. "BI kan lembaga moneter bukan lembaga fiskal. Jadi dia tidak bisa mengintervensi pasar untuk turunkan bunga kredit,” ujarnya.  

Pihak LPS sendiri mengakui masih menggunakan suku bunga acuan (BI Rate) dalam penetapan suku bunga penjaminan (LPS Rate). Karena BI Rate dinilai paling pas untuk menjadi acuan suku bunga jangka pendek. Kalau jangka panjang bisa pakai SUN (surat utang negara) sebagai patokan bunga. Tapi kalau untuk DPK (dana pihak ketiga) atau simpanan yang reasonable itu menggunakan patokan BI Rate. maya/mohar/fba

 

 

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…