MANTAN KEPALA BPPN SYAFRUDDIN ARSYAD TEMENGGUNG - Yusril: Dakwaan Jaksa KPK Prematur

Jakarta - Pengacara Syafruddin Arsyad Temenggung, Yusril Ihza Mahendra, menilai dakwaan yang dibacakan oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang perdana kliennya terkesan dipaksakan alias prematur.

Menurut Yusril, dakwaan tersebut sebenarnya hanya menyalin apa yang tertulis dalam MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement), dimana dalam MSAA tersebut diatur secara detail perjanjian antara kedua belah pihak antara pemerintah dan para debitur BLBI dan kemudian mekanisme penyelesaiannya dan semuanya sudah diatur di sana.

 "Oleh karenanya diatur dalam satu perjanjian dan perjanjian itu sampai hari ini masih berlaku dan di dalamnya itu ada klausa-klausa yang menyatakan bahwa apabila para pihak itu tidak puas terhadap apa yang di putuskan, maka mereka dapat mengajukan komplai dan mengajukan gugatan ke pengadilan," ungkap Yusril usai mejalani persidangan pengadilan Tipikor, di jalan Bungur Besar, Jakarta Pusat Senin (14/5). 

 Yusril juga mengungkapkan keganjilan dari perkara yang terkesan dipaksakan ini, karena jika mengacu kepada isi MSSA tersebut, seharusnya perkara ini tidak cukup bukti untuk bisa menjerat kliennya.

 "Sudah 19 tahun lamanya MSAA ini ada dan sudah ditutup dan dianggap sudah selesai semuanya. Tidak pernah ada gugatan dari pihak pemerintah terhadap kasus ini, jadi kasus ini dianggap sudah seleasai dalam perdata, tiba-tiba kalau sekarang KPK menganggap bahwa ada unsur tindak pidana korupsi dan itu didasarkan pada audit BPK yang baru atas perintah KPK sendiri," ungkapnya.

Padahal lanjut Yusril, sebelumya keputusan yang diambil oleh KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) pada 2004 sendiri sudah berdasarkan hasil atas audit dari BPK pada waktu itu yang menyatakan bahwa kasus BDNI itu sudah selesai seluruhnya dan bisa diterbitkan SKL (Surat Keterangan Lunas).

"Bahwa kemudian tahun 2017 dilakukan audit lagi, audit invenstigatif atas permintaan KPK dan hasilnya lain itu menjadi tanda tanya juga dari kami. Karena hasil audit BPK yang sudah ada pada tahun 2006 itu dan telah melahirkan pada suatu kebijakan itu tidak bisa dianulir oleh kebijakan BPK yang baru," tegasnya.

Terlebih lagi kliennya kata Yusril, bukan lah pihak atau pun orang yang bertanggung jawab terhadap penjualan aset eks PT Dipasena. "Oke hasil audit BPK itu surut kebelakang, itu yang tidak mungkin dilakukan dalam hukum, ketika diketahui bahwa sebenarnya Pak Syafruddin tidak menjual aste itu, itu kan dijual oleh PT PPA pada masa 2007, pada waktu itu sudah di bawah Presiden yang baru SBY, menteri keuangannya juga sudah berubah dan tidak lagi menjadi Ketua BPPN, persoalan ini perdata atau pidana?" kata Yusril.

Secara terpisah, pengamat       hukum Dr. Dodi Abdulkadir SH menilai dakwaan KPK terhadap mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT)  tentang terjadinya  misrepresentasi dalam penyelesaian BLBI bukanlah            perkara pidana, tetapi perkara perdata. 

Dalam dakwaannya, KPK merujuk pada surat Glenn Yusuf  selaku Ketua        BPPN  tertanggal 1 November 1999, yang pada pokoknya menyatakan SN telah melakukan misrepresentasi atas      keadaan kredit petambak        Rp4,8         triliun.        

KPK  menganggap SAT mengetahui atas   misrepresentasi tersebut,         namun tetap menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban  Pemegang Saham tertanggal 26 April          2004, yang dikenal juga sebagai Surat Keterangan Lunas (SKL). Dalam dakwaan dikemukakan juga bahwa SN tidak  menyetujui surat Glenn Yusuf tersebut.

Menurut Dodi Abdulkadir, tampaknya      KPK dalam dakwaannya menganggap klaim          misrepresentasi yang disampaikan Glenn Yusuf adalah sebagai      suatu kebenaran.  Padahal dalam dakwaan juga disebutkan SN       menolak isi surat Glenn tersebut.     

Mengingat hal ini menyangkut perselisihan (dispute) terhadap persoalan misrepresentasi atas Master Settlement and Acquisition Agreement (Perjanjian MSAA), maka seharusnya klaim tersebut dibuktikan terlebih dahulu melalui pengadilan perdata. Tanpa adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum     tetap (in-kracht), berarti misrepresentasi itu tidak ada. Mengamati dakwaan KPK, maka Dodi Abdulkadir menilai perkara tersebut sebenarnya dalam ranah hukum perdata, bukan hukum pidana. mohar    

BERITA TERKAIT

Kanwil Kemenkumham Sumsel Sosialisasikan Pendaftaran Merek Kolektif

NERACA Palembang - Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Sumatera Selatan menyosialisasikan pendaftaran merek kolektif yang merupakan…

Jokowi Apresiasi PPATK Atas Pengakuan Efektivitas APU PPT

NERACA Jakarta - Presiden Joko Widodo mengapresiasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak…

KPK Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi di Pemprov Lampung

NERACA Bandarlampung - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung. "Kehadiran…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Kanwil Kemenkumham Sumsel Sosialisasikan Pendaftaran Merek Kolektif

NERACA Palembang - Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Sumatera Selatan menyosialisasikan pendaftaran merek kolektif yang merupakan…

Jokowi Apresiasi PPATK Atas Pengakuan Efektivitas APU PPT

NERACA Jakarta - Presiden Joko Widodo mengapresiasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak…

KPK Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi di Pemprov Lampung

NERACA Bandarlampung - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung. "Kehadiran…