ICOR dan Ekonomi Berbasis Komoditas

 

Oleh: Prof. Dr. Anthony Budiawan

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

 

Baru-baru ini istilah ICOR menjadi bahan berita dan diskusi hangat di berbagai media. Mereka mengatakan, ICOR Indonesia sudah di atas 6, dan masuk kategori mengkhawatirkan. Karena, ICOR tinggi berarti ekonomi kita tidak efisien, memerlukan investasi yang besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yaitu rasio investasi (= incremental capital) terhadap pertumbuhan ekonomi (output). ICOR mengukur berapa besar investasi yang diperlukan untuk meningkatkan satu unit output atau PDB (Produk Domestik Bruto). ICOR 6 berarti setiap penambahan PDB Rp1 diperlukan investasi tambahan sebesar Rp6; ICOR 3 berarti setiap penambahan PDB Rp1 diperlukan investasi tambahan sebesar Rp3.

Oleh karena itu, negara dengan ICOR 3 berarti lebih efisien dari negara dengan ICOR 6. Sebagai catatan, penambahan investasi dan output di atas dihitung dalam unit satuan, misalnya rupiah, bukan dalam persentase. Ada yang mengatakan ICOR 6 berarti setiap pertumbuhan ekonomi 1% diperlukan investasi tambahan 6%. Ini sangat keliru. Kenaikan investasi Rp6 untuk meningkatkan ekonomi Rp1 jelas tidak sama dengan kenaikan investasi 6% untuk meningkatkan ekonomi 1%. Namun, masih banyak pihak yang kurang paham yang memberi komentar kurang tepat.

ICOR Indonesia naik pesat hingga di atas 6 sejak 2015, mengindikasikan ekonomi Indonesia menjadi semakin tidak efisien. Ada yang bilang kenaikan ICOR yang tinggi ini karena maraknya korupsi sehingga membuat pembangunan ekonomi menjadi tidak efisien. Ada juga yang bilang karena inefisiensi birokrasi yang berakibat terhambatnya investasi, serta terhambatnya pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi.

Membaca indikator ekonomi harus hati-hati. Interpretasi sembarangan bisa berakibat fatal: mendapat kesimpulan yang salah, dan solusi yang salah. Secara umum, ICOR tinggi memang mencerminkan tingkat efisiensi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi relatif rendah.

Pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa ICOR Indonesia bisa naik menjadi di atas 6 sejak 2015? Padahal, sebelum tahun 2015 ICOR Indonesia masih di bawah 5. Bahkan 2011 hanya sekitar 3,8, dan 2007 malah lebih rendah lagi yaitu sekitar 3,5. Apakah rendahnya ICOR ini dapat dikatakan tingkat korupsi sangat rendah, birokrasi sangat efisien, dan infrastruktur sangat ekselen? Apakah artinya pembangunan ekonomi Indonesia ketika itu sangat efisien? Dan sekarang tidak efisien? Tentu saja alasan-alasan tersebut tidak ada dasar, dan tidak masuk akal.

Perkembangan ICOR terkait erat dengan struktur industri sebagai dasar dari pertumbuhan ekonomi. Struktur industri Indonesia sangat kental dengan industri berbasis komoditas. Perkembangan ICOR selama 10-15 tahun terakhir ini memvalidasi bahwa struktur industri Indonesia sangat lemah dan sangat tergantung dari industri komoditas tersebut.

Ekspor berbasis minyak sawit, karet dan batubara memberi kontribusi 35-40% dari total ekspor. Ketika harga komoditas naik terus medio 2000-an hingga 2008 (menjelang krisis finansial global), pertumbuhan ekonomi Indonesia juga meningkat terus, dan ICOR Indonesia turun hingga 3,5 (2007). ICOR Indonesia kemudian naik menjadi di atas 5 (2009) akibat krisis finansial global yang berimbas pada anjloknya harga komoditas: pertumbuhan ekonomi juga anjlok.

Jadi, masalah utama meningkatnya ICOR bukan hanya masalah korupsi, birokrasi dan infrastruktur, tetapi lebih pada struktur ekonomi. Oleh karena itu, untuk meningkatkan ICOR secara struktural Indonesia harus segera membangun industri manufaktur agar tidak terlalu dari fluktuasi harga komoditas. Tentu saja korupsi, birokrasi, dan infrastruktur harus dibenahi, tetapi permasalahan utama ICOR jauh lebih besar dari hanya faktor-faktor tersebut.

BERITA TERKAIT

Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis.…

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

BERITA LAINNYA DI

Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis.…

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…