Teknologi Tinggi dan Manajemen Risiko

Oleh: Achmad Deni Daruri, President Director Center for Banking Crisis

 

Semakin dominan teknologi tinggi di dalam sebuah perekonomian maka akan semakin dominan peran manajemen risiko dalam perekonomian tersebut. Korelasi yang tinggi antara kedua variable tersebut berlaku hampir disemua negara di dunia. Namun demikian acap kali negera tersebut juga lalai dalam menerapkan teknologi tinggi berbasis manajemen risiko contohnya di Chenobyl dan Fukushima. Bencana dimulai ketika sedang dilakukan pengujian sistem tanggal 26 April 1986 di reaktor nomor empat pembangkit Chernobyl yang letaknya dekat Pripyat dan dekat dengan perbatasan administratif dengan Belarus dan Sungai Dnieper. Kemudian terjadi lonjakan energi secara tiba-tiba dan tak diduga, dan ketika sedang mencoba mematikan darurat, terjadi lonjakan daya sangat tinggi yang menyebabkan tangki reaktor pecah diikuti serangkaian ledakan uap. Kejadian ini melepaskan moderator neutron grafit di reaktor ke udara, sehingga menyala. Kebakaran yang dihasilkan berlangsung seminggu penuh dan melepaskan debu partikel radioaktif ke atmosfer secara meluas, termasuk Pripyat. Debu kemudian tersebar ke kawasan Uni Soviet bagian barat dan Eropa. Menurut data resmi pasca-Soviet, sekitar 60 persen debu jatuh di Belarus.  

Insiden ini juga meningkatkan perhatian mengenai budaya keamanan di industri tenaga nuklir Soviet, menurunkan pertumbuhan industri dan memaksa pemerintah untuk lebih terbuka mengenai prosedurnya. Pemerintah yang berusaha menutup-nutupi bencana ini menjadi "katalis" "catalyst" for glasnost, yang "memuluskan jalan bagi reformasi yang berakhir pada kolapsnya Soviet". Pada tanggal 5 Juli 2012, Komisi Investigasi Independen Kecelakaan Nuklir Fukushima (NAIIC) menemukan bahwa penyebab kecelakaan tersebut telah lama diketahui, dan bahwa operator pabrik, Tokyo Electric Power Company (TEPCO), telah gagal memenuhi persyaratan keselamatan dasar seperti risiko Penilaian, persiapan untuk mendapatkan kerusakan bangunan, dan pengembangan rencana evakuasi. Pada tanggal 12 Oktober 2012, TEPCO mengakui untuk pertama kalinya mereka telah gagal untuk mengambil tindakan yang diperlukan karena takut mengundang tuntutan hukum atau demonstrasi yang melawan pabrik nuklirnya. Kedua kejadian ini memperlihatkan contoh nyata bahwa negara dengan kemampuan teknologinya yang sangat tinggi seperti Uni Sovyet dan Jepang ternyata luput dalam menerapkan manajemen risiko secara cermat.  Bencana Fukushima adalah insiden nuklir yang paling berarti sejak 26 April 1986 yaitu bencana Chernobyl dan bencana kedua akan diberi kategori tingkat 7 dari Skala Kejadian Nuklir Internasional.

Tidaklah mengherankan negara sekaliber Jerman yang sangat mahir dalam penerapan manajemen risiko berbasis teknologi tinggi memilih mempensiunkan reactor nuklirnya. Dengan demikian menghentikan reaktor nuklir adalah salah satu bagian manajemen risiko berbasis teknologi tinggi. Sangatlah bodoh jika negara berkembang yang tidak menguasai teknologi tinggi mau berupaya menerapkan pembangkit nuklir. Manajemen risiko terbaik bagi teknologi tinggi seperti reaktor nuklir adalah tidak memulai pembangunannya atau segera menutupnya sebelum kecelakaan besar muncul akibat kegagalan manajemen risiko.

