Waspadai "Capital Flight" dan Rupiah

Beberapa waktu lalu pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terus melemah dan bertahan di zona merah. Pelemahan IHSG mulai meningggalkan level 6.000 dan kurs rupiah berada di level Rp 14.000 per US$. Indikasi penurunan IHSG dan depresiasi rupiah ini benar-benar menggelisahkan pasar, karena sejumlah investor asing dikabarkan melepas portfolio sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan mengkonversinya dengan portofolio  yang lebih menarik di AS dan sekitarnya.

Kita melihat seluruh indeks sektoral IHSG menetap di zona merah dengan tekanan utama sektor tambang (-3,73%), konsumer (-2,70%), properti (-2,48%), dan finansial (-2,42%). Penyebab melemahnya IHSG karena kinerja industri perbankan yang listing di pasar modal menunjukkan pelemahan. Bahkan pelepasan saham perbankan telah menjadi beban buat IHSG secara keseluruhan.

Sebelumnya rupiah diprediksikan akan bergerak mixed dengan kecenderungan melemah terhadap dolar AS. Pelemahan rupiah hari ini masih terkait rencana The Fed menaikkan suku bunga acuannya. Diprediksi bulan ini, The Fed akan mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level 1,75%. Hal ini mengingat bahwa tingkat inflasi di AS tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Meskipun demikian, adapun pernyataan yang dilontarkan The Fed diperkirakan akan lebih cenderung hawkish bagi dolar AS.

Selain itu, katanya, mengingat pada bulan Juni nanti, dipastikan bahwa The Fed akan menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 basis poin. Hal inilah yang berpotensi memberikan tekanan pada rupiah mengingat pernyataan tersebut akan memberikan bullish effect bagi dolar AS.

Jika merunut sejarah melemahnya rupiah dan IHSG, sepertinya memiliki urut-urutan yang logis. Pertama diawali dengan melemahnya rupiah karena kondisi fundamental ekonomi yang rapuh, tumpukan utang, defisit transaksi berjalan, shortfall pajak, hingga kenaikan BBM menjadi pemicu melemahnya rupiah. Semua indikator itu semakin parah jika dikontraskan dengan kebijakan moneter The Fed yang akan menaikkan suku bunga. Maka tidak ada alasan bagi rupiah untuk stabil, apalagi menguat.

Nilai tukar rupiah terancam semakin melemah dengan kebijakan moneter luar negeri Amerika Serikat yang ingin menaikkan suku bunga acuan. Jika rupiah terus melemah tentunya dampaknya jelek buat makro ekonomi indonesia.

Kemungkinan beberapa dampak lanjutan pelemahan rupiah terhadap ekonomi Indonesia adalah, Pertama, jika dolar mahal dampaknya biaya produksi akan naik, dan pada akhirnya harga barang akan lebih mahal. Sementara konsumsi domestiknya masih stagnan akan mempengaruhi profit pengusaha.

Kedua, pelemahan rupiah bisa menjadi beban terhadap pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri pemerintah dan korporasi semakin membesar. Risiko gagal bayar utang swasta akan naik.

Ketiga, Indonesia sebagai negara net importir minyak mentah sangat sensitif terhadap pergerakan dolar AS. Jika dolar AS menguat terhadap rupiah, harga BBM akan tertekan baik yang subsidi maupun non subsidi. Efeknya penyesuaian harga BBM berbagai jebis diprediksi akan terus dilakukan.

Keempat, aliran modal asing yang keluar (capital flight) dapat semakin tinggi. Saat ini, mencapai Rp27,5 triliun dana asing yang keluar dari pasar modal (year to date) sejak april 2018.

Kelima, daya saing produk Indonesia baik domestik maupun ekspor, menjadi melemah. Lantaran, beberapa sektor industri bergantung oleh impor bahan baku dan barang modal.

Itu sebabnya pemerintah cq Kementerian Keuangan, BI, OJK, perlu mengatur ritme kebijakan fiskal, moneter dan perbankan yang searah, seiring sejalan, dalam satu koordinasi yang kuat. Makin melemahnya rupiah dan IHSG menunjukkan bahwa kebijakan otoritas fiskal, otoritas moneter dan otoritas perbankan masih belum sinkron.

Masyarakat juga diminta tidak panik menghadapi situasi berfluktuasinya kurs rupiah dan melemahnya IHSG belakangan ini. Bagaimana pun, kondisi ini merupakan cermin situasi ekonomi global dan pemulihan kondisi ekonomi Indonesia pada tahun ini.

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…