Indonesia Terlambat di Regulasi

Oleh: Yukki Nugrahawan Hanafi, Ketua Asosiasi Logistik Forwarding Indonesia (ALFI)

Tujuan akhir roadmap Industri 4.0 sektor logistik adalah produk-produk Indonesia mempunyai daya saing tinggi, pemasok di dalam negeri juga semakin baik, dan kita berharap biaya logistik Indonesia dalam 1-2 tahun ke depan bisa dibawah 20 persen.

Dukungan untuk industri 4.0 dari bidang logistik tanpa disadari sudah banyak perubahan. Tapi kita termasuk yang masih terlambat. Industri 4.0 ini adalah kegiatan industri tahap keempat, berjalan secara penuh di seluruh dunia dan menyentuh semua industri, termasuk di dalamnya logistik. Kita akan merekomendasikan kepada pemerintah hal-hal yang menjadi bottle neck, halangannya. Lagi-lagi di Indonesia kendalanya adalah masalah koordinasi. Di pihak swasta sudah banyak yang melakukan digitalisasi tetapi tidak akan lengkap jika tidak terkoneksi antara satu dan yang lain.

Indonesia terlambatnya di regulasi. Ini yang kita harus dorong, kira-kira apa yang menjadi hambatannya. Dari 16 paket deregulasi yang dikeluarkan pemerintah, 5 paket berkaitan langsung dengan logistic dan satu paket masalah e-commerce. Ini berarti dinilai sangat penting dan sudah membicarakan masalah platform, digitalisasi, tetapi dalam prakteknya tidak jalan.

Contoh sederhana adalah smart port di pelabuhan yang selama ini didorong oleh ALFI hingga saat ini realisasinya masih setengah-setengah. Ini baru dari sisi kapal ke operator. Kita harapkan ke pelaku logistiknya juga, ke pemilik barang. Ibaratnya, kalau menggunakan Go-Jek, kita pesan makanan tapi makanannya diambil sendiri.  Ini kan berarti belum tersistem dengan baik.  Ini yang kita dorong. Ke depannya ada tracking-nya, ada warehousing, siapa yang mau ikut mari bergabung bersama-sama. Dimanapun seperti di China, Taiwan dari sisi logisitik dan mata rantai pasoknya terintegrasi.  Jadi mulai dari petani hingga pengguna itu masuk dalam satu kesatuan sistem makanya bisa bernilai tinggi, termasuk juga monitoring.

Di Indonesia barang-barang yang mudah busuk (perishable) seperti buah-buahan dan sayuran, sebanyak 40 persen itu mati, layu, busuk sebelum sampai ke pasar. Ini artinya tidak tersistem dengan baik. Makanya kita dorong supaya harganya bisa tinggi di petani tetapi tidak mahal saat diterima masyarakat.  Sebanyak 40 persen produk yang mudah busuk ini rusak sebelum sampai ke konsumen, tidak terjual sehingga menjadi biaya (cost) dan dibebankan ke konsumen sehingga jadi mahal. Jadi bukan sekadar logistik tapi harus masuk ke dalam whole chain.

Di whole chain ini banyak produk-produk hasil bumi, hasil laut, buah-buahan yang sebenarnya punya daya saing ekspor dan pasar domestic. Coba kita lihat di market begitu banyak produk impor yang bisa masuk ke Indonesia. Sudah 10 tahun kita bicara masalah ongkos pengiriman jeruk dari Medan ke Jakarta mahal. Apa kita terus mau seperti itu.

Presiden mengeluh ekspor kita rendah, kalah oleh Vietnam, Thailand. Biaya logistik kita tahun lalu masih 23,7 persen. Dengan pembangunan infrastruktur yang massif pun hanya bisa menurunkan menjadi 21 persen, sementara Thailand dibawah 15 persen, Malaysia 13 persen. Kita berterima kasih kepada pemerintah yang berusaha keras menurunkan biaya logistik tapi kita masih jauh. Kita harus bekerja keras, seluruh stakeholder yakni pemerintah, swasta, dan industri. Kalau tidak, kita akan tertinggal lagi padahal 2020 sudah era industri 4.0.

Industri 4.0 bukan sekadar dibicarakan tetapi diimplementasikan. Masalah logistik melibatkan paling tidak empat kementerian yakni Kementerian Perhubungan untuk masalah moda transportasi, Kementerian Perdagangan menyangkut barang, Kementerian Perindustrian menyangkut masalah industri manufaktur, dan Kementerian Keuangan menyangkut bea cukai. Yang terjadi Kementerian Pertanian menyatakan beras cukup, akan ada panen tetapi impor juga, hal ini menunjukkan ada sistem yang tidak jalan. Di sini pentingnya digitalisasi sehingga data menjadi akurat.

Efisiensi bisa didapat kalau kita masuk ke dalam satu sistem yaitu salah satunya 4.0 ini. Dengan transparansi, kecepatan, ketepatan, monitor kontainer, pergerakan barang di laut, udara, maupun di kereta akan termonitor sehingga orang akan tahu dimana bottle neck-nya, hambatannya, apakah di pelaku usaha, apakah di perizinan oleh pemerintah. (www.watyutink.com)

 

 

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…