Manajemen risiko modern juga mencakup kemampuan psikologis dari manusia. Hal ini juga terdapat dalam sebuah literatur mitologi kuno yang memberikan informasi bahwa para pemain drama sering menggunakan make up atau topeng untuk memerankan tokoh lain atau menyembunyikan identitasnya sendiri. Cara ini kemudian dinamai oleh bangsa romawi dengan istilah personality. Dari kata personality, kata persona sendiri dapat diartikan sebagai kehadiran seseorang melalui identitas yang tidak mencerminkan dirinya sendiri. Melainkan, para pemain drama ingin menciptakan kesan yang mendalam bagi para penonton,akan tetapi tidak meninggalkan kesan mengenai pemeran drama itu sendiri melainkan kesan pada tokoh yang diperankannya. Istilah personality kemudian hadir untuk menamakan para pemeran sendiri, yang tadinya hanya sebuah peran namun bisa menjadi nama panggung yang membuat pemerannya terkenal. Seperti benda lain atau alam di sekitar kita yang memiliki ciri-ciri, manusia sebagai makhluk sosial juga dapat dikenali ciri-ciri tingkah lakunya.

Untuk membedakan ciri-ciri mengenai tingkah laku asil dari pemeran drama dan tingkah laku dari tokoh yang diperankannya, para filsuf akhirnya tertarik untuk mempelajari tingkah laku manusia melalui berbagai penelitian. Masalah psikologi inilah yang sebenarnya luput dalam manajemen risiko. Manusia-manusia yang gagal melepaskan topengnya menjadikan manajemen risiko hanyalah alat untuk mencapai tujuannya yang bukan diinterpolasikan bagi pengelolaan resiko secara profesional. Hal ini dapat terjadi sekalipun ilmu manajemen risiko sempurna sekalipun karena masalah genetika yang menurunkan manusia-manusia yang tidak jujur. Gen adalah pembawa sifat. Alel adalah ekspresi alternatif dari gen dalam kaitan dengan suatu sifat. Setiap individu disomik selalu memiliki sepasang alel, yang berkaitan dengan suatu sifat yang khas, masing-masing berasal dari tetuanya. Status dari pasangan alel ini dinamakan genotipe.

Apabila suatu individu memiliki pasangan alel sama, genotipe individu itu bergenotipe homozigot, apabila pasangannya berbeda, genotipe individu yang bersangkutan dalam keadaan heterozigot. Genotipe terkait dengan sifat yang teramati. Sifat yang terkait dengan suatu genotipe disebut fenotipe. Di Jepang pada tahun 1960-an, genetika yang buruk ini agar tidak menurun dan menyebar di masyarakat dilakukan sterilisasi (pengkebirian). Namun tidak dapat dilaksanakan hingga saat ini karena masalah hak asasi manusia hingga akhirnya munculnya gen-gen lemah yang menyebabkan bencana Fukushima tak dapat dihindarkan. Hal ini menunjukkan teknologi genetika arah balik maupun arah  maju gagal mencegah keteledoran manusia di masyarakat yang berbasis teknologi tinggi. Kajian genetika klasik dimulai dari gejala fenotipe (yang tampak oleh pengamatan manusia) lalu dicarikan penjelasan genotipiknya hingga ke aras gen.

Berkembangnya teknik-teknik dalam genetika molekular secara cepat dan efisien memunculkan filosofi baru dalam metodologi genetika, dengan membalik arah kajian. Karena banyak gen yang sudah diidentifikasi sekuensnya, orang memasukkan atau mengubah suatu gen dalam kromosom lalu melihat implikasi fenotipik yang terjadi. Teknik-teknik analisis yang menggunakan filosofi ini dikelompokkan dalam kajian genetika arah-balik atau reverse genetics, sementara teknik kajian genetika klasik dijuluki genetika arah-maju atau forward genetics. Belajar dari Jerman yang mengakui lemahnya kontrol manusia dalam menjalankan teknologi tinggi patut ditiru karena itu adalah satu-satunya cara menyelamatkan manusia dari bencana yang menakutkan.

 

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